Oleh Kholda Najiyah
Pimred Muslimahtimes
#MuslimahTimes –– Reda Pilpres, ketegangan menyangkut isu agama kembali mencuat gara-gara ulah seorang perempuan berinisial SM (52). Datang-datang penuh emosi ke Masjid Al Munawarah, Sentul, membawa serta anjing. Tanpa adab sopan santun, penganut Katolik itu marah-marah tak jelas.
Marbot dan jamaah masjid tentu saja kaget. Refleks mereka marah dan mencoba menghalau wanita dan anjing itu. Tentu saja, dalam sudut pandang manapun, reaksi ini wajar. Sangat wajar. Boro-boro kepikiran dalil. Apalagi mengajak perempuan itu duduk manis atau bahkan ngopi-ngopi. Jelas tidak akan begitu reaksinya.
Jadi, tidak berlebihan jika siapapun di lokasi kejadian, refleks marah. Sebagaimana refleks kemarahan umat Islam yang tersulut setelah menonton video viral itu. Sehingga, aneh jika reaksi marah ini yang malah dipersoalkan.
Andai tempatnya bukan masjid, tapi balaikota, rumah pak RT atau bahkan rumah kita, apakah tidak boleh kita marah jika ada tamu tak diundang plus anjingnya tiba-tiba datang mencak-mencak? Apa kita punya dugaan sebelumnya bahwa ia orang stres, penderita skizofrenia sehingga harus empati? Tentu tidak. Wong kenal sebelumnya pun tidak. Ini poin pertama.
Poin kedua, reaksi netizen yang terbelah-belah usai menyaksikan video ini, juga sebuah kewajaran. Maksudnya, tayangan semacam itu memang selalu menimbulkan interpretasi macam-macam, sesuai isi kepala masing-masing. Ada yang biasa saja. Ada yang ikut marah. Ikut memaki. Ada juga yang menghujat pendek-panjang.
Sebagai umat Islam, reaksi marah adalah sebuah kewajaran. Harus malah. Aneh kalau tempat ibadahnya diinjak-injak tanpa adab, kita tidak marah. Aneh kalau kita malah disuruh empati pada perempuan itu. Sebab, mana kita tahu urusan rumahtangganya? Mana kita tahu kalau dia stres berat? Itu kan terungkap setelah dipolisikan.
Yang disayangkan, opini bergulir bak bola liar. Tidak fokus pada fakta tentang wanita yang dianggap menistakan masjid. Sebaliknya, malah menusuk ajaran Islam dan umatnya. Kemarahan umat Islam, berbalik menjadi pukulan, agar umat Islam tidak terpancing. Lagi-lagi umat Islam distigma pemarah. Apalagi, marahnya pada perempuan kafir. Umat Islam, sekali lagi, dituduh tidak toleran. Dianggap suka kekerasan, lebih-lebih pada perempuan stres.
Ajaran Islampun ikut menjadi korban. Syariat poligami ditusuk-tusuk hingga bernanah oleh kalangan pembenci Islam. Seakan mereka punya amunisi, “Tuh, terbukti kan, poligami itu hanya menimbulkan masalah.” Padahal, hasil pemeriksaan sementara terhadap SM dan suaminya, polisi menyebut, soal menikah lagi itu belum jelas. Motif wanita itu masih berubah-ubah.
Umat Islampun khawatir, jangan sampai malah jamaah masjid yang marah itu yang dipersoalkan. Jangan- sampai yang merekam kejadian itu yang dipolisikan. Jangan sampai yang mengunggah dan menyebar video itu yang dipenjarakan. Sebab kejadian seperti ini sudah lazim. Siapa yang berbuat salah, eh, siapa yang dihukum.
Begitulah. Islam dan umat Islam akan selalu dipojokkan. Maklumlah, Islam dan umatnya saat ini seperti menumpang di kandang orang. Kandangnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sipilis). Di sini kita tidak boleh keras membela agama kita. Kita harus tunduk dan patuh pada ajaran sipilis. Kita dipaksa memahami Islam dengan sudut pandang sekular.
Akibatnya, umat dicekoki ide-ide agar membenci agama Islam. Sedikit demi sedikit. Perlahan tapi pasti. Tanpa terasa, lambat laun umat Islam ikut menusuk ajaran agamanya sendiri. Dalih dan dalil bisa dicari. Disesuaikan paradigma sipilis. Mereka ini berada di kandang penuh bau kebusukan sipilis, namun saking terbiasanya, bau itu lama-lama tidak tercium lagi. Bahkan seolah berubah wangi.
Hanya umat Islam yang masih menggunakan masker iman yang sadar akan bau busuknya. Mereka ini adalah yang yakin bahwa umat Islam memang seharusnya punya rumah sendiri. Tidak menumpang di kandang orang. Rumah yang bersih dari penyalit sipilis. Rumah yang pas tempat bernaungnya Islam rahmatan lil’alamin. Apa itu? Tak lain Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariat Islam. Di sini, tidak akan ada yang berani melecehkan Islam dan umatnya. Tidak akan berani menginjak-injak masjid, apalagi menginjak-injak Islam.
Di rumah ini, toleransi dipelihara dengan prinsip lakum diinukum waliyadin. Beragama bagi nonmuslim dibiarkan dalam hal ibadah mereka, tapi tidak ada toleransi untuk pelecehan terhadap Islam dan umatnya. Sayangnya, rumah umat Islam ini telah lama dihancurkan oleh kaum sipilis. Khilafah Islam berakhir 1924, sehingga umat Islam tidak punya rumah tempat bernaung. Kini, nasibnya bagai buih di lautan. Tanpa perisai pelindung dari berbagai pelecehan.
Semoga, pelecehan berulang terhadap Islam ini, cukup menyadarkan umat agar segera bersatu membangun rumahnya sendiri. Rumah umat Islam. Rumah terbaik tanpa gonggongan anjing, yang menyebabkan Islam dan umatnya ditusuk-tusuk dengan keji.(*)
Bogor, 2 Juli 2019
#viral
#videoviral
#stoppenistaanagama
#khilafahajaranislam
#islamrahmatananlilalamin