Oleh: Wity (Revowriter Purwakarta)
MuslimahTimes— Laksana black hole, menyedot apa saja yang ada di sekitarnya. Begitulah korupsi, menyeret siapapun yang ada di dekatnya. Mulai dari atasan hingga bawahan. Dari ketua umum hingga kasir koperasi.
Terjaringnya Romahurmuzi dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK menjadi black hole bagi Kemenag. Sejumlah nama turut terseret ke dalamnya. Bahkan, nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pun mulai disebut-sebut. (detik. com)
Begitulah pusaran hitam korupsi. Mustahil bila hanya menyedot satu nama saja. Terlebih dalam kasus makelar jabatan. Pasti ada orang lain yang terlibat di dalamnya. Suap, setidaknya akan menyedot dua nama, pemberi suap dan penerima suap. Semakin banyak yang diberi suap, semakin banyak yang terlibat. Ketika salah satu tertangkap, ia takkan rela membiarkan yang lain bebas di luar sana.
Pusaran hitam korupsi telah menelan banyak korban. Bahkan, skandal di Kemenag ini bukan yang pertama. Sebelumnya, lembaga ini pernah mendapat predikat sebagai lembaga terkorup. Sungguh ironis.
Demokrasi menjadi magnet atas pusaran korupsi. Sebab, demokrasi berpangkal pada sekularisme. Memisahkan agama dari kehidupan. Maka tak heran bila dalam demokrasi banyak orang baik menjadi jahat, orang jujur mendadak korup.
Dalam demokrasi para penjabat menjadikan jabatannya sebagai alat untuk memperkaya diri, kelompok, dan partainya. Bukan sebagai amanah yang harus dijalankan untuk mengurusi kepentingan rakyat. Mereka tak lagi memikirkan bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Dalam demokrasi hal semacam itu adalah tabu.
Selain itu, politik dalam demokrasi sangat mahal. Siapapun yang ingin menjadi penguasa harus memiliki modal besar. Atau meminta dukungan dari orang-orang yang bermodal besar. Sehingga, ketika mereka telah berhasil meraih jabatan hal pertama yang difikirkan bukanlah bagaimana menjalankan amanah sebaik-baiknya. Melainkan bagaimana cara mengembalikan modal secepatnya. Maka, peluang korupsi pun tak bisa dihindarkan.
Lain demokrasi, lain pula Islam. Islam memandang bahwa agama tak bisa dipisahkan dari urusan kehidupan. Sebab, kehidupan di dunia berkorelasi dengan kehidupan di akhirat. Setiap perbuatan manusia di dunia, akan menentukan nasibnya di akhirat.
Islam memahami bahwa setiap perbuatan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Pemahaman ini menuntun manusia untuk taat kepada Allah. Sehingga, seseorang yang memiliki jabatan akan memandang jabatannya sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad).
Karena itu, satu-satunya cara mematikan pusaran hitam korupsi adalah dengan mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam. Sistem yang akan menuntun masyarakat, parpol, dan para pejabat untuk taat pada perintah dan larangan Allah SWT.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50).
Wallahu’alam.[]