Judul : Agar Anak Kita seperti Nabi Ismail
Penulis : Ratna Dewi Idris
Penerbit : Quanta – PT. Elex Media Computindo
Tahun : 2015
Tebal : 131 halaman
Peresensi : Lastri
Punya Anak Bukan Tanda Cinta Allah. Jika anak adalah ukuran cinta dan sayang Allah, tentu Nabi Ibrahim dikaruniai banyak anak. Sebab, beliau alaihissalam hamba kesayangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya, “Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisa’ : 125)
Ini menepis anggapan keliru manusia di masa jahiliyah. Saat mereka berbangga-bangga dan merasa lebih dicintai Allah karena dikaruniai anak. “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak daripada kamu dan kami sekali-kali tidak akan diazab” (QS. Saba’ : 35).
Lalu, Allah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meluruskan kekeliruan ini. “Apakah mereka mengira harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu bermakna bahwa Kami bersegera memberi kebaikan pada mereka?” (QS. Al Mukminun : 55-56).
Deg! Sampai pada baris ini jantung saya seperti berhenti berdetak. Ternyata, di masa ini juga ada manusia-manusia yang berpikir jahiliyah. Maka, mindset kita harus diubah anak itu bukan bukti cinta Allah pada hamba-Nya. Sangat tidak adil bukan? Jika mereka yang tak dikaruniai anak hingga ajal menjemput? Tentu, Allah sudah menjabarkannya untuk meluruskan pemahaman manusia.
Pemahaman yang benar adalah :Â Pertama, Anak itu rezeki dari Allah. Maka konsep rizki telah baku. Diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan tidak diberikan kepada yang dikehendaki-Nya.
Karenanya, manusia harus bersyukur dan ridho atas rizki yang diberikan-Nya. Tanpa perlu menimbang apakah berupa anak laki-laki atau perempuan. Karena begitu banyak manusia yang pongah, karena banyaknya anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Lalu, mengutuk hadirnya anak perempuan karena dianggap bencana. Baca alquran surat Asy Syuaraa ayat 49.
Kedua, anak adalah amanah dari Allah. Setiap yang diberikan amanah, akan dimintai pertanggung-jawaban. Menjaga sebaik-baiknya dan mendidiknya dengan ilmu Islam. Tidak kecewa dan senantiasa menyiapkan hati jika sewaktu-waktu amanah itu diambil kembali oleh pemiliknya, Allah Azza wa Jalla.
Sepanjang pembahasan buku ini, penuh dengan kisah-kisah Nabi Ibrahim dan Anaknya Ismail. Bagaimana Ibrahim dan istrinya Sarah mendidiknya. Sehingga, Ismail tumbuh menjadi anak yang bertakwa kepada Allah dan berbakti kepada orang tua. Nilai yang hampir tergerus oleh peradaban ini.
Buku tipis ini penuh makna. Dimulai dengan menyadarkan posisi manusia dan penilaiannya terhadap anak. Lalu, poin-poin tahap persiapan sebagai orang tua. Terakhir, poin-poin titik pembelajaran bagi orang tua. Bagaimana menerima anak dengan penerimaan yang baik. Qoulan sadidah. Menjaga hati anak. Hingga mengikhlaskan kepergiannya.
Kesimpulan ditutup dengan kalimat “Tiada orang tua yang sempurna. Karena kita adalah manusia yang tak luput dari khilaf dan salah dalam mendidik anak. Namun, kesempurnaan itu ketika kita berusaha menjadi orang tua yang baik. Semoga Allah menguatkan hati kita dalam mendidik anak-anak hingga mereka tumbuh cemerlang menjadi seperti Nabi Ismail alaihissalam.”
Bahasanya tidak menggurui. Tapi dengan bahasa berkisah dengan menuturkan kisah-kisah tauladan para Nabi dan Rasul, salafush shalih. Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh calon ibu, calon ayah, orang tua yang mendamba generasi sholeh.
Wallahu ‘alam bishawab