Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Founder MCQ Sahabat Hijrah Indramayu)
MuslimahTimes– 14 abad silam Rasulullah Saw. merintis sebuah kehidupan baru. Jauh dari kejahiliyahan, luhur bersama tuntunan wahyu dari Allah, Sang Pencipta dan Pengatur. Zaman pun berganti, kini keinginan yang sama mendiami benak umat. Lelah dari segala fakta rusak, kerakusan dan ketidakadilan. Berharap akan ada perubahan bagi potret buram bangsa.
Kegagalan demi kegagalan menjadi pil pahit bagi bangsa kita. Gagal bangkit di atas kedua kaki, memilih mengulang kesalahan yang sama, dalam daur sistem demokrasi. Pemilihan Umum 17 April 2019 lalu, bukan kali pertama. Pesta rakyat sudah dilaksanakan sejak tahun 1955. Tapi lihatlah kenyataannya, hingga detik ini tak satu pun rezim yang mampu membawa perubahan hakiki. Indonesia masih terjerat utang Luar Negeri, korupsi menggurita, harga kebutuhan pokok naik, ditambah dengan degradasi moral, kesenjangan sosial, juga masalah pengangguran masih mewarnai derita negeri.
Terlebih lagi, pemilu tahun ini makin kacau daripada yang sudah-sudah. Indikasi kecurangan, korban jiwa berjatuhan, gaduh terkait kotak suara kardus, kisruh suara orang gila dan sederet hal sensasional lainnya. Namun, seakan menemukan jalan buntu, umat tetap menaruh harap meski tiap hari semakin meragu.
Padahal, jika saja umat mau membuka mata dan hati, jalan perubahan itu amat dekat sekali. Tidak seberapa jauh dari keimanan dan Islam. Perubahan hakiki ada di tangan Nabi. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (TQS. Al Ahzab: 21)
Nabi membawakan cahaya benderang untuk menyibak kegelapan bangsa Arab kala itu. Pada saat kehidupan diliputi oleh kezaliman. Benar dan salah tak ada timbangannya, semua tersungkur di hadapan hawa nafsu dan orang-orang yang berkuasa. Bahkan penguburan hidup-hidup bayi perempuan, menjadi budaya dan tidak dianggap sebagi tindakan keji.
Nabi mengawal perubahan dengan pemikiran dan metode yang baku. Seberapa letih dan lama, fokus utama tidak menjadi kabur. Jalan perubahan tidak boleh melanggar ketetapan wahyu. Masuk ke dalam sistem yang rusak buatan akal manusia adalah bunuh diri politik.
Memang banyak jalan menuju Roma, namun untuk sampai pada perubahan yang benar, jalannya hanya ada satu. Jalan politik Nabi. Mencoba bahkan fanatik terhadap jalan selain yang dicontohkan Nabi, hanya akan berakhir dengan kegagalan, bahkan kekacauan.
Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…. ” (TQS. Yusuf: 108).
Jika kita teliti Sirah secara mendalam, metode perubahan masyarakat, ada tiga tahap. Di mana, tahap yang satu menjadi prasyarat tahap selanjutnya.
Pertama, Nabi melakukan pembinaan terhadap para sahabat, untuk membentuk kader dakwah dengan militansi tinggi dan berkepribadian Islam. Di mana pola pikir dan pola sikapnya hanya bersandar kepada Islam. Membangun keyakinan yang kuat terhadap akidah adalah target utama, sebab tanpanya setiap gerakan apapun yang menyerukan perubahan akan mudah tergoda untuk berkompromi, dan menghindar dari konfrontasi dan konflik. Selanjutnya Nabi menyiapkan para sahabat untuk masuk ke tahap berikutnya.
Kedua, interaksi terbuka dengan umat. Nabi dan para sahabat, secara terang-terangan mengajak masyarakat di Makkah untuk menyembah Allah Swt. semata, meninggalkan sistem jahiliyah dan ber-syahadat. Pada tahap ini, gesekan hingga benturan mulai terasa.
Nabi mendakwahkan Islam di Makkah selama 13 tahun. Bergeming, meski caci maki, tuduhan, fitnah dan propaganda tak pernah berhenti, ancaman dibunuh pun tak sekali dua kali. Pemboikotan bertahun-tahun tak memadamkan keyakinan, ajakan kepada perubahan sistem terus menerus digencarkan.
Nabi bersama para sahabat, tegar berdiri menentang dan mengubah masyarakat baik nilai-nilai yang dianut, cita-cita, kebiasaan-kebiasaan, perasaan, sistem pemerintahan, juga pranata sosialnya. Pertarungan ideologis dilancarkan tak kenal kompromi. Namun sebatas lisan, tanpa melakukan perlawanan fisik, juga tidak mengambil peluang dengan turut masuk ke dalam sistem jahiliyah. Rasul berjuang di luar sistem.
Ketiga, mencari nushrah hingga sampailah kepada penerapan sistem Islam. Nabi Swt. mencari dukungan bukan sebatas kepada suku Quraisy. Nabi juga menawarkan Islam dan mencari dukungan kekuasaan dari sejumlah suku, misalnya, Tsaqif, Kindah, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Bani Kalb, dan Bani Hanifah.
Pada tahap ini tantangan yang tadinya berupa penganiayaan dan propaganda digantikan oleh tawaran-tawaran kompromistis. Dan sikap Nabi sangat jelas, semenggiurkan apapun tetap ditolak jika harus mengkompromikan Islam dengan kejahiliyahan. Tujuan dari tahap ketiga ini bukan demi kekuasaan semata, namun agar hukum Allah dapat ditegakkan secara total. Terbukti, setelah istiqomah dengan tiga tahapan ini, Allah memenangkan Islam. Setelah 13 tahun berjuang, akhirnya sistem Islam tegak di Yastrib (Madinah). Perubahan yang dinanti pun terwujud. Islam telah resmi menjadi ideologi bangsa bernama Daulah Islamiyah Nabawwiyah.
Acap kali, akal mendahului keimanan. Banyak pihak menyangsikan metode dakwah Nabi ini. Rasio akal begitu premature, menilai mustahil dan terlalu sulit untuk diwujudkan. Padahal segala sesuatu mudah jika Allah telah berkehendak. Siapa yang sangsi jika Allah sudah berjanji dalam QS. An Nur ayat 55, bahwa Allah pasti akan memenangkan Islam. Juga bisyaroh (kabar gembira) dari Rasul, akan kembalinya Khilafah (sistem Islam).
Sejatinya ini bukan masalah pilihan, tapi ketertuntutan terhadap hukum syara’. Mengikuti metode yang telah dicontohkan Nabi adalah kewajiban yang tidak bisa dimaklumkan. Oleh karenanya, tidakkah iman dalam dada merasa terpanggil. Sistem mana yang lebih baik dibanding sistem Islam yang dirancang langsung oleh Allah.
Mari berdoa dan berjuang, terlebih lagi di malam Ramadan. Sudah saatnya mengambil jalan perubahan yang sama bersama Nabi. Ganti sistem, wujudkan ketakwaan hakiki.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[Mnh]