Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Seorang Blogger Profesional dan Mahasiswa FISIP Ilmu Komunikasi UT Jember)
#MuslimahTimes – Tahun 2018 sudah berlalu, umumnya setiap orang membuat resolusi baru untuk tahun baru. Resolusi berisi harapan-harapan yang ingin dicapai, harapan berupa perubahan ke arah yang lebih baik.
Bagi sebagian orang di Indonesia, #2019GantiPresiden merupakan salah satu resolusi yang sering didengungkan sepanjang tahun lalu. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan rezim merupakan alasan mendasar kenapa sampai ada gerakan masif tentang ini, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Tentu saja, ada reaksi perlawanan pula dari kubu yang berseberangan.
Kemerosotan ekonomi, meningkatnya kejahatan, ketidakadilan hukum, penguasaan sumber daya alam oleh asing, kenaikan banyak tarif kebutuhan pokok rakyat seperti listrik, BBM dan pangan, maraknya penistaan agama Islam dan ulamanya serta berbagai persoalan rakyat masa kini membuat rakyat kecewa terhadap kinerja rezim dan mempertanyakan kemampuannya dalam mengurus urusan rakyat. Akhirnya, rezim dianggap tidak becus dan pergantian rezim adalah keharusan.
Padahal, bila kita menilik sejarah, dahulu kala di Arab ada sebaik-baik rezim (pemimpin) yang sampai detik ini tidak ada manusia lain yang bisa mengalahkan kebaikannya. Beliau tak lain dan tak bukan adalah Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, bani Quraisyi pun terperosok, kejahiliyahan mereka melampaui batas, hampir mirip dengan masa kini.
Salah seorang paman Rasul yang gerah dengan ‘dakwah’ yang dibawa oleh Nabi Muhammad, datang menawarkan kekuasaan dengan syarat harus mau berkompromi yaitu bergantian melaksanakan hukum yang dibawa oleh Rasull dan hukum lama mereka. Rasulullah menjawab dengan tegas tawaran tsb, “Walaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku berpaling dari risalah yang aku bawa, aku tidak akan berhenti sampai Allah SWT mengantarkan aku pada kejayaan Islam atau aku binasa karenanya.”
Ini membuktikan bahwa mengganti rezim (pemimpin) saja tidak cukup, karena itu Rasulullah tidak menerima tawaran kompromi dari paman-pamannya yang notabene pada saat itu adalah pembesar-pembesar Kaum Quraisyi. Tidak cukup mengganti pemimpin, tapi perlu juga perubahan sistem. Dimana sistem ini adalah tata aturan mendasar dan menyeluruh yang saling terkait antara satu dengan yang lain.
Sistem ini disebut Khilafah, dan rezimnya disebut Khalifah. Sistem dan Rezim merupakan 2 (dua) elemen perubahan hakiki yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Sehingga perubahan rezim saja tanpa diikuti sistem tidak bisa mengantarkan pada perubahan, begitu juga sebaliknya.
Dalam sebuah pertemuan para tokoh dan muballighoh di Jember, ustazah Nauroh Alifah menjelaskan 4 (empat) syarat sistem Islam yaitu : Pertama, Batas territorial dimana didalamnya diterapkan syari’ah Islam dan dijaga oleh militer Islam. Batas territorial tidak statis, namun berkembang dengan dakwah dan jihad . Hal ini tidak sama dengan sistem negara bangsa (nation state) yang berbatas wilayah dan tersekat nasionalisme.
Kedua, Kepemimpinan oleh seorang khalifah, dengan syarat utama seorang muslim, laki-laki, dewasa, bebas, berakal, adil dan mampu memikul beban dan tugas negara. Hal inipun tidak terjadi atau tidak menjadi syarat mutlak dalam konsep negara bangsa, karena paham demokratis membebaskan siapa saja bisa menjadi pemimpin berdasarkan jumlah kepala, bahkan sekalipun dia adalah mantan narapidana.
Ketiga,diterapkan aturan Islam yang berpijak pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pemimpin berhak mengadopsi hukum dan menyusun UU berdasar pada 4 (empat) sumber hukum tsb. Berbeda dengan sekarang, dimana di Indonesia aturan hukum yang dipakai merupakan warisan Belanda, sistem ekonomi yang dipakai adalah sistem ekonomi kapitalis peninggalan Adam Smith. Sistem politiknya adalah Demokrasi ajaran Montesquieu.
Keempat, keamanan di dalam negeri dan penjagaan batas wilayah khilafah dijaga oleh militer Islam dibawah kepemimpinan khalifah. Hal ini memungkinkan pembelaan kepada saudara-sadara muslim yang ditindas oleh penguasa Kafir di tempat mereka bermukim.
