Oleh: Shafayasmin Salsabila
Penggerak Ta’lim MCQ. Sahabat Hijrah Indramayu
Pro kontra poligami kembali meledak. Setelah podium dihentak makhluk cantik bernama wanita. Wacana tentang hati yang terluka, pemicu retaknya biduk rumah tangga, hingga mengadili cinta, membawa kebingungan tersendiri dalam benak pemirsa.
Pengusung ide feminis, sedari dulu sudah bernafsu menyasar isu poligami selayak sayuran segar yang sedap untuk ditumis. Bermain logika hingga memanaskan situasi dengan menjadikan kecemburuan sebagai senjata. Baiklah, wanita memang pencemburu, dan tak ada yang salah dengan perasaan itu. Bukankah tak cemburu berarti tak cinta?! Tapi jika kemudian, hal ini dijadikan dalih untuk menentang poligami, maka ada baiknya mengatur nafas dan memperbaiki posisi duduk. Mari berpikir sehat.
Dimana Posisi Poligami?
Menyadari keberadaan manusia di muka bumi, bahwa ia adalah ciptaan. Muslim, dengan keimanan di dada paham sebagai ciptaan, hidupnya diserahkan sekehendak Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Maka seorang Muslim tidak akan pernah jauh dari mengikatkan dirinya dengan syariat.
Syariat yang dimaknai sebagai aturan-aturan Allah, menjadi pakem keseharian. Jangankah tingkah laku dan lisan, bahkan sekadar berpikir pun tak sembarangan. Meski sebatas maya, syariat tetap dipegang erat.
Ini bukan tindakan berlebih-lebihan, Allah Swt berfirman: “Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An-Nisaa: 65).
Itu berarti, karakter taat menjadi satu hal yang tak terpisahkan dalam diri seorang Muslim. Hanya hukum syara-lah yang menjadi timbangan untuk mengukur haq dan batil segala sesuatu. Lalu dimana posisi poligami?
Ajaran Islam mengenal lima hukum perbuatan, yang dinamai “Ahkamul khamsa”. Yakni: Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Memprioritaskan yang wajib, menambahnya dengan perkara yang sunnah, sesekali melirik yang mubah, menjaga jarak dari yang makruh, serta katakan “Tidak!” pada yang haram, menjadi prinsip beramal umat Muhammad Saw.
Dalam buku Sistem Pergaulan dalam Islam, halaman 224 disimpulkan tentang status hukum poligami, yakni mubah. Setelah pembahasan panjang terkait dalil kebolehannya, yakni termaktub dalam QS. An-Nisa ayat 3.
Maka, kedudukan poligami sebagai salah satu ajaran Islam, menjadi sangat jelas. Islam tidak menjadikannya sebagai perkara yang diwajibkan, bukan pula sunnah. Sebatas opsi (pilihan) yang jika dikehendaki maka boleh dilakukan. Apabila Allah telah memperbolehkan poligami, berarti hal tersebut dipandang sebagai tindakan terpuji. Sebaliknya upaya pelarangan terhadapnya, merupakan suatu ketercelaan, dan bagian dari kriminalisasi ajaran Islam.
Mendinginkan Poligami
Perlu diketahui, keberadaan hukum syara bukan tanpa maksud. Ahkamul Khamsa adalah rambu-rambu yang dirancang oleh Sang Pencipta alam semesta, dalam rangka menghantarkan manusia pada kemaslahatan. Aturan Islam adalah pemecah bukan sumber masalah.
Seperti halnya poligami sebagai salah satu bagian dari aturan Islam. Keberadaannya menempati posisi sebagai pemecah. Problem solver, di tengah hitam-putihnya kehidupan berumah tangga.
Masih bersumber dari buku yang sama, al ‘alim asy-syaikh Taqiyuddin an- Nabhani menuliskan, sepercik oase dari syariat poligami. Diantaranya:
1. Meredam kekejian (perzinahan) di tengah-tengah manusia.
Acapkali, anomali ditemukan pada sebagian lelaki. Yakni pada mereka yang memiliki tabiat sulit terpuaskan, mereka cenderung akan mencari-cari pelampiasan untuk memadamkan hasratnya yang kuat. Untuk mereka, poligami menjadi jalan keluar agar tetap berada pada koridor hukum syara. Tanpa kebolehan poligami, niscaya akan banyak yang terjebak ke dalam kubangan perzinaan.
