Oleh: Ifa Mufida
(Pemerhati Masalah Sosial)
Muslimahtimes– Papua kembali membara. Bermula dari ujaran yang tidak pantas dan dianggap rasis di asrama mahasiswa Papua di Surabaya akibat dugaan adanya pengrusakan bendera dan pembuangan bendera merah putih ke selokan. Kondisi pun berakhir rusuh.
Kemudian, api isu rasisme pun begitu cepatnya merembet dan membuat sengatan api di beberapa wilayah yang lain. Dugaan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua ini pun akhirnya memicu kerusuhan yang awalnya terjadi di Manokwari hingga merembet ke sejumlah wilayah di Papua pada Senin (19/8/2019).
Beberapa hari sebelum adanya rusuh Papua tersebut, Benny Wenda, salah satu tokoh Papua Merdeka di hadapan The Guardian mengatakan pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan sipil yang terjadi saat ini (di Papua) adalah “kanker di dalam hati orang-orang Pasifik”. Ungkapan Benny Wenda tersebut disampaikan menjelang pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu, pada 13-16 Agustus 2019. Di mana salah satu agendanya mengangkat isu HAM dan Papua Merdeka. Benny Wenda dikabarkan akan menggunakan forum itu untuk mendesak PBB menggelar referendum kemerdekaan Papua (abc.net.au, 12/8/2019).
Seolah ada hubungan yang cukup dekat antara upaya Papua merdeka yang dibawa oleh OPM dengan beberapa kejadian rusuh Papua. Kita ketahui OPM beberapa dekade terakhir semakin berani menunjukkan aksi terornya. Dan isu HAM seolah dibawa untuk semakin memantapkan alasan rakyat Papua untuk merdeka, tidak lagi menjadi bagian NKRI.
Jika permasalahan isu Rasisme ini tidak segera diselesaikan, maka akan semakin menyulut bara api separatisme, yang sudah menyala sebelumnya. Bahkan, ada potensi untuk membakar kesatuan negeri ini.
Secara Historis, sudah sejak 1965 ada gerakan yang menginginkan kemerdekaan Papua bagian barat dari Indonesia. Obor Separatis ini dibawa olah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Maka sebenarnya gerakan ini sudah lama ada dan terus berkembang. Namun nyatanya tahun demi tahun belum ada tindakan yang nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini. Bahkan di tahun-tahun terakhir ini mereka semakin sering dan berani melancarkan aksinya dengan melakukan berbagai tindakan teror kepada masyarakat sekitar. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka menuntut untuk segera merdeka atau terlepas dari NKRI.
Sejak awal, OPM memang merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Terlebih selama ini, Papua nyata mengalami “salah asuh” oleh negeri ini. Bak anak tiri, Papua tidak mendapatkan perlakukan yang sama dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Sepanjang puluhan tahun menjadi bagian NKRI, meski mereka memiliki kekayaan alam yang melimpah namun dari berbagai bidang mereka jauh tertinggal. Pembanguan jauh berbeda dengan wilayah lain, baik pembangunan dari sisi infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusianya (SDM). Papua mengalami ketertinggalan dari berbagai sektor, meliputi pendidikan, kesehatan, perekonomian, sosial dan budaya. Kemiskinan di Papua juga masih tinggi karena keterbelakangan dan keterisolasian masih banyak. Selain itu, Masih banyak kematian karena penyakit, kelaparan, dan kekerasan terjadi setiap saat. Dan sampai saat ini, kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat, belum menyentuh akar permasalahan ketertinggalan Papua dan semakin memunculkan rasa frustrasi di sebagian besar masyarakat Papua.
