Oleh. Prita HW
(Momblogger, pegiat literasi, founder The Jannah Institute)
#MuslimahTimes — Pernikahan dini, apa yang terbersit di benak anda mendengar frase ini? Dulu, ada sebuah TV yang mengambilnya sebagai sebuah judul tayangan serialnya. Maksudnya mengkampanyekan bahwa pernikahan dini itu tidak enak, repot, dan memberatkan bagi anak muda.
Lalu, apakah campaign seperti itu berhasil? Nyatanya tidak. Fenomena yang ditemui di lapangan menunjukkan bahwa pernikahan dini yang tidak wajar yaitu karena si perempuan telah berbadan dua, sangat umum ditemui.
Kemenkes pada Oktober 2013 membeberkan fakta sangat mencengangkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah; 20% dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21% diantaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja.
Belum lagi di tingkat regional, khususnya propinsi yang saya tinggali, Gubernur Jawa Timur pertama, Khofifah Indar Parawansa menyebutkan bahwa secara kuantitatif, pernikahan dini banyak terjadi di Malang. Ini terungkap setelah gubernur yang baru dilantik pada 13 Februari 2019 itu mengundang Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur untuk berbincang. (www.jawapos.com/jpg-today/20/04/2019/khofifah-indar-parawansa-dan-tingginya-angka-pernikahan-dini/
Menurut data yang ada di pengadilan, 80 persen permohonan nikah dini tersebut terjadi karena hami diluar nikah. Pernikahan dini seperti inilah yang banyak mengajukan dispensasi dan akhirnya dikabulkan. Kalau tidak dikabulkan, menurut Khofifah, nanti justru berisiko secara sosial.
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan tersebut juga mengungkapkan bahwa penyebab utama maraknya perempuan muda yang hamil lebih dulu dan akhirnya mengalami pernikahan dini adalah gadget.
Tidak dipungkiri memang, kalau overloadinformasi saat ini memang karena kemajuan teknologi informasi yang kian canggih. Rata-rata anak-anak berusia ABG sudah membawa gadgetpribadi yang ironisnya sudah disediakan orangtuanya atas nama gengsi. Sementarachannel-channelmendapatkan informasi yang beragam sangat terbuka luas, tanpa kompromi.
Apakah Cukup Hanya dengan Literasi Digital?
Salah satu solusi yang diungkapkan oleh Khofifah adalah orangtua harus melek literasi digital.“Anaknya sangat advance (menggunakan gadget, Red). Tapi, orang tuanya tidak begitu memahami bagaimana fitur-fitur aplikasi yang diakses. Tidak semuanya membawa dampak positif. Ada yang berdampak destruktif,” katanya (liputan6.com)
Benarkah hanya dari gadget?Bukankah gadgetberupa smartphoneitu buatan manusia? Sejatinya ia adalah media. Ia bisa dikendalikan. Bukan hanya oleh si manusia pemakainya, tapi oleh manusia yang memegang kebijakan akan beredarnya barang tersebut berikut produk informasinya.
Masih ingat kasus Tiktok? Aplikasi yang dianggap tak penting dan sering mengandung undur-unsur gerakan-gerakan erotis yang kemudian diblokir oleh pemerintah? Bukankah ketika si penguasa bisnis Tiktok mendatangi pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dengan mudah pemblokiran itu dibuka.
Lantas, kenapa sulit memblokir konten-konten yang memicu anak-anak ABG atau dikatakan di bawah umur untuk menyalurkan gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan) dengan cara yang tidak tepat?
Akar masalahnya bila ditelisik lebih jauh, bukanlah soal memahamkan orang tua soal literasi digital saja, atau menambahkan kurikulum seks sejak dini seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh sebuah taman kanak-kanak di Jember, atau solusi parsial lainnya. Karena ini semua adalah problem sistem yang telah mengakar. Sumbernya adalah sekulerisme, pemisahan antara kehidupan dunia dengan agama (Islam). Sekulerisme menghasilkan liberalisme yang mengagungkan manusia sebagai pembuat kebebasan sebebas-bebasnya.
Padahal Allah berfirman :“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al Maidah : 44)
Sudah jelas kalau kita mengambil Islam sebagai sumber hukum, solusi konkrit sudah dipaparkan Allah dalam Al-Qur’an dan dilengkapi dengan shirah Rasulullah SAW lewat hadist-hadistnya yang luar biasa.
Jelas dalam Islam sudah ada batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana perempuan yang telah masuk usia balighditandai dengan menstruasi harus menutup aurat dengan sempurna di depan laki-laki non mahram, larangan berkhalwat dan mendekati zina. Dan menganjurkan pemuda untuk berpuasa bila tak mampu mengendalikan syahwat dan belum mampu menikah.
Semua itu jelas bermuara pada sunnah yang agung, yaitu menjaga seseorang sampai benar-benar ada dalam ikatan pernikahan yang diridhai Allah.
Tujuan dari pernikahan adalah keluarga sakinah mawaddah warohmah, yaitu keluarga tenteram saling berkasih sayang karena Alloh, agar lestari keturunannya dalam ketaqwaan seperti yang termaktub dalam QS. Arrum : 21.
Tidak dibenarkan untuk membatasi usia pernikahan dengan dalih masih terlalu dini. Masih ingat kisah Alvin yang menikah muda di usia 17 tahun? Putra almarhum Ustadz Arifin Ilham itu di-bullyhabis-habisan oleh para netizenkarena keputusannya. Padahal jika dikaitkan dengan ilmu fiqhIslam, usia balighlaki-laki antara 15 tahun dan perempuan antara 9 tahun. Bukankah kalau mereka dididik dalam sistem Islam yang sesuai aturan Allah, mereka memang sudah siap cemerlang di usia belia. Bukan siap menuju gerbang kegalauan remaja picisan.
Kembali Pada Islam Kaffah Adalah Solusi
Perlu adanya kesadaran dan selanjutnya ketegasan dari pemerintah menyoal generasi bangsa ke depan. Kebijakan-kebijakan yang diambil akan menentukan karakter generasi.
Ketika kebijakannya adalah solusi memberikan dispensasi bagi perempuan yang telah berbadan dua karena hamil diluar nikah dengan alasan norma sosial, apakah angka pernikahan dini bisa ditekan?
Kembali pada Islam kaffah adalah solusi yang mengakar. Sanksi bagi para pelaku zina yang belum menikah jelas tercantum dalam QS. An Nur : 2
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Bila literasi digital,penambahan kurikulum pendidikan seks, pembinaan guru dalam metode mengajarkan materi agar mudah dicerna, dan pembatasan konten informasi tak dibarengi dengan aturan pergaulan menurut Islam sebagai bentuk penerapan Islam kaffahyang dilakukan negara, sudah pasti pernikahan dini tetap akan terjadi sampai kapanpun.
Wallahu a’lam.