Oleh. Najway Azka Ar-Robbaniy
#MuslimahTimes –– Belakangan perbincangan soal wacana Khilafah menggema dalam berbagai diskusi, mulai dari level akar rumput hingga dalam channel televise populer sekaliber Indonesia Lawyer Club hingga Mata Najwa. Misalnya saja dalam diskusi terbaru Mata Najwa yang berjudul ‘FPI: Simalakama Ormas’, salah satu yang menjadi sorotan dalam AD ART FPI yaitu mengenai keinginan pembentukan Khilafah Islamiyah pada pasal 6 Visi dan Misi yang berisi “Visi dan Misi organisasi FPI adalah penerapan Syariat Islam secara Kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan Da’wah, penegekan Hisbah dan Pengamalan Jihad’’.
Pasalnya meski ingin menegakkan Khilafah Awit Masyhuri, Kepala Bidang Penegakan Khilafah FPI mengatakan dalam hal apa FPI bertentangan dengan Pancasila. ‘’Asas kami Islam, dan alirannya Aswaja. Soal khilafah, ini dibahas di Munas, kami gagas Khilafah Islamiyah versi FPI. Kami mendorong negara-negara Islam di OKI membentuk Khilafah seperti Uni Eropa. Itu khusus dunia Islam. Artinya dunia Islam bersatu, bukan melahirkan Khilafah,’’ kata Awit. Beliau menegaskan pula Khilafah Islamiyah versi FPI tidak ingin mengubah dasar negara, ‘’kami ingin militer dan ekonomi umat Islam sedunia bersatu bukan untuk berperang, tapi bersatu untuk kedamaian. Soalnya banyak umat Islam di berbagai dunia kan masih ditindas seperti Palestina dan Rohingya,’’ ujarnya. Berbeda lagi menurut ketua BPNU, Marsudi Syuhud bahwa Khilafah versi NU sudah terwujud dalam NKRI. Diskusi ini jelas menambah warna pemahaman umat Islam terhadap wacana Khilafah, apakah Khilafah adalah yang saat ini ada, tidak perlu ganti sistem, atau Khilafah adalah wacana tentang persatuan dunia Islam dalam satu wadah seperti Uni Eropa, atau menjalankan keseluruhan hukum-hukum Islam tanpa batas kebangsaan tertentu?
Nation-state (negara-bangsa) adalah negara yang didasarkan pada konsep nasionalisme, dengan berbagai model – monarkhi, republic, imperium atau federasi seperti semua negara yang ada di dunia saat ini. Dalam nation-state, rakyat mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah “bangsa” (nation), yaitu suatu komunitas manusia yang menganggap dirinya satu kesatuan karena kesamaan etnis, sejarah, bahasa, budaya, atau faktor pemersatu lainnya. Identitas sebagai “bangsa” inilah yang menjadi dasar adanya hak untuk mendirikan sebuah negara. Ketika negara ini terwujud dalam realitas disebut negara-bangsa atau nation state. Inilah konsep dasar dari nation-state.Implikasi dari konsep nation-state ini, satu negara yang terdiri dari banyak bangsa (multibangsa) dianggap salah. Demikian pula satu bangsa yang bercerai-berai ke dalam banyak negara dianggap salah (Adams, 2004: 119 & 126).
Nation-state awalnya tumbuh di Eropa pasca Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia) tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal (monarki) di Eropa saat itu. Dalam sistem feodal yang bersifat tradisional dan disakralkan oleh Gereja Katolik ini, satu komunitas tidak didasarkan pada identitas sebagai “bangsa”, tetapi sebagai sebuah dinasti yang dipimpin oleh para pangeran (prince) yang menguasai satu wilayah tertentu yang telah mereka warisi.
Misalnya, 300 tahun sebelum Revolusi Prancis (1789), wilayah yang disebut Belgia sekarang ini, secara terus menerus diperintah oleh Duke of Burgundy, Raja Spanyol dan Kaisar Austria (Adams, 2004: 120).Setelah Revolusi Prancis (1789), juga dua revolusi lainnya di Barat, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan “Gloriuous” Revolution di Inggris (1688), konsep nation-stateturut menjadi penentu struktur geo-politik Eropa. Bersama-sama dengan ide-ide utama yang dihasilkan pada Abad Pencerahan (abad ke-17 s/d ke-19), seperti demokrasi, liberalisme, dan sekularisme, konsep nation-state akhirnya diekspor melampaui tempat kelahirannya di Eropa, terutama melalui jalan penjajahan. Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah saat itu sedang dalam kondisi lemah secara internal. Khilafah pun digelari “sick man of Europe”. Ditambah dengan faktor eksternal berupa imperialisme Barat di sebagian wilayahnya, kondisi Khilafah kian memburuk dan akhirnya runtuh pada tahun 1924 pasca kekalahannya dalam Perang Dunia I (1914-1918).
