Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
(Anggota Komunitas Menulis Revowriter)
#MuslimahTimes — Di momentum peringatan Hari Anti Narkoba Internasional (HANI), Gubernur Khofifah Indar Parawansa menyebut korban penyalahgunaan narkoba di Jatim masih tinggi (detiknews,7/7/2019). Kebanyakan korban merupakan mereka yang sedang dalam masalah. Namun tak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah hingga memilih jalan secara instan. Ada diantaranya karena pada saat mereka dalam keadaan hopeless, mereka tidak punya harapan kemudian ada sesuatu yang dianggap bisa menyelesaikan itu dan ternyata itu justru menjadikan mereka terperosok lebih dalam, imbuhnya.
Khofifah mengingatkan pentingnya untuk membangun keluarga yang harmonis yang bisa membentengi terjadinya penyalahgunaan narkoba. Tak hanya itu, Khofifah menyebut akan mendukung upaya pihak BNNP hingga kepolisian untuk memberantas habis penyebaran narkoba. Selain itu, Khofifah menyebut para pengedar akan diberi efek jera.
Memang keluarga adalah institusi terkecil dalam negara yang diharapkan menjadi benteng terakhir penangkalan dampak narkoba. Namun ini adalah paradigma yang keliru. Bagaimanapun menyandarkan solusi pada keluarga hanyalah solusi tambal sulam, karena tidak selesai hingga ke akar persoalan. Terlebih narkoba hari ini bukan sekedar penyalahgunaan, samakan dahulu definisi agar tak beda penyikapan.
Dan pendapat ini jelas hanyalah bagian dari kebijakan penguasa ala kapitalisme. Yang meminimalisir campur tangan negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Hari ini jelas, fakta keluarga jauh dari kata ideal. Seseorang membangun keluarga bukan lagi dilandasi dengan ketakwaan, dan tak punya visi misi yang jelas. Kasus perceraian bak kacang goreng, hanya alasan sepele sudah bisa mengantar kepada kata cerai. Keluarga ibarat kontrak kerja, masing-masing anggota keluarga memfokuskan pada keinginan pribadi bukan pada kebutuhan keluarga itu sendiri.
Jika paradigma atas keluarga sudah salah maka tidak bisa ia dijadikan rujukan apalagi sebagai solusi bagi permasalahan narkoba. Karena pada dasarnya kasus narkoba tidak muncul begitu saja dari gaya hidup yang penuh kebebasan dan permisif seperti hari ini. Namun karena narkoba menjadi komoditas, bagi para kapitalis yang ingin mendulang keuntungan diatas rata-rata dari pasar yang ia ciptakan sendiri. Pasar yang mana? pasar sekulerisme yang menghapus ketakwaan individu. Bayangkan bagaimana seseorang yang berstatus narapidana bisa mengatur penjualan narkoba dari balik jeruji besi. Karena narkoba masih dianggap sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat, maka tak peduli sipir atau pelajar, ibu rumah tangga atau anak kuliah sepanjang bisa mendapatkan uang darinya mengapa tidak?
Keluargapun butuh negara, sebagai penjaga dari hal-hal yang tak mungkin dibendung oleh keluarga karena butuh kebijakan dan hukum yang hanya negara yang memilikinya. Karena akal adalah standar layak tidaknya dibebani taklif hukum, maka semestinya menjadi prioritas negara menjamin terjaganya akal seseorang. Jika seseorang terlibat narkoba, bagaimana ia bisa berpikir dengan jernih dan beribadah dengan sempurna? maka negara akan memberantas peredaran narkoba hingga penggunaannya. Demikian pula dengan pemberian sanksi hukum yang menciptakan keadilan.
Satu yang tak kalah penting, dalam rangka menjaga akal, maka selain mengatur tayangan dan situs yang tidak bertanggung jawab. Negara juga akan mensuasanakan ketakwaan dalam setiap diri dengan pendidikan dan penerapan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari hingga terbangun ketakwaan yang kokoh dalam benak seseorang. Semua itu mustahil diterapkan dalam bingkai sekulerisme, maka ia harus dicampakkan. Terlebih bagi setiap muslim syariat kaffah adalah mutlak.
Wallahu a’ lam biashowab.