Oleh.Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku “The Power of Istri”)
#MuslimahTImes — Geliat pernikahan dini kian meningkat. Seriring dengan maraknya kampanye, pacaran no! Nikah yes!. Akhirnya kaum muda memilih menikah daripada pacaran yang memang dilarang agama. Tentu hal tersebut layak diapresasi, karena menandakan bahwa generasi muda telah menemukan pemahaman yang benar untuk hidupnya. Bahwa menikah jauh lebih baik daripada pacaran adalah benar adanya. Jika pacaran menuai laknat Allah, maka menikah menghimpun banyak kebaikan dan rahmatNya.
Namun, perlu dipahami juga oleh para generasi muda bahwa siap menikah berarti harus siap menjadi ibu. Ini yang terkadap luput dari persiapan. Euforia menikah dini tak diiringi dengan ilmu membangun rumah tangga dan mendidik generasi. Padahal menikah tak sekadar bermodal keberanian, tapi juga kesiapan mental menanggung amanah dan ilmu membangun peradaban. Semuanya satu paket. Jika salah satunya tidak ada, maka adalah wajar jika pernikahan rentan perceraian.
Dalam pandangan Islam, menikah adalah sarana untuk melestarikan jenis manusia secara halal. Dan dalam pernikahan ada konsukuensi hukum syara yang menyertainya, yakni meliputi hak dan kewajiban suami dam istri. Semuanya diatur dalam kerangka hukum syariat.
Allah swt berfirman:
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan darioadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(TQS. An-Nisa:1)
Seorang perempuan yang siap menikah, tentu harus juga mempersiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Karena hakikatnya peran ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah keluarga, yakni sebagai pendidik generasi. Dengan demikian, kesiapan menjadi ibu bukan sekadar kesiapan melahirkan dan menyusui selama 2 tahun. Namun juga siap menjadi madrasatul’ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya.
Adapun kesiapan menjadi ibu harus ditandai dengan kesiapan psikologis dan matangnya bekal ilmu yang dimiliki untuk mendidik generasi. Kesiapan psikologis maksudnya siap mengurus amanah yang Allah berikan, yakni anak. Karena tidak jarang seorang perempuan yang tidak siap menghadapi ritme baru dalam hidupnya pasca melahirkan. Yang semula masih bisa bersantai mengisi me time, kini ada jiwa-jiwa yang butuh perhatian dan pelayanannya. Kecerdasan memanajemen waktu pada akhirnya pun diuji. Jika tak mampu, bukan tak mungkin banyak hal penting yang akhirnya terabaikan. Misalnya kewajiban menuntut ilmu, berdakwah, dan melayani suami.
Realitas di lapangan membuktikan bahwa seorang perempuan yang tidak siap menjadi ibu akhirnya keteteran dalam menjalankan segala aktivitasnya. Menuntut ilmu yang merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah terabaikan. Alasannya tidak ada waktu karena sibuk mengurus anak. Apalagi berkontribusi dalam aktivitas dakwah, seolah jauh dari bayangan. Tak hanya itu, melayani suami pun tak optimal karena lelah seharian mengurus anak.
Sedangkan bekal ibu sebelum menjadi ibu juga penting adanya. Karena keluasan ilmu seorang ibu akan menentukan masa depan generasi yang akan dibangun. Bukan ilmu dalam kerangka akademik, tapi lebih jauh dari itu. Yakni ilmu tentang kehidupan. Sejauh mana ia mampu mengurai problematika yang membelit sisi hidupnya, dan sejauh mana ia memahami akan hakikat dirinya sebagai seorang hamba yang semestinya taat kepada RabbNya secara totalitas. Saat itu sudah dimiliki, niscaya ia memiliki kemampuan untuk mendesain pola asuh dan pola didik generasi berdasarkan hukum apa yang telah Allah tetapkan.
Menikah tanpa ilmu laksana mengembara di hutan rimba tanpa petunjuk arah. Gamang. Bagaimana mungkin ia dapat membina generasi jika dirinya sendiri butuh dibina? Bagaimana mungkin ia dapat menghasilkan generasi berkualitas jika kualitas dirinya sendiri masih dipertanyakan? Shalihkan diri sebelum generasi. Benarlah adanya. Oleh karena itu, sebelum menyatakan diri siap menikah, reguklah ilmu sebanyak mungkin. Jejakkan kaki-kakimu menuju majelis ilmu tanpa mengenal kata lelah. Dan jadikan para sahabat yang shalihah sebagai tempatmu memendarkan rasa, berbagi cerita. Berharap dari mereka lah level keimanan terus menanjak naik dan ketaatan kepadaNya senantiasa terjaga.
Betapa kita tak layak mengambil sebuah keputusan tanpa benar-benar kita pastikan segala rupa kesiapan yang menyertainya. Sejatinya pernikahan bukanlah perlombaan. Tapi dia adalah amanah suci untuk kita jaga. Maka arungilah dengan kesiapan yang sempurna.
=================================
Sumber Foto : Satu Media