Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Pegiat TSC)
#MuslimahTimes — Sistem Zonasi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 dianggap merugikan dan tidak adil oleh para orang tua. Tak hanya itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bahkan dinilai melanggar Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional. Bahkan Banyaknya orang tua yang memprotesSistem Zonasi membuatPPDB 2019ditutup sementara di Jawa Timur (tribunnews.com, 19/06/2019).
Polemik terkait zonasi sebenarnya sudah muncul di tahun sebelumnya. Dan tentu saja semuanya belum terselesaikan secara tuntas hingga berulang pada tahun 2019. Aksi protes terkait penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi, muncul di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu (19/6/2019). Ratusan wali murid yang tergabung dalam Komunitas Orang Tua Peduli Pendidikan Anak (KOMPAK) meminta pemerintah menghentikan proses PPDB dan mendesak Mendikbud Muhadjir Effendy segera dicopot. Sementara itu, beberapa kepala SMPN di Kendal Jawa Tengah mengaku masih kekurangan murid setelah kebijakan sistem zonasi diberlakukan (regional.kompas.com, 20/06/2019).
Apa yang terbaca dari polemik zonasi ini merupakan indikator bahwa penyelenggaraan pendidikan berkualitas masih berbicara pada tataran konsep. Dan sayangnya bagusnya konsep ini kurang didukung dengan update kondisi lapangan. Awalnya zonasi dimaksudkan untuk pemerataan pendidikan. Mendikbud menyampaikan: “kebijakan zonasi diambil sebagai respons atas terjadinya “kasta” dalam sistem pendidikan yang selama ini ada karena dilakukannya seleksi kualitas calon peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru (kemendikbud.go.id, 01/06/2018). Untuk Indonesia sendiri, disadari atau tidak kualitas lembaga pendidikan memang tidak merata. Ada kasta kelas kuat antara sekolah unggul dan tidak. Sehingga sangat wajar jika ingin diselesaikan.
Namun di lapangan dijumpai sejumlah permasalahan, misalnya jarak rumah dan sekolah yang diputuskan dalam daftar zonasi justru lebih jauh dari sekolah lain yang di luar zonasinya. Walhasil untuk sampai ke sekolah memerlukan pengorbanan besar, sebab jamak dijumpai sekolah tidak dilalui akses angkutan umum. Kesulitan lain muncul tatkala lembaga pendidikan di lokasi zonasi tak ada yang menyajikan program yang dimaui. Siswa akan bingung kemana melanjutkan mengejar cita-citanya.
Merancang program baru bagi sistem pendidikan memang bukanlah hal yang mudah. Oleh karenanya program pendidikan layaknya difokuskan pada tujuan yang hendak dicapai oleh tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Konsep baru bisa dimunculkan asalkan mendukung arah yang dimaksud dan disertai dengan kematangan konsep hingga ke ranah akar rumput. Pemerataan jumlah siswa di sekolah boleh dicitakan, asal disertai dengan pemertaan kualitas di setiap sekolah.
Namun kenyataannya, hingga saat ini belum ada pemerataan kualitas sekolah. Sebab untuk meningkatkan kualitas sekolah, misalnya dari baiknya kualitas bangunan dan kelengkapan prasarana fisik saja, pasti dibutuhkan anggaran yang besar. Sementara anggaran ini tidak mampu dicukupi sendiri oleh sekolah yang bersangkutan, terelbih jika sekolah itu tidak masuk “kasta” favorit di wilayahnya. Walhasil pemerataan jumlah siswa tak selalu sebanding dengan kualitas belajar yang akan meraka dapatkan.
Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas lulusan kelak. Jelas tidak sama antara proses yang berlangsung di kasta tinggi dan kasta rendah. Jelas tidak akan sama output yang diproduksi. Jelas akan ada persaingan tidak sebanding lagi di kemudian hari. Untuk menghindari hal ini, maka seharusnya langkah awal yang dipilih untuk memeratakan pendidikan ini adalah dengan pemerataan kebijakan politis ini pendanaan untuk perrbaikan kualitas tiap lembaga pendidikan dulu. Sebab, jika sekolah sudah sama rata kualitasnya di semua tempat, maka calon siswa akan otomatis berpikir ulang untuk menuju tempat jauh dengan kualitas setara yang dekat.
Selanjutnya dilakukan penelaahan ulang ketersediaan jumlah sekolah dan jumlah calon siswa. Di Indonesia perbandingan jumlah SD, SMP, SMA negeri belum sebanding. Semakin naik jenjang, jumlahnya semakin sedikit dan tidak semua kecamatan memilikinya. Secara otomatis dari jumlah sekolah saja sudah memunculkan potensi persaingan calon siswa baru. Maka perlu memenuhi kebutuhan jumlah sekolah. Harus dipikirkan dan direalisasikan dengan serius bagaimana sekiranya jumlah sekolah negeri di jenjang SMP dan SMA bisa sebanyak sekolah SD.
Kemudian pemerataan pendidikan perlu didukung oleh ketersediaan tenaga pendidik yang berkualitas. Pegawai tetap juga harus dipastikan merata tersebar ke pelosok daerah. Dan untuk mendukung pengabdian ke daerah ini diperlukan akses yang mudah, sehingga selanjutnya harus dipayakan ada fasilitas jalan yang baik menuju sekolah, sekaligus moda angkutan umum yang mampu mengampu jumlah siswa dan guru yang aman sepanjang perjalanan.
Yang terpenting harus memanamkan mindset di pemangku kebijakan, bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara. Tanggung jawab utama akan pendidikan ada di pundak negara, dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksananya. Pemerintah lah yang seharusnya full support untuk urusan terlaksananya pendidikan ini. Sehingga secara politis, dimana pun posisi sekolah, kucuran dana dan kucuran tenaga pendidiknya harus disetarakan.
Artinya harus ada pembaruan kebijakan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan oleh negara. Terutama dalam pembiayaan pendidikan. Biaya tak lagi dibebankan pada upaya sekolah masing-masing mencukupi kebutuhannya dan tidak menarik iuran atas dalih apapun kepada walimurid. Semuanya mendapat jaminan dukungan dana negara untuk menyulap sekolah menjadi standar nasional yang benar-benar bagus dan berkualitas. Jika demikian adanya, maka zonasi tak lagi menjadi penghalang generasi mengejar cita-citanya. [Arin RM].