Dalam konteks sejarah Khilafah yang demikian itu, konsep nation-state bukan menjadi obat bagi “sick man of Europe” itu, tetapi justru menjadi racun yang mematikan. Betapa tidak, karena konsep nation-state telah menimbulkan disorientasi jatidiri, juga disintegrasi dan perpecahan kaum Muslim. Gara-gara ide nasionalisme yang terkandung dalam konsep nation-state, umat Islam mengalami disorientasi jatidiri sehingga tersesat dalam mengidentifikasikan dirinya.Umat Islam dari berbagai bangsanya, seperti Turki dan Arab, yang awalnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “umat Islam” yang dipersatukan dengan akidah Islam, akhirnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “bangsa Turki” dan “bangsa Arab”. Inilah racun yang menjadi cikal-bakal disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Selain itu adalah faktor eksternal berupa konspirasi kafir penjajah untuk memaksakan perpecahan umat Islam melalui Perjanjian Sykes-Picot pasca Perang Dunia I (1914-1918).
Kelemahan konsep nation-state dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama: nasionalisme—sebagai dasar nation-state—adalah ide yang paling lemah secara intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam bukunya, Political Ideology Today (1993). Artinya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir secara jernih dan rasional. Karena alasan itulah, nasionalisme memerlukan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional, peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga dll), rekayasa sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dan sebagainya (Adams, 2004: 143).
Kedua: pengertian nation (bangsa)—sebagai dasar konsep nation-state—tidak jelas. Konsep bangsa sebenarnya lebih sebagai mitos atau imajinasi, bukan sebagai realitas faktual.Ini dapat dibuktikan kalau kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu komunitas menjadi suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab, kesamaan etnis. Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau Mesir, kesamaan etnis mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang terdiri dari multienis dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas jawaban kesamaan etnis tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu etnis, yaitu Melayu, tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa. Orang suku Papua, di satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang Indonesia lainnya yang berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin di Australia yang masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda.
Mungkin akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa, tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah-belah menjadi banyak negara. Kemusykilan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan) (Adams, 2004: 144).
Ketiga: nasionalisme adalah ide kosong yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana sebuah masyarakat diatur. Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu dan tempat, nasionalisme ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti liberalisme, konservatisme, berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang menjadi penyebab semua perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme memang tidak mengatakan apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata Ian Adams, “Ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).
Kritik di atas adalah kritik secara teori untuk nation-state.Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.
Adapun pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali tampak dalam ikatan pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah saw. dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586). Selain itu terdapat sabda Rasulullah yang melarang kaum Muslim untuk fanatik terhadap suatu identitas golongan tertentu selain atas dasar akidah Islam, ‘’bukan dari golongan kami orang yang menyerukan kepada ashabiyah dan bukan dari golongan kami orang yang mati mempertahankan ashabiyah’’ (HR. Abu Daud).
Sejalan dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga menegaskan ketunggalan negara Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa pun suku dan bangsanya, hanya boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka, yaitu satu negara Khilafah saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah. Rasulullah saw. telah bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no. 1853).Terkait dengan ketunggalan Khilafah ini, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan. (Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/416).
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang didasarkan pada dinul Islam yang memakai hukum bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, dalam sejarah telah tercatat bahwa Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang gemilang baik bagi muslim dan non muslim, ia memiliki keagungan yang bahkan mampu bertahan lebih dari 1300 tahun; terbentang dari Maroko hingga Merauke, yang menyatukan negeri-negeri Islam dalam satu komando kepemimpinan.Khilafah juga bisa didefinisikan sebagai kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Hizbut Tahrir).
Berbeda dengan nasionalisme yang tidak memiliki landasan mengatur manusia bagaimana mereka hidup, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari yang paling kecil hingga paling besar, dari paling sederhana hingga paling rumit bahkan dari manusia bangun tidur sampai tidur lagi. Islam itu luas, sangat luas hingga bisa mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada di dalam kehidupan manusia, hal apapun itu yang lepas dari perhatian Islam. Semuanya selalu diperhatikan oleh Islam, semuanya selalu berhubungan dengan Islam. Islam pun adalah sebuah din yang merupakan rahmat, anugerah bagi seluruh alam bukan hanya untuk orang-orang Muslim tapi juga untuk orang-orang non-muslim. Dalam Islam, non-muslim diperbolehkan dan diberi hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya namun dalam berinteraksi dengan masyarakat khususnya masyarakat Muslim maka diharuskan untuk mentaati aturan tertentu dalam Islam. Bahkan dalam Islam pun, orang-orang non-muslim dilindungi oleh Islam itu sendiri. Ini lah sedikit bukti bahwa Islam tidak hanya milik orang Muslim tapi juga milik seluruh orang (Islam rahmatan lil alamin).
Sudah saatnya umat ini memahami Khilafah sebagai solusi dari keterpurukan yang dialami, karena bagaimana pun bagusnya sistem yang dibuat oleh manusia untuk mengatur hidupnya, tetap Allahlah yang lebih baik dalam mengatur hidup ciptaanNya, karena tentu penciptalah yang lebih mengerti, dan demi Allah Khilafah adalah keniscayaan, yang pasti akan tegak dibumi ini karena ia adalah janji Allah SWT.
Sumber: