Oleh: Ifa Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
#MuslimahTimes –– Kasus kekerasan seksual di Indonesia dinilai masih sangat tinggi. Pada catatan tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150 (www.komnasperempuan.go.id). Kekerasan seksual tak hanya marak di Indonesia, namun menjadi masalah dunia. Data dari PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual. 120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan tindakan seksual lainnya. (Serambinews.com). Pun juga berdasar laporan dari KPAI bahwa tindakan pelecehan seksual kepada anak juga meningkat.
Berdasarkan fakta di atas, maka ada upaya dari DPR untuk membuat UU sebagai aspek hukum sehingga bisa menjerat pelaku kekerasan seksual tersebut. Wacana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) pertama kali diajukan oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2016. Dan memasuki tahun politik ini, desakan untuk segera melegalkan RUU P-KS terus bergulir dari berbagai fihak. Memang sejak tahun 2018, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018. RUU yang ditargetkan ketok palu tahun 2018 ini dibahas oleh Komisi VIII yakni bidang agama, sosial dan pemberdayaan perempuan. Namun, setelah diamati draft RUU ini akhirnya menuai pro dan kontra dari beberapa fihak.
Draft RUU PKS memantik kontroversi. Beberapa pasal-pasal yang kontroversial dalam RUU PKS antara lain adalah pasal 5,6,7 dan 8. Frasa kontrol seksual pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan frasa ini.
Kebebasan seksual ini makin nampak pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina, prostitusi suka sama suka, bahkan seks menyimpang semisal LGBT.
Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Karena termasuk kontrol seksual dalam hal busana. Maka seorang ayah melarang anak perempuan nya keluar rumah jika tidak menggunakan busana muslimah, maka ini dianggap pelanggaran terhadap UU ini.
Lebih jauh dari itu, seorang laki-laki tidak harus berpakaian laki-laki, namun boleh berpakaian perempuan. Demikian juga sebaliknya. Perempuan boleh berpakaian laki-laki. Karena melarangnya termasuk kontrol seksual. Para perempuan juga berhak berbaju seksi dan minim, karena itu dianggap hak yang dilindungi undang-undang. Di sini sangat jelas jika RUU ini akan melegalkan dan semakin melanggengkan pornografi dan pornoaksi.
Kemudian, pada pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.Sesuai pasal ini, seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, maka terkategori pemerkosaan. Di sisi lain, jika suami menghendaki berhubungan seksual melalui jalur belakang atau dubur, tidak menjadi suatu masalah ketika istri juga melakukan atas dasar suka sama suka. Hal ini menunjukkan betapa bencinya pembuat draft RUU ini terhadap institusi keluarga. Padahal, keluarga adalah institusi yang masih diharapkan menjadi benteng pelindung bagi seluruh anggota keluarga di dalamnya. Demikian beberapa pasal dalam RUU P-KS yang menimbulkan kontroversi.
Kalau kita amati di sini, terjadinya polemik tentang permasalahan seksual dan solusi yang ditawarkan memang masih tambal sulam. Solusi yang tambal sulam ini pun nyata akhirnya bukannya menyelesaikan permasalahan, justru menuai konflik demi konflik. Hal ini terjadi karena sistem yang mangatur tata kehidupan kita, di Indonesia khususnya membolehkan bahkan seolah menjadikan tuntutan agar masing-masing kepala berfikir untuk mencari solusi terhadap setiap permasalahan yang terjadi. Padahal manusia sejatinya adalah manusia yang serba terbatas, harusnya menyerahkan segala pengaturan permasalahan ini kepada aturan Zat Yang Menciptakan Manusia, yakni Allah SWT. Karena, hanya Allah SWT lah yang tahu apa-apa yang sesuai dengan makhluk-Nya termasuk kita sebagai manusia.
Kalau kita amati tentang terjadinya kekerasan seksual di masyarakat, terjadi karena masyarakat kita saat ini hidup di dalam sebuah kehidupan yang liberal (bebas). Naluri seksual akan bisa terjaga fitrahnya jika tidak ada faktor yang merangsang kemunculannya. Namun faktanya dalam kehidupan kita, senantiasa disuguhi dengan pornografi dan pornoaksi, dan ini dilegalkan oleh negara. Betapa banyaknya perempuan yang mengumbar tubuh seksinya, bahkan dalam tataran keluarga pun mereka tidak memiliki pengaturan pergaulan dengan anggota keluarga yang lain sehingga sering kita temui justru yang melakukan tindakan kekerasan seksual adalah keluarga terdekat mereka.
Faktor pemikiran materialistik pun menjadi momok yang menjijikkan di tengah masyarakat. Bagaimana masyarakat memandang materi adalah puncak dari kebahagiaan, sehingga beberapa kalangan menganggap prostitusi suka sama suka dengan bayaran puluhan juta bahkan ratusan juta adalah hal yang patut dibanggakan. Sebaliknya, kehidupan suami dan istri dalam lingkup keluarga justru dianggap sebagai perbudakan kepada perempuan, na’udzubillahi min dzalik. Semua ini adalah buah dari sistem sekulerisme yang melingkupi kehidupan kita. Selama agama tidak diperbolehkan mengatur tata kehidupan manusia, maka bisa dipastikan konflik demi konflik pun tidak akan pernah diselesaikan.