2. Menjaga biduk agar tidak retak dan tenggelam.
Dalam kondisi istri yang organ reproduksinya bermasalah, sedang keinginan menjadi seorang ayah menggebu-gebu, maka poligami kembali menjadi setitik pelita. Air mata rumah tangga, terhapuskan oleh poligami. Kebuntuan terpecahkan, keutuhan biduk rumah tangga terjaga. Suami tak harus menceraikan istrinya agar dapat menikahi wanita lain yang subur. Maka poligami justru menjadi penghapus angka perceraian, bukan sebaliknya.
3. Menyelamatkan dari dilema
Berbagi beban, bukan hanya berbagi suka. Demikian seharusnya suami istri menjalankan rumah tangga. Saat istri menderita penyakit parah yang membuatnya absen dari melayani suami dan mengurusi anak-anak, maka kehadiran madu (istri kedua) menjadi pengobat derita, pengurai dilema. Jangan bicarakan hati yang tercacah, masalahnya adalah naluri suami yang lapar dan demi menjaga keberlangsungan pengasuhan buah hati tercinta. Sekali lagi, poligami menjadi angin segar.
4. Menyeimbangkan dunia
Faktanya, populasi lelaki tak sebanyak wanita. Terbayang jika keinginan memiliki dalam benak istri terlampau besar, maka sebagian wanita lain wafat dalam penantian panjang. Tanpa mengecap manisnya hidup bersama seorang imam. Bahkan untuk sebagian wanita yang tak pandai mengemas rasa dan tak sabar dalam penantian, bujukan setan dapat mendaratkannya ke dalam lembah kehinaan.
Itulah beberapa diantara faedah dari poligami.
Saatnya Melipat Telinga
“….Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” Demikian Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 118.
Juga dalam surat At-Taubah ayat 8: “Mereka (orang-orang kafir) bermaksud memadamkan cahaya agama ALLAH dengan perkataan-perkataan mereka, tapi ALLAH (justru) menyempurnakan cahaya (agama)-Nya walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukainya….”
Kedua ayat di atas mengungkap latar belakang kegigihan upaya musuh-musuh Islam dalam membungkam syiar Islam. Betapa kuat permusuhan mereka, dan amat besar kebencian kepada segala hal yang bernafaskan Islam.
Maka ledakan isu poligami ini, sengaja digencarkan kembali, meski wacananya sudah basi. Mereka tidak akan berhenti, tidak mengenal kata bosan, terus menyerang ajaran Islam, menghilangkan sisa-sisa hukum Islam. Tidak membiarkan sedikit saja potensi syariat Islam yang akan mampu membawa umat pada kebangkitan.
Paranoid melingkupi benak mereka. Mereka takut akan tenggenggelamnya hegemoni dan penjajahan mereka atas negeri-negeri Muslim, apabila umat Islam kembali memeluk hukum syara.
Untuk itu dibutuhkan penyadaran kepada seluruh umat Islam, akan kebutuhannya terhadap penerapan aturan Islam. Serta kewaspadaan terhadap propaganda para pembenci agama. Saatnya menutup telinga, jangan sampai terpengaruh racun pemikiran mereka. Keimanan akan membawa keyakinan total bahwa tidak ada satu pun ajaran Islam yang berbahaya. Muaranya pasti menuju kepada kebaikan, keramaian, kerahmatan. Karena tidaklah Rasul Saw datang membawa risalah Islam, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dan tiadalah dapat Islam diterapkan tanpa satu kekuatan. Untuk itu marilah satukan perasaan dan pemikiran, untuk mengembalikan kekuasaan Islam. Sebagaimana yang pernah Rasulullah Saw dirikan. Khilafah Rasyidah kedua, sebagai janji Allah dan bisyaroh (kabar gembira) Rasulullah Saw.
Wallahu a’lam bish-shawab.