Seorang Khalifah atau pemimpin rezim juga harus memiliki kualifikasi yang sudah ditetapkan dalam Islam. Pribadi dan pemikiran Islamnya harus kuat, cerdas dan paham tata laksana kenegaraan, juga memiliki sensitifitas kepemimpinan, berprilaku dan senantiasa terikat pada hukum syara’. Jiwanya harus bertakwa, memiliki kesadaran ruhiyah dan amanah. Dan tentu saja mencintai rakyatnya, tidak mempersulit rakyat dan mengutamakan mereka.
Seorang khalifah juga memiliki tanggung jawab umum antara lain menjaga dan melindungi rakyat, tidak menipunya. Menjaga harta rakyat, sehingga seorang pemimpin itu tidak boleh korupsi, juga harus mengelola harta umum dan negara dengan amanah. Tanggung jawab umum lainnya yang tak kalah penting adalah menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai aturan dan undang-undang.
Dengan sinergi dua elemen tersebut, maka akan tercipta sebuah negara berdaulat dan mandiri, kuat dan aman, beradab dan mulia serta rakyat yang sejahtera. Hal ini telah dibuktikan pada masa kekhilafahan Bani Ummayah dimana Umar bin Abdul Aziz, cicit dari Umar bin Khattab menjadi khalifahnya, dalam waktu kurang dari 2 (dua) tahun, tidak ada rakyat yang berhak dan mau menerima zakat karena mereka hidup dalam kesejahteraan. Beberapa ahli sejarah bahkan menjuluki sosok khalifah ini dengan sebutan Khulafaur Rasyidin ke-5.
Sejak masa keruntuhan Khilafah pada tahun 1924, sebenarnya tidak pernah ada yang berhenti untuk mendirikan kembali Khilafah dengan berbagai cara, baik itu melalui jalan yang baik atau buruk. Padahal Rasulullah telah memberikan atau mencontohkan metode mewujudkan sistem dan kepemimpinan Islam.
Rasulullah melakukan aktivitas politik dimulai dengan berdakwah ke keluarga dan sahabat terdekat, dilanjutkan dengan berdakwah dari rumah ke rumah. Untuk selanjutnya pembinaan dilanjutkan di Darul Arqam sehingga terbentuk sebuah jamaah dakwah/partai politik.
Jamaah dakwah ini kemudian bersama Rasulullah SAW berdakwah secara terang-terangan di tengah masyarakat. Mengkritik budaya-budaya atau kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan Islam. Sejak saat inipun respon keras banyak diterima, tidak sedikit pengikut Rasulullah yang dihina, disiksa, hingga dibunuh. Namun dakwah semakin digencarkan dan mulai menyasar para tokoh dan pembesar, hingga tiba pertolongan Allah ketika pemimpin Bani Aus dan Khazraj menyerahkan kepemimpinan dan tegak daulah Madinah. Maka sejak saat itu sistem dan kepemimpinan Islam dimulai hingga menguasai 2/3 dunia.
Sehingga secara singkat, mewujudkan sistem dan kepemimpinan Islam ada 4 (empat) tahapan : Pertama, melakukan aktivitas politik bersama jamaah/partai politik Islam dengan mencerdaskan ummat dengan Islam sebagai ideologi. Kedua, bergabung dengan partai Islam yang memiliki target penegakan sistem Islam. Ketiga, Mempelajari ide-ide kepemimpinan dan Syari’ah Islam secara kaffah sebagai bekal dakwah. Keempat, Meraih dukungan Ahlul Quwwahmelalui pemikiran dan kesadaran politik Islam
Dengan demikian wajib bagi setiap individu ikut terlibat dalam penegakan sistem Islam ini karena merupakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar (dakwah politik). Namun yang dimaksud keterlibatan dalam bidang politik, bukan semata-mata turut serta menjadi bagian dari rezim dalam sistem selain Islam.
Dakwah politik yang dimaksudkan di sini adalah menelanjangi kejahatan musuh dan menyadarkan ummat serta menjelaskan solusi Islam terhadap masalah dan kepentingan ummat. Tujuannya adalah membentuk opini umum bahwa ummat menuntut penerapan syariat Islam dan berjuang bersama dalam upaya penegakan syariah Islam. Ditambah dengan dukungan Ahlul Quwah dan Man’ah maka janji akan kemenangan Islam itu akan segera kita songsong. Dan semua itu dicapai dengan pemikiran bukan dengan kekerasan. AllahuAkbar!!
Allahu Akbar, semoga perubahan hakiki itu segera terjadi, aamin