Maka pantaslah kalau mereka merasa tidak pernah nyaman di bawah pengasuhan Indonesia. Berbagai macam upaya mereka lakukan untuk membawa permasalahan ini ke dunia internasional. Dengan bungkus ketidakadilan ini pula, akhirnya beberapa kalangan yang didukung oleh kekuatan asing mendorong Papua merdeka. Ditambah dengan semangat ras melanesian yang berbeda dengan ras kebanyakan rakyat Indonesia. Terlebih, dalam konteks hukum internasional, juga menguatkan gerakan mereka karena menurut perjanjian Westphalia semua bangsa dengan identitas sejenis dapat menentukan nasib sendiri, yakni merdeka. Hal ini lah yang kita kenal dengan konsep negara bangsa (nation state). Maka patutlah waspada dengan isu rasisme yang cukup ramai saat ini, karena ini akan menjadi semakin membaranya api separatisme.
Permasalahan Papua saat ini bukan sekedar untuk bermaaf-maafan. Lebih jauh lagi, bahwa bisa jadi ini akan menjadi gong tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, kesatuan negeri ini pun tersandera. Apalagi selama ini pemerintah nampak cukup lembek dan seolah tidak berdaya dengan OPM, padahal mereka jelas-jelas melakukan berbagai ancaman dan teror. Seharusnya OPM bisa diselesaikan sejak lama, karena mereka jelas-jelas melakukan tindakan pemberontakan. Cukup kontradiktif, ketika melihat gerakan Islam yang “hanya” mendakwahkan syariat Islam, sudah langsung dicap sebagai gerakan radikal dan terorisme.
Sudah saatnya negeri ini berkaca. Berkaca apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini. Mengapa negeri ini terjadi ketimpangan kesejahteraan yang luar biasa. Mengapa negeri yang memiliki banyak sekali kekayaan alam justru menjadi budak di rumah sendiri. Faktanya kekayaan alam tadi justru dikuasai oleh asing. Di sini lain, negeri ini terus dijebak dengan hutang yang terus menumpuk. Dan ketika negeri ini masih menggenggam konsep nation state, maka sangat berpeluang akan terus terjadi gerakan separatisme karena di Indonesia banyak suku bangsa yang masing-masing memiliki hak untuk merdeka.
Namun, jika Indonesia tetap di bawah kapitalisme global maka akan terus terkoyak dan akan terus terpasung dengan perjanjian internasional. Karena dalam konteks kapitalisme global, keberadaan konsep nation state akan memudahkan strategi penjajahan gaya baru di negara berkembang. Bagi mereka, keberadaan Papua Merdeka akan sangat cocok dengan strategi penjajahan mereka karena akan lebih leluasa lagi menguras kekayaan Papua tanpa hambatan. Maka jangan biarkan ada intervensi asing yang awalnya seolah akan menjadi “dokter” bagi penyakit Papua yang kompleks.
Selanjutnya Papua memerlukan kebijakan yang adil. Kita ketahui selama ini pembangunan di Papua sangat jauh tertinggal dibanding wilayah yang lain.
Sungguh Kapitalis-liberal telah menjadikan ketimpangan yang luar biasa antara yang kaya dan yang miskin. Sistem Islam memiliki pengaturan yang sempurna untuk seluruh aspek kehidupan. Bagaimana pengelolaan kekayaan sumber daya alam oleh negara dan pelarangan adanya privatisasi akan menjadikan negara memiliki sumber pendapatan yang pasti untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Di dalam sistem pemerintahan dan perundang-undangan pun Islam memiliki aturan yang jelas dan tegas sehingga bisa memberikan pengaturan yang sama untuk masyarakat. Islam juga telah memberikan contoh nyata penerapan toleransi terhadap penduduk di wilayahnya. Tidak ada yang namanya. Tidak ada rasisme dalam kacamata Islam.
Mereka yang beragama lain diberikan kebebasan menjalankan ibadah mereka secara leluasa, sedang di lingkungan publik baru diterapkan syariat Islam yang sama untuk seluruh warga negara, misal pelarangan untuk berbuat zina dan riba. Inilah bentuk penjagaan syariat Islam dalam menjaga kesatuan wilayah Negara. Dengan Islam kaffah saja, penjagaan kesatuan wilayah negara bisa terwujud secara hakiki, insya Allah. Wallahu a’lam bish shawab. [nb]
*sumber gambar : google