Oleh: Maya, Gresik
Lagi, untuk kesekian kali publik dibuat resah dengan “temuan-temuan baru” yang dipublikasikan media. Dalam temuan itu dinyatakan, sebanyak 41 dari 100 masjid di kantor pemerintahan seperti kementerian, lembaga negara dan BUMN sudah dinyatakan positif terindikasi sebagai tempat penyeberan paham radikal. Temuan tersebut merujuk pada survei yang dilakukan Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sepanjang 29 September – 21 Oktober 2017.
Menurut Agus Muhammad selaku Ketua Dewan Pengawas P3M, penilaian ini didasarkan pada konten khotbah Jumat. Diantaranya seperti ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain dan pemimpin perempuan/non-muslim, serta sikap positif terhadap Khilafah. Lebih lanjut disampaikan oleh Direktur Rumah Kebangsaan Erika Widyaningsih, hasil temuan ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi lembaga pemerintah yang bersangkutan untuk segera bersih-bersih. Bukan sekedar reformasi birokrasi, tapi juga rumah ibadah.
Hal ini tentu meresahkan masyarakat. Terlebih lagi, indikator penilaian yang dicantumkan terasa kental menstigmasisasi Islam. Islamophobia terlihat jelas dalam hal ini.
Tidak terelakkan, doktrin islamophobia/sikap anti terhadap Islam semakin gencar diopinikan. Semakin meluas dengan masifnya pemberitaan berkonotasi negatif terhadap Islam dan segala atributnya. Islam garis keras, aliran sesat hingga teroris adalah label-label yang distempelkan pada sosok yang terindra terlalu religius. Sungguh miris!
Sebenarnya, gangguan psikologis ini bermula di Eropa pada tahun 80an karena migrasi besar-besaran warga Timur Tengah sejak berakhirnya perang dunia ll. Kemudian dilanjut dengan serangan WTC 11/9, dimana tragedi tersebut justru menjadi pemicu ketertarikan orang orang Barat terhadap Islam. Sebagai pengemban sejati kapitalisme, tentu Amerika menganggap fenomena ini sebagai ancaman yang bisa mengusik eksistensi kedigdayaannya. Itu sebabnya, misi islamophobia digelontorkan.
Namun sayang, seiring berjalannya waktu narasi anti islam itu tak hanya menyasar orang orang non-muslim, tapi juga merambah pada diri seorang muslim. Kondisi ini tentu sangat berbahaya karena berpotensi sebagai penghalang bangkitnya kesadaran umat akibat ketakutan tak berdasar atas agamanya sendiri. Di samping itu, perang saudara akibat sikap saling curiga yang berlebihan terhadap sesama adalah hal yang tidak bisa dihindari. Lihat saja Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam. Sudah berapa banyak tindakan dan kebijakan yang dibuat untuk menyudutkan Islam? Tidak perlu berpikir jauh, survei oleh P3M ke sejumlah masjid pemerintah ini sudah cukup untuk membuktikan kronisnya virus islamophobia ini.
Dalam skala yang lebih luas, dampak Islamophobia juga dirasakan oleh muslim yang tinggal di kawasan kawasan Eropa dan Amerika. Statusnya yang minoritas memaksa mereka tidak bisa berbuat banyak menghadapi diskriminasi dan perlakuan tidak manusiawi. Alhasil, bukan perkara mustahil tekanan-tekanan ini akhirnya bermuara pada kemurtadan.
Oleh karena itu, perlu penyikapan yang tepat untuk menghentikan laju Islamophobia ini. Perang pemikiran antara dua ideologi besar, yakni kapitalisme dan Islam harus segera dimenangkan oleh Islam. Umat dituntut untuk cerdas dalam melakukan serangan balik atas opini buruk yang terlanjur dipropagandakan Barat. Menjernihkan kembali pemikiran umat tentang kemuliaan Islam, tentang komprehensifnya Islam dalam memberikan solusi atas seluruh problematika, baik itu yang diidap oleh muslim, maupun non muslim.***