Oleh: Ifa Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
MuslimahTimes— “Aborsi aman” sebenarnya sudah lama masuk ke dalam program kesehatan reproduksi remaja, satu program dengan “seks aman” yang terkenal dengan program ABCD nya. Namun, untuk aborsi di Indonesia baru diwacanakan akan dilegalkan secara hukum. Pro dan kontra terjadi di sana. Pasalnya, jika program aborsi aman dilegalkan, dikhawatirkan akan banyak yang merasa aman dan tenang melakukan tindakan aborsi meski tidak ada indikasi secara medis. Padahal dalam dunia medis sendiri, tindakan aborsi dilakukan hanya jika ada indikasi secara medis.
Per definisi, aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan dengan cara tertentu sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya, yakni pada usia janin kurang dari 20 minggu dan berat badan janin kurang dari 500 gram. Terkait aborsi karena indikasi medis atau membahayakan nyawa ibu maka tidak ada yang mempersoalkan.
Namun ketika aborsi dibolehkan untuk kasus perkosaan, atau hamil di luar nikah ini yang menimbulkan perdebatan. Di Indonesia, kasus aborsi terbilang cukup tinggi. Berdasarkan perkiraan BKKBN, ada sekitar 2 juta kasus/tahun. Sebagian besar di antaranya adalah aborsi yang tidak aman. Ini hanya perkiraan, karena kasus yang terbongkar tentu lebih sedikit dari kejadian yang sesungguhnya. Fenomena Gunung Es terjadi di sini.
Bagi mereka pihak pro-choice pendukung hak aborsi, beranggapan bahwa tubuh perempuan adalah otoritasnya dan janin adalah bagian dari tubuh mereka. Jadi, adalah hak perempuan untuk memilih melanjutkan atau menggugurkan janinnya. Inilah yang ingin diperjuangkan mereka juga di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), yang masih diperdebatkan di DPR RI saat ini.
Menurut koalisi perempuan “Inisiatif RUU penghapusan kekerasan seksual di DPR ini sebetulnya harapan baru bagi korban (kekerasan seksual) termasuk hak mereka melakukan aborsi” (bbc.com).
Lebih dari itu, ternyata pemerintah memang sedang menyiapkan layanan aborsi aman sesuai aturan sebagaimana dilansir oleh suarasurabaya.net pada tanggal 19 Februari lalu. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kirana Pritasari, membenarkan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan layanan aborsi aman, yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan. “Kami sedang menyiapkan peraturan yang lebih operasional. Untuk beberapa rumah sakit, terutama rumah sakit pendidikan. Sudah ada tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, termasuk layanan konseling oleh psikolog dan psikiater,” jelasnya.
Peraturan yang dimaksud merujuk UU nomor 36 tahun 2009 tentang yang sebenarnya melarang praktik aborsi. Dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia kehamilan dini dan hamil akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.
Dalam PP nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, juga mengatur batas usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi. Dalam pasal 31 menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan apabila kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pertanyaannya sekarang, apakah melegalkan aborsi adalah sebuah solusi? Padahal maraknya kehamilan yang tidak diinginkan diakibatkan oleh kondisi masyarakat kita yang serba bebas. Dimana hal ini menyebabkan adanya ketimpangan dan kerusakan yang luar biasa.
Adanya seks bebas yang melanda remaja kita diakibatkan oleh pergaulan yang bebas dan permisif. Konten pornografi dan pornoaksi juga sangat mudah untuk diakses. Ketika aurat dibolehkan untuk diumbar dimana-mana, ini lah awal mula adanya zina ataupun perkosaan. Sedangkan zina menjadi pintu masuk berbagai problematika sosial yang lain antara lain tersebarnya penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, maraknya pembuangan dan pembunuhan bayi yang tidak bersalah, dan aborsi “tidak aman” yang dianggap mengancam nyawa remaja.
Dari sini, bagi pihak yang setuju program aborsi aman, mereka menganggap aborsi yang dilegalkan adalah solusi tepat untuk mencegah lebih lanjut kerusakan akibat seks bebas. Padahal, jika kita bicara tentang aborsi maka kita harus melihat banyak sisi permasalahan yang harus terpecahkan. Dari sisi hukum Islam, jelas bahwa Allah SWT mencela tindakan ini, dalam firman-Nya: “Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh?” ( TQS. At Takwir : 8-9).
Allah berfirman dalam surat yang lain : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan sesuatu (sebab) yang benar” (TQS. Al An’am : 151).
Kondisi masyarakat saat ini bisa dikatakan jauh dari nilai Islam, bahkan jika dibandingkan dengan zaman jahiliyah, jauh lebih parah lagi. Kalau dahulu, bayi yang lahir berjenis kelamin perempuan baru dibunuh hidup-hidup, saat ini janin yang sudah bernyawa meski belum lahir marak untuk dibunuh. Terlebih jika dalam kondisi yang tidak “diharapkan
Terlebih akhir-akhir ini marak terjadi kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, baik itu dilakukan oleh orang lain atau keluarga terdekat mereka. Bahkan dilakukan oleh keluarga sedarah (incest) .
