Oleh : Punky Purboyowati S.S
(Anggota Muslimah Penulis Jombang)
‘#MuslimahTimes — Gemah ripah loh jinawi’,sebutan bagi Indonesia sebagai negara yang subur. Di dalamnya terdapat kekayaan alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Namun sayang, kini keberadaan ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’ hanya sekedar ungkapan, manakala berada dalam kendali ekonomi neoliberalisme. Alhasil, tidak menciptakan kondisi rakyat yang sejahtera secara nyata. Ironisnya lagi, hingga saat ini kebijakan impor masih menjadi pilihan negara. Salah satunya impor gula.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, menjelang pemilu, Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di Dunia. Sepanjang tahun 2017-2018, Indonesia mengimpor gula tertinggi hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula rafinasi membanjir. Pemburu rente meraup triliyunan rupiah (bisnis.tempo.id).
Tapi mengapa semua diam? Sebenarnya apa yang terjadi dengan bumi Indonesia ini hingga pemerintah menjadi pengimpor terbesar?
Menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, permintaan impor gula industri terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan volume impor gula industri dipicu oleh permintaan dari industri. Kuantitas dan Kualitas produksi dalam negeri, tidak bisa diterima oleh industri. Berdasarkan standar internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang tinggi. Sementara, yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus dalam level rendah. Gula di Indonesia kadar ICUMSAnya tertinggi di dunia (bisnis.tempo.id).
Melihat kondisi tersebut, pemerintah seakan tidak secara serius mengurusi masalah pangan di Indonesia. Semua itu terjadi karena pemerintah masih bergantung pada negara asing. Pemerintah tidak memiliki strategi politik untuk menjaga ketahanan pangan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Pada faktanya, kebijakan impor yang dilakukan sering bocor dan salah sasaran. Selain itu dapat merugikan negara, jika masih menaruh ketergantungan impor pada asing. Lagi-lagi para kapital lah yang mendapat keuntungan. Kebijakan impor gula, justru tidak mensejahterakan petani dan bertentangan dengan program nawacita yang digagas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam soal kedaulatan pangan. Berangkat dari situasi seperti ini harusnya negara memiliki visi misi yg jelas dalam perannya sebagai pelayan rakyat bukan pebisnis.
Dalam perspektif Islam, negara wajib memberikan subsidi yang cukup bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan dan biaya produksi yang ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh juga besar. Sebab, masalah pangan adalah masalah strategis, negara tidak boleh tergantung kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap Negara lain mengakibatkan Negara mudah dijajah dan dikuasai. Dalam politik pertanian Islam, perlunya peningkatan produksi pertanian dan pendistribusian yang adil. Oleh karena pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila masalah pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Islam sangat memperhatikan dalam pengelolaan pertanian ini, agar kebutuhan pangan terpenuhi. Pengaturan sistem Islam sangat cocok diterapkan disetiap zaman seperti saat ini, agar ‘Gemah ripah loh jinawi’ kembali dirasakan Indonesia dan seluruh dunia.
Wallahu a’lam bisshowab.
=======================
Sumber Foto : Finance Detik