Oleh: Hana Rahmawati
Persoalan kenaikan harga tidak hanya berputar pada kebutuhan bahan pokok saja. Dunia transportasi juga tidak luput terkena imbas dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Salah satunya seperti fenomena yang sedang viral terjadi di dunia penerbangan domestik Banda Aceh-Jakarta.
Melansir dari serambinews.com, harga tiket domestik rute Banda Aceh-Jakarta justru lebih mahal dibanding harga tiket penerbangan melalui jalur internasional, Banda Aceh-Kuala Lumpur-Jakarta. Harga tiket penerbangan domestik bisa mencapai 3 juta sedangkan harga tiket dengan tujuan yang sama via jalur internasional tidak sampai 1 juta.
Menanggapi hal ini, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mengklaim bahwa naiknya harga tiket pesawat saat ini masih dalam batas wajar dan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) nomor 14/2016. Bahwa dalam peraturan tersebut pemerintah telah mengatur tarif batas atas dan bawah, dan kenaikan harga tiket saat ini belum mencapai batas atas.
Sehingga menurutnya masyarakat tidak perlu berlebihan dalam merespon hal tersebut. Budi bahkan meminta masyarakat agar berbesar hati untuk menerima kebijakan maskapai. Kabarnews.com, 12/1/2019.
Selain itu, pemerintah juga berdalih merasa perlu memperhatikan keberlangsungan industri penerbangan, yakni dengan memastikan bahwa industri ini bisa bertahan. Terlebih didapati bahwa pada beberapa negara, banyak industri penerbangan yang mengalami kebangkrutan. Sepertinya, pemerintah Indonesia tidak ingin hal yang sama terjadi di negeri ini.
Indonesia National Air Carrier (Inaca), asosiasi maskapai menyebut, faktor pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat beberapa waktu lalu, turut menjadi pemicu kenaikan biaya operasional. Hal inilah yang berdampak pada harga tiket pesawat terbang yang kini melambung. Juga bahan bakar pesawat yang telah mengalami kenaikan terlebih dahulu pada tahun 2016 sebesar 125 persen.
Hal ini jelas menyulitkan masyarakat yang akan melakukan penerbangan domestik. Sebab dengan harga tiketnya yang mahal, masyarakat jelas akan memilih penerbangan Banda Aceh-Jakarta via jalur internasional. Belum lagi mereka dihadapkan dengan permasalahan pasport, yang ketika mereka memilih penerbangan via jalur internasional maka masing-masing penumpang harus memiliki pasport agar bisa memasuki negara tetangga.
Sungguh hal yang aneh terjadi di dunia maskapai kita hari ini.
Asas Sekulerisme Mengabaikan Hak Rakyat
Transportasi merupakan satu dari sekian banyak kebutuhan masyarakat. Carut marut yang terjadi di dunia transportasi adalah imbas dari kesalahan paradigma yang bersumber dari faham sekulerisme. Paham ini mengenyampingkan aturan agama dan melahirkan sistem hidup kapitalisme yang memandang dunia transportasi dan segala infrastruktur didalamnya adalah dunia industri. Akibatnya perusahaan ataupun swasta yang mengelola masalah ini akan memandangnya dari sisi materi, bukan sebagai penyedia jasa layanan publik.
Hal ini terjadi karena dalam pandangan para kapitalis, negara hanya berfungsi sebagai legislator dalam hal pelaksana layanan publik. Sedangkan mekanisme pasarlah yang berindak sebagai operator. Maka tidak mengherankan jika akhirnya harga tiket pesawat turut dipermainkan.
Padahal di dalam Islam, pelayanan publik beserta infrastrukturnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Itu artinya kebutuhan rakyat akan transportasi harus dijamin serta dipermudah. Bukan malah dipermainkan oleh kebijakan kapitalis yang dirasa menyulitkan.
Sebab di dalam Islam diatur bagaimana pemenuhan pelayanan tersebut untuk masyarakat. Yakni dengan adanya penerapan sistem ekonomi Islam yang memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, dengan begitu maka kesejahteraan masyarakat dapat terjamin. Karena fasilitas umum yang dikelola oleh negara haruslah dikembalikan untuk menjamin kemakmuran rakyat banyak bukan untuk investor asing. Jika seperti ini diterapkan, mahalnya harga tiket di dunia penerbangan tidak akan terjadi.
Namun, ide kapitalis yang telah mengakar pada sistem pemerintahan saat ini, membuat negara abai akan kewajiban tersebut. Alih-alih melayani rakyat dengan baik, malah justru melahirkan kebijakan yang memberatkan rakyat. Dan dalam hal ini, masyarakat dihimbau untuk ikhlas menerimanya.
Keadaan masyarakat di bawah sistem sekuler sekarang sangat berbeda jauh dengan keadaan masyarakat pada masa Daulah Islamiyah.
Pada masa Daulah Islam, khalifah sadar betul akan tanggung jawab besar yang sedang ia pikul. Sehingga berbagai kebijakan yang diterapkan bersumber pada syariat Islam. Kebijakan yang menciptakan kenyamanan dan kemakmuran ditengah-tengah masyarakat.
Mencontoh Khalifah Dalam Melayani Masyarakat
Rasulullah SAW pernah mengingatkan dalam sabdanya, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Nuaim).
Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari).
Menyadari betul sabda Rasulullah ini, membuat Khalifah Umar bin Khattab ra. berhati-hati dalam menjalani roda pemerintahan. Pernah suatu hari ia berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT.”
Apa yang dilakukan Khalifah Umar adalah suatu bentuk kekhawatirannya terhadap tanggung jawab besar yang sedang diemban. Bukan hanya manusia yag difikirkan, hewan juga tidak luput dari perhatian sang Khalifah.
Contoh lainnya juga bisa terlihat pada masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Di sepanjang rute perjalanan para pelancong dari Irak dan Syam ke Hijaz, Khalifah membangun banyak pondokan gratis lengkap dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal untuk memudahkan perjalanan mereka. Pada masa Khilafah Utsmani juga diberikan jasa transportasi gratis kepada masyarakat yang akan bepergian dengan berbagai keperluan menggunakan kereta api yang telah disiapkan oleh Khalifah.
Begitulah seharusnya seorang pemimpin. Mereka tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri dan keuntungan pribadi semata. Tetapi juga berfikir bagaimana caranya agar rakyat terlayani dengan baik.
Kehidupan saat ini sangat jauh dari nilai dan aturan Islam, yang menyebabkan para pemimpin menganggap kekuasaan sebagai keuntungan yang tidak boleh disia-siakan. Mereka menganggap kekuasaan lebih penting dari sekedar memikirkan tanggung jawab besar sebagai pemimpin. Para penguasa seperti ini, hendaknya merenungi sabda Rasulullah SAW berikut,
“Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan dan akhirnya adalah azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani).
WallahuA’lam