Seperti tahun lalu terjadi pro kontra ketika seorang perempuan korban pemerkosaan dijadikan tersangka dalam kasus aborsi. Kasus ini menyita perhatian organisasi perlindungan anak di dunia, termasuk Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA) di Indonesia (jawapos.com, 03/08/2018). Karena kakak korban dijatuhi pidana penjara karena terbukti melakukan pemerkosaan terhadap adiknya. Sedangkan adiknya yang sebenarnya sebagai korban, juga dijatuhi vonis karena telah terbukti melakukan aborsi dan telah melanggar UU Perlindungan Anak. Saat itu, banyak elemen dan aliansi dari masyarakat yang menganggap hal ini sangatlah tidak adil khususnya bagi korban. Mereka juga menilai bahwa korban pemerkosaan boleh melakukan tindakan aborsi karena kehamilan tidak diinginkan (KTD), agar tidak menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Namun, pertanyaannya sekali lagi apakah dengan demikian pelegalan “aborsi aman” adalah solusi? Karena pada faktanya aborsi terjadi karena ruwetnya tatanan kehidupan di dalam masyarakat.
Dalam sistem sekuler-kapitalis yang penuh dengan kebebasan, kerusakan moral remaja, juga rusaknya interaksi antaranggota keluarga menjadi sulit dihindari. Tak hanya itu, sistem pendidikan yang hanya fokus kepada prestasi di atas kertas menjadinya anak didik jauh dari moral yang baik. Sistem hukum yang lemah, bahkan malah membedakan perilaku perzinaan karena suka sama suka, dengan perkosaan turut menyumbang persoalan di negeri ini. Sedangkan di sisi lain ternyata perilaku yang menyumbang tingginya kasus kehamilan tidak diinginkan tidak segera diselesaikan? Belum lagi, angka aborsi cukup tinggi saat ini sebelum dilegalkan, lalu bagaimana ketika negara justru memfasilitasi? Khawatirnya, angka aborsi justru akan naik berlipat dan ketimpangan pergaulan di masyarakat semakin hancur. Naudzubillahi min dzalik.
Islam memiliki aturan interaksi di keluarga dan masyarakat yang bisa diterapkan untuk mencegah kerusakan, dengan memperbaiki tata kehidupan dengan Islam. Untuk itu diperlukan peran dari keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Semua unsur ini akan bertanggung jawab dalam membentuk tata kehidupan masyarakat yang dibangun berdasarkan Islam. Semuanya juga bekerja sama untuk mewujudkan kehidupan dan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan para remaja, agar selalu disibukkan dengan hal yang positif. Jauh dari unsur senksualitas dan pornografi.
Negara wajib turun tangan menerapkan pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan dengan Islam. Juga pemberian sanksi yang keras bagi pelaku zina, incest, dan penyimpangan seksual lainnya. Negara pun harus menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kriminal (maksiat). Terkait aborsi, menurut Islam adalah dosa atau tindakan kriminal. Karena tindakan menghilangkan jiwa manusia yang terpelihara darahnya. Abu Hurayrah berkata : “ Rasulullah telah menetapkan bagi janin seorang wanita Bani Lahyan yang digugurkan, kemudian meninggal dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki atau pun budak perempuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diyat ghurrah, adalah sudah tampak wujud manusia, seperti punya jari, tangan atau kaki. Sehingga ibu, ayah bahkan dokter, termasuk korban perkosaan pun haram melakukan aborsi.Apalagi ketika janin pada fase pembentukan, terlebih ketika telah ditiupkan ruh padanya, atau berusia lebih dari 40 hari. Kecuali kehamilan ibu bermasalah berdasarkan indikasi medis dari seorang dokter yang adil (bukan fasik). Bukan dokter yang memang dengan sengaja memfasilitasi kejahatan.
Lalu bagaimana nasib bayi ketika ibunya dalam kondisi tidak stabil dampak dari perkosaan? Solusinya, sang ibu tetap harus melajutkan kehamilannya. Ketika dia telah lahir adalah dipelihara oleh pihak keluarga ibu. Karena hak pengasuhan dalam Islam ada pada ibu. Ketika ibu dalam kondisi yang “menghalangi”-nya mengurus sang buah hati, maka kerabat terdekat dari pihak ibulah yang berhak mengasuh, seperti nenek dari anak tersebut, bibi anak tersebut, dst.
Berdasarkan sabda Rasul Saw.: “Bibi (saudara perempuan ibu) kedudukannya sama seperti ibu” (HR. Bukhari).
Demikianlah, aborsi aman bukanlah solusi tuntas terhadap maraknya kasus pemerkosaan yang berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan. Justru, dengan adanya aborsi aman yang dilegalkan dikhawatirkan semakin banyak kasus perzinaan di tengah masyarakat. Hanya dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh yang akan memutus segala macam kemaksiatan termasuk seks bebas dan aborsi. Wallahu A’lam bi showab.
[Mnh]