Menurut saya solusi terhadap kekerasan seksual tidak bisa diakhiri dengan RUU-PKS, karena nyatanya RUU ini justru menyebabkan legalnya dosa yang lebih besar yakni melanggengkan seks bebas, LGBT, prostitusi bahkan aborsi. Masalah kekerasan seksual juga tidak bisa dituntaskan dengan mengganti RUU P-KS dengan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan saja. Sebab jika tata kehidupan di masyarakat tetap sekuler-liberal maka kejahatan seksual pun akan terus menjamur di masyarakat. Satu-satunya solusi yang harus kita ambil adalah bagaimana syariat Allah SWT bisa diterapkan, baik di dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan pastinya negara.
Adanya ketaqwaan individu dengan aqidah yang benar akan mengantarkan seseorang untuk senantiasa terikat dengan hukum syariat. Dorongan aqidah inilah yang akan menjadikan seseorang berupaya untuk melaksanakan perintah Allah dalam hal pergaulan seperti perintah menundukkan pandangan, menutup aurat, larangan tabarruj untuk perempuan, menerima syariat poligami, menjadi istri yang taat kepada suami, dst. Dalam tataran keluarga, syariat Islam mengatur tentang aurat wanita dan laki-laki di dalam rumah, mengatur pemisahan tempat tidur bagi anak sejak usia 7 tahun, mengatur kewajiban seorang ayah untuk menjaga istri dan anak-anaknya agar mereka mau menutup aurat secara sempurna, mengatur kewajiban bekerja bagi laki-laki dan ibu sebagai al-umm wa robatul bait. Potret keluarga yang seperti ini lah yang bisa menjadi benteng penjagaan dari pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual.
Namun demikian, penjagaan keluarga tidaklah cukup jika tidak didukung oleh masyarakat yang islami. Masyarakat memiliki corak yang khas dilihat dari pemikiran, perasaan dan tata aturan apa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Maka jika saat ini, corak masyarakat kita adalah sekuler liberalisme, dan terbukti corak ini menimbulkan berbagai permasalahan dan kerusakan. Maka sudah sepatutnyalah corak ini diganti. Masyarakat Islam terwujud jika pemikiran, perasaan dan peraturan yang ada di masyarakat adalah islam. Hal ini lah yang akan menjadi kontrol terhadap kemaksiatan yang terjadi di tengah masyarakat. Masyarakat sekuler senantiasa menyerahkan permasalahan kepada HAM, sehingga mereka seolah cuek dengan kondisi kerusakan yang ada termasuk adanya pelecehan seks ataupun seks bebas. Namun masyarakat yang Islami akan senantiasa mengingatkan untuk taat kepada aturan Allah termasuk menghindarkan diri dari perbuatan keji yakni perzina-an, baik suka sama suka atau karena paksaan.
Penjagaan yang tuntas adalah penerapan syariat oleh negara, karena negara lah yang berhak menghukum adanya tindakan kriminal di tengah masyarakat. Penerapan hudud oleh negara, misal penerapan rajam ataupun hukum cambuk untuk pezina akan memberikan efek yang luar biasa bagi masyarakat ataupun pezina itu sendiri. Bagi pezina, hudud yang diberlakukan oleh negara akan menjadi penghapus dosa zina nya sehingga tidak akan lagi dihukum oleh Allah SWT di akhirat. Sedang bagi masyarakat adanya hudud ini akan memberikan pelajaran yang nyata sehingga masyarakat akan benar-benar berusaha menghindari tindak kriminal zina ini. Bagi seseorang yang mendapatkan pelecehan seksual karena terpaksa maka negara akan menjamin kehidupannya secara nyata, karena dia adalah korban yang harus dimuliakan. Sedangkan perilaku pelecahan tersebut akan mendapatkan hukuman yang sangat setimpal, tidak seperti saat ini yang justru mereka bisa dengan mudah membebaskan diri terlebih maraknya politik uang dalam hukum kita saat ini.
Negara juga menerapkan sistem pendidikan dan pergaulan sesuai dengan Islam. Menjamin informasi bersih dari pornografi dan pornoaksi. Menjamin pengaturan ekonomi untuk masyarakat, serta menjamin kewajiban suami sebagai kepala keluarga bisa terpenuhi dengan menyediakan pekerjaan yang layak bagi mereka. Inilah solusi tuntas kekerasan seksual dan permasalahan seksual yang lain. Maka sampai kapan lagi kita mau diatur dengan hukum jahiliah yang nyata kerusakannya? Marilah kita bergegas kembali kepada pangkuan Islam secara kaffah. Insya Allah kehidupan ini akan berkah. Aamiin