Oleh : Shita Ummu Bisyarah ( Aktivis Dakwah Islam )
MuslimahTimes— Beberapa hari yang lalu publik digemparkan dengan kasus yang cukup menggelitik, yakni Pak Prabowo dilarang sholat jumat di Masjid Kauman Semarang, Jawa Tengah. Dilansir dari www.tribunnews.com dikatakan “Kami para nadlir atau takmir Masjid Kauman merasa keberatan dengan rencana jumatan Prabowo tersebut. Tolong sampaikan ke Bawaslu agar mengambil tindakan yang perlu sesuai aturan hukum,” tutur Kiai Hanief dalam keterangan pers, Kamis (14/2/2019).
Sang takmir menyampaikan keberatan tersebut dikarenakan khawatir adanya politisasi atau pencitraan. Padahal kita tahu bahwa banyak kubu petahana yang menyerang pak Prabowo dengan mempertanyakan apakah beliau menunaikan ibadah sholat atau tidak. Sedangkan dari kubu lawan sangat banyak foto – foto pencitraan, yakni Jokowi ketika sedang melakukan ibadah sholat bahkan sering juga kita jumpai jarak imam dengan shaf pertama sangat jauh karena dibelakang pak Jokowi digunakan untuk wartawan mengambil foto demi ajang pencitraan.
Hal ini sungguh menggelitik akal sehat kita. Sungguh dapat kita lihat bagaimana pesta demokrasi membuat para pendukung maniak para calon melakukan cara – cara konyol bahkan menyimpang untuk ajang pencitraan demi memperoleh kemenangan. Alih – alih mengunggulkan prestasi mereka sebagai bahan pertimbangan rakyat justru malah meliput hal – hal yang tak urgen diketahui oleh masyarakat, lari pagi lah, cukur rambut lah dsb. bahkan sekarang kubu lawan yang mulai terdesak melakukan privatisasi masjid hanya karena tak mendukung calon lawan, aneh bukan main.
Masjid itu rumah Allah yang siapapun boleh singgah di dalamnya, iya siapapun dari gelandangan sampai orang nomor satu di republik ini. Dan fungsi masjid bukan hanya untuk tempat ibadah lalu pulang. Pada prakteknya di zaman Rosulullah dan para sahabat masjid digunakan sebagai pusat perpolitikan malah.
Dalam iklim kapitalisme, hal semacam ini sangatlah wajar terjadi karena adanya upaya sistemik yang meniscayakan kecurangan dan pencitraan yang lebay. Bagaimana tidak, urat nadi dari kapitalisme adalah materialisme dimana dalam melakukan apapun didasarkan pada kepentingan materi belaka, bagaimana mencari keuntungan sebesar – besarnya dari sebuah jabatan, bagaimana cara balik modal yang sudah mereka keluarkan.
Alhasil berbagai cara, baik terlihat bodoh atau tidak, mereka lakukan, ibarat orang yang mau tenggelam, jerami mengapungpun akan mereka ambil sebagai penolong, padahal faktanya hal itu akan membuat dia semakin terlihat bodoh. Hal ini membuktikan bahwa kapitalisme senantiasa membentuk iklim yang tidak sehat dalam segala hal termasuk perpolitikan.
Berbeda 180 derajat dengan sistem Islam. Kita tahu bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna dimana politik diatur dengan sangat rinci dan ciamik yang bersumber langsung dari sang pencipta manusia.
Pertama, dalam Islam tidak ada yang namanya persaingan tidak sehat antara calon pemimpin. Karena pemimpin dalam Islam sangatlah berat pertanggungjawabannya di akhirat. Bagaimana tidak, pemimpin adalah periayah (pemelihara) satu per satu urusan rakyatnya, dia harus menjamin satu–persatu rakyatnya dalam mendapat kecukupan kebutuhan pokoknya. Hal ini meniscayakan setiap calon pemimpin akan benar -benar membandingkan kualitas ketakwaan dan kemampuan dirinya dengan lawannya dalam memimpin sebuah negara. Dia akan berfikir ratusan kali apakah dia layak menjadi seorang pemimpin, karena di sampng hisabnya yang berat, akan nada pahala yang besar bagi pemimpin yang adil dan amanah. Obsesi dia memimpin bukanlah materi melainkan ridho Allah.
Konsep yang khas ini meniscayakan akan terpilihnya seorang pemimpin yang terbaik diantara orang – orang baik.
Ke dua, aqad pemimpin bukanlah aqad ijarah. Maka pemimpin dalam Islam tidak dibayar, namun bila memang pemimpin tersebut tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya dikarenakan sibuk mengurusi urusan negara yang wilayahnya luas, maka pemimpin tersebut akan diberi santunan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja. Hal ini akan membuat pemimpin tidak akan pernah berorientasi dengan harta, sehingga orang – orang yang cinta dunia dan munafik alias hanya pencitraan saja akan mundur secepat kilat.Hal ini akan mampu mengondisikan iklim amanah pada aparat negara.
Dalam prakteknya para sahabat telah meneladani dengan sangat baik konsep kepemimpinan ini, lihat saja saat pemilihan kholifah pengganti Umar bin Khattab ra. Saat itu terpilih 5 kandidat calon pemimpin ( khalifah) yakni Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas. Alasannya, Umar pernah mendengar Rasul berkata bahwa mereka adalah penghuni surga. Umar menyuruh Abdullah bin Umar bergabung untuk mengawasi, tidak boleh dipilih karena dia anak dari Umar bin Khattab. Di sini Umar memilih kandidat tersebut berdasarkan kwalitas mereka karena mereka sudah dijamin Allah masuk surga yang pasti kualitasnya tak diragukan. Lalu Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dari pencalonan dan memilih menjadi ketua pemilihannya. Para calon pun tak saling serang layaknya iklim kapitalisme sekarang, mereka mendiskusiannya seksama dengan masyarakat yang akhirnya terkerucut menjadi dua pilihan yakni Ali dan Utsman. Kualitas mereka tak diragukan hingga terpilih Utsman karena beliau memenuhi syarat rakyat, yakni mau memimpin dengan cara kepemimpinan khalifah sebelumnya. Setelah pemilihan pun mereka tak saling serang bahkan saling mendukung dan memberi masukan satu sama lain untuk mencapai satu visi negara yakni baldatun toyyibatun wa Robbul ghofur, bukan kepentingan individu masing – masing atau golongan terlebih lagi kepentingan penjajah.