Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Pengasuh MCQ. Sahabat Hijrah Indramayu)
#MuslimahTimes –– Apa yang terjadi saat seseorang dengan minus 8 dan cylindris 3 kehilangan kacamatanya? Atau jika seseorang bermata normal dipaksa memakai kacamata berukuran plus 3?
Buram, kabur, tidak nyaman, salah menginterpretasikan satu objek, bahkan membawa celaka, bisa terjatuh, menabrak tiang, salah baca atau salah pegang. Terbayang kekacauan yang diakibatkannya.
Lalu apa pula yang akan terjadi saat seseorang dipakaikan kacamata dengan ukuran yang tepat. Juga seseorang dengan mata normal melepaskan kacamata berukuran plusnya. Dunia akan tampak jelas, jernih, hingga tulang daun pun terkenali.
Maka seperti itu pula pemikiran sebagian umat muslim. Saat pijakan berpikirnya dibangun di atas pandangan hidup selain Islam, maka kekacauan dan ketidakjelasan visi misi akan menghampirinya. Tak jarang kegelisahan dan ketidaknyamanan singgah di hati, dalam hari-hari dan menghanguskan malam-malamnya. Rentan jatuh kepada kenistaan, terpuruk dalam kedangkalan pemikiran.
//Pijakan Islam//
Islam bukan sekadar agama. Cahaya di atas cahaya, diturunkan sebagai tuntunan, arah pandang, sistem bagi penyelenggaraan kehidupan. Keyakinan kepada satu Pencipta Pengatur alam raya, tentang hari berbangkit serta penghisaban memantapkan satu cita, bahwa hidup tiada lain hanya untuk diabdikan dalam kebaikan. Kebaikan yang dimaknai sebagai pilihan untuk merendah, tunduk, berserah diri kepada aturan main dalam hidup sesuai dengan ketetapan Zat Pemilik Kehidupan, yakni Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Pijakan Islam, melahirkan keyakinan tanpa terselip sedebu pun keraguan. Bahwa Allah lah yang telah memberi manusia kehidupan. Tak cukup sampai di situ, Allah juga melimpahkan banyak sekali nikmat bagi ciptaan-Nya. Maka didapati kalimat “Fa bi ayyi aalaa’i rabbikuma tukazziban” diulang hingga 31 kali dalam surah ar-Rahman. Pengulangan ayat yang diterjemahkan: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” mengandung pesan penting, yakni untuk mengingatkan manusia yang kerap ingkar, dan kemustahilan untuk menghitung banyaknya nikmat Allah.
Kesadaran bahwa Allah telah banyak memberi kenikmatan selumrah logika berbicara, maka sudah sewajarnya manusia berbakti, mengabdi dan bersyukur dengan cara menyerahkan dirinya untuk diatur. Yakin bahwa Pencipta pasti menghendaki kebaikan bagi ciptaannya. Maka seorang hamba, apapun profesinya, guru, dokter, bahkan pejabat, akan ikhlas mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang. Memilih taat artinya sadar akan posisi diri sebagai ciptaan. Dan itu hanya terjadi tatkala seorang muslim tepat memilih kacamata kehidupannya. Yakni, Islam.
//Kacang Lupa Kulit//
Sayangnya, sebagian manusia memilih bersikap jumawa. Muslim, namun sedia memilih pijakan yang lain. Sekulerisme. Pijakan rapuh dan berbahaya. Pola pikirnya mewujud serupa benteng. Agama ada di satu sisi, dan kehidupannya di sisi lain. Bahkan sekulerisme membuat seseorang berpikir, gajinya murni dari jerih payahnya. Dari baktinya pada atasannya. Menafikan peran Allah, sebagai pemberi rizki.
Melupakan posisi diri sebagai kreasi Sang Pencipta, membuatnya terfokus pada kehidupan dunia saja. Tak ada kaitan dengan Tuhan, juga tak ada hubungan dengan hari kebangkitan dan penghisaban. Hidup di dunia dirasa cukup dengan akal atau hasil dari merasakan. Semau nafsu memukul sadar. Yang penting hidup senang. Merasa paling pintar dan benar. Enggan tunduk dan diatur dengan syariat (hukum Allah). Hidup pun akan berujung pada kerusakan dan jauh dari keberkahan.
Saat satu lisan bertanya secara retoris tentang “yang gaji kamu itu siapa?”, maka layak kepadanya ditanyakan sekaligus diingatkan, “yang memberi Anda hidup itu siapa?”. Agar kacang tak lupa kulit yang dimaknai supaya setiap hamba tak lupa dari mana asalnya, untuk apa dihidupkan dan mau kemana setelah kematian. Kembali umat muslim, memandang kehidupan ini dengan kacamata Islam. Hingga tampak jelas mana yang salah dan mana yang benar. Mana hitam dan mana putih. Harapannya, surga sebagai tempat kepulangan.
Wallahu a’lam bish-shawab.