Oleh. Hamsina Halik
(Revowriter Mamuju)
MuslimahTimes– Saat ini umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. Berbagai masalah datang menghimpit kehidupan mereka. Terutama dalam persoalan ekonomi. Kemiskinan menjadikan sebagian besar perempuan pun ‘terpaksa’ bangkit untuk menyokong hidup. Keluar ke ranah publik demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Tak jarang perempuan mengalami kekerasan. Baik di tempat kerja ataupun dalam keluarga mereka sendiri. Tak jarang pula dengan tujuan mencari pekerjaan, perempuan terjebak dalam perdagangan orang. Kali ini disamarkan dengan pernikahan.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bahwa ada 29 perempuan menjadi korban pengantin pesanan di Tiongkok selama 2016-2019. Para perempuan ini dibawa ke Tiongkok dan dinikahkan dengan lelaki di negara tersebut, dengan iming-iming diberi nafkah besar. Kesulitan hidup dengan beban ekonomi yang sangat tinggi di era kapitalisme saat ini, tentu ini adalah tawaran yang sangat menggiurkan untuk mereka. Tak perlu bersusah payah lagi membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sayangnya, bukan kebahagiaan yang didapatkan melainkan kemalangan. Setibanya di China, korban dipekerjakan sebagai buruh dalam durasi waktu yang lama setiap harinya. Hasil dari jerih payahnya justru dinikmati oleh suami dan keluarganya. Di China, para korban kerap dianiaya suami dan dipaksa berhubungan seksual, bahkan ketika sedang sakit. Para korban juga dilarang berhubungan dengan keluarga di Indonesia. SBMI menduga, pernikahan ini sebetulnya merupakan praktik perdagangan manusia. (www.voaindonesia.com 24/06/2019 )
Dari berbagai laporan, SBMI menemukan para perempuan ini dipesan dengan harga 400 juta Rupiah. Dari angka itu, 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan sementara sisanya kepada para perekrut lapangan.
Sedikitnya 29 perempuan yang berasal dari Kalimantan Barat dan Jawa Barat menjadi korban perdagangan orang ke China dengan modus perjodohan, menurut organisasi buruh migran. Mereka diincar para perekrut yang disebut “mak comblang” dengan iming-iming uang. Hal serupa dikatakan pengacara publik dari LBH Jakarta, Oki Wiratama. Dia tegas menyebut ini adalah kasus perdagangan orang.
Negara yang bertindak sebagai pengatur dengan penetapan berbagai kebijakan, faktanya tak berpihak kepada rakyat. Justru, berpihak kepada para kapital, pemilik modal. Kekayaan alam yang dimiliki seharusnya dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi malah diberikan kepada swasta dan asing untuk mengelolanya.
Akibatnya, kebutuhan dasar sebagian besar rakyat tak terpenuhi. Kemiskinan mendorong mereka, terutama perempuan, rela melakukan apa saja demi bertahan hidup. Menjadi TKI/TKW sekalipun. Meski harus meninggalkan keluarga tercinta. Hingga pada akhirnya terjebak dalam perdagangan orang.
Kapitalisme dengan asas sekularismenya yang menjauhkan agama dari kehidupan, meniscayakan hal demikian terjadi. Sebab, dalam sekularisme standar perbuatan berasaskan pada materi semata. Tak mempedulikan baik buruk dan halal haramnya. Selama itu bisa mendatangkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya, maka apapun itu akan dilakukan. Termasuk perdagangan orang.
Bisnis perdagangan orang sangatlah menguntungkan. Seperti dilaporkan International Labour Organisation (ILO), bisnis ini dapat meraup keuntungan 32 miliar dolar AS tiap tahunnya. Jumlah yang sangat menggiurkan. Meski ini adalah tindakan keji, para pelaku tetap meneruskan perbuatan keji mereka. Meski pemerintah dari berbagai negara pun telah menetapkan peraturan dan sanksi hukum terkait tindak perdagangan orang, tapi tetap saja tidak memberikan hasil yang signifikan. Tindak perdagangan orang tetap saja terus terulang.
Berulangnya kasus Tindak Perdagangan Orang (TPO) menunjukkan bagaimana buruknya penyelesaian masalah ini. Hingga dalam sebuah kajian Perdagangan Orang di AS berjudul ‘Trafficking in Persons Report (TIP) 2018’, Indonesia masuk Tier 2 Watch List dengan Posisi RI yang mengalami stagnasi dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Indonesia dinilai termasuk sumber utama perdagangan perempuan, anak-anak dan laki-laki, baik sebagai budak seks maupun korban kerja paksa.
Agar tak terulang lagi, maka negara bertanggung jawab untuk menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Menyediakan lapangan kerja yang layak. Sehingga tak ada lagi rakyat yang kesulitan dalam mencari nafkah dan para perempuan tak perlu lagi ikut menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga perempuan bisa fokus kepada tugas utamanya sebagai ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Juga, tak ada lagi yang melegalkan tindak perdagangan orang dalam segala bentuknya dengan alasan mencari nafkah.
Di samping itu negara perlu menetapkan aturan dan sanksi yang tegas terhadap pihak yang terlibat. Mulai dari penyedia jasa, perantara, hingga pelaku atau penggunanya. Sanksi yang berikan bisa berupa ta’zir dengan hukuman mati, cambuk, pengasingan keluar negeri, atau sanksi lain yang akan diputuskan oleh Khalifah.
Hal ini hanya akan terwujud manakala menjadikan ideologi Islam sebagai sistem dan pengatur dalam segala aspek kehidupan. Sebab, hanya Islam yang mampu memberikan solusi tuntas atas kasus tindak perdagangan orang.
Walahua’lam bi ash-shawaab
[Fz]