Oleh : Sunarti
#MuslimahTimes — Tikus mati di lumbung padi. Sepertinya peribahasa ini layak disematkan kepada rakyat di negeri ini. Pasalnya, berbagai persoalan menimpanya dengan tanpa ampun. Sementara di negeri yang “gemah ripah loh jinawi” ini, hasilnya tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Meskipun tidaklah seluruhnya merasakan demikian. Namun perlu diketahui, hanya sebagian kecil saja yang bisa menikmati besarnya manfaat materi dari kekayaan yang dimiliki oleh negeri ini.
Kemakmuran bangsa di sebuah negeri bergantung perjalanan sistem ekonominya. Disebabkan karena kebutuhan hidup yang bergantung pada penerapan sistem ekonominya. Pengelolaan bahan makanan pokok oleh rakyat dengan penerapan sistem ekonomi oleh sebuah negeri, menjadi penentu kesejahteraan rakyat.
Belum Mandiri Secara Ekonomi
Saat ini Indonesia sedang berupaya meningkatkan perekonomian demi memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Banyak jalan yang dilalui dalam rangka pemenuhan tersebut. Salah satunya adalah pasar bebas. Efek dari penerapan pasar bebas adalah masuknya berbagai produk luar negeri ke Indonesia (termasuk kebijakan impor).
Sudah banyak bahan makanan pokok maupun pendamping yang diimpor dari luar negeri. Misalkan saja, beras, kentang, garam, gula, bahkan yang akhir-akhir ini adalah sampah. Dan kebijakan pemerintah soal impor, sebenarnya juga mendapat sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih.
Kritik pada impor gula, juga terjadi. Impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi. Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik (Tirto.id).
Negara berkembang yang saat ini sedang melakukan pembenahan demi tercapainya kemakmuran rakyat, mau tidak mau mengikuti pola perekonomian dunia. Atas dasar ketaatan kepada sistem perekonomian, Indonesia menjadi negeri yang berada di bawah kekuasaan asing. Pasalnya, Indonesia, dengan keikutsertaannya, dalam kancah dunia dalam berbagai bentuk kerjasama, justru membuat negeri yang kaya ini tidak bisa mandiri.
Sebut saja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO : World Trade Organization). Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia bahkan terkena vonis dari WTO yang kalah dalam dispute settlement (penyelesaian sengketa). Menurut WTO Indonesia telah melakukan pelanggaran perdagangan yang adil. Konsekuensinya, pangsa pasar industri peternakan dalam negeri akan dibanjiri produk daging ayam yang lebih murah asal Amerika dan Brasil yang berdaya saing tinggi karena biaya produksinya lebih efisien (Tempo.co).
Padahal kebutuhan daging ayam dari produksi lokal sudahlah cukup memadai. Sebenarnya, ketersediaan produksi daging ayam ras Indonesia cukup memadai. Pada 2017, tersedia 1.848.061 ton dan potensi produksi pada 2018 sebanyak 3.382.311 ton. Proyeksi konsumsi kebutuhan ayam domestik sebesar 3.051.276 ton, sehingga ada potensi surplus (excess supply) 331.035 ton. Bahkan, sejak 2010, pemerintah mengklaim sudah swasembada daging ayam ras. Artinya, kebutuhan daging ayam sudah dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Pemerintah bahkan menyatakan telah mampu mengekspor ke berbagai negara.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pencapaian nilai ekspor komoditas subsektor peternakan pada 2017 naik sebesar 14,85 persen dibanding 2016. Nilai ekspornya pada 2017 sebesar US$ 623,9 juta (Rp 8,5 triliun). Pada 2017, kontribusi volume ekspor subsektor peternakan sebesar 64,07 persen dengan negara tujuan ekspor terbanyak adalah Hong Kong sebesar 23,10 persen dan Cina 21,96 persen (kolom.tempo.co).
Indonesia adalah pasar yang potensial. Karena dengan 260 juta jiwa yang siap sebagai konsumen terhadap produsen ayam ras dunia. Selain itu, posisi Indonesia yang sulit untuk lepas dari keputusan WTO, karena Indonesia merupakan bagian dari WTO.
Efek dari perdagangan dunia yang berbasis kapitalis, sehingga tidak ada lagi unsur untuk perbaikan internal dalam negeri. Secara kasat mata, Indonesia dipaksa tunduk dengan kebijakan internasional, yang justru merugikan kondisi rakyatnya. Inilah sejatinya bukti bahwa negara-negara maju yang mengatasnamakan kerjasama, hanya ingin meraup keuntungan dari negeri yang kaya akan penduduk (sebagai konsumen) dan sumber daya alam (sebagai bahan jarahan).
Kekayaan yang Berlimpah
Negeri Zamrud Khatulistiwa, adalah julukan Indonesia. Tersebab kekayaan yang dimiliki adalah kekayaan yang berlimpah. Tidak sebagaimana yang dimiliki oleh negeri-negeri lain, yang mungkin hanya sedikit dan sumber daya alam tertentu saja. Indonesia memiliki kekayaan yang tersimpan di atas bumi, di dalam bumi maupun kaitannya, sangat berlipat. Wajarlah jika nama itu tersemat indah untuk negeri Seribu Pulau ini.
Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan alam yang tersimpan terbentang bak permadani. Misalnya, di Kalimantan Timur dikenal sebagai daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Salah satu titik yang menyimpan kekayaan gas alam adalah di blok Mahakam. Cadangan gas alam yang diketahui terkandung dalam perut bumi Kalimantan Timur sangat melimpah. Di mana produksi gas alam Kalimantan Timur sendiri mencapai 607,15 juta TCF.
Riau merupakan daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia. Di mana daerah tersebut mampu menghasilkan 365.827 barrel per hari dengan rincian minyak mentah sebanyak 359.777 barrel dan kondesat sebesar 6.050 barrel.
Semua hasil minyak ini diperoleh dari Kepulauan Natuna yang memiliki enam blok pertambangan yaitu Rokan, Mountain Front Kuantan, Siak, Coastal Plains dan Pekanbaru, Selat Malaca, dan Selat Panjang. Sumber daya alamnya dikelola oleh Chevron, Petroselat, Bumi Siak Pusako, Pertamina, Kondur Petroleum dan Pembangunan Riau.
Ketika berbicara sumber daya alam, maka Papua merupakan salah satu surganya. Berbagai barang tambang bisa ditemukan di sini termasuk tambang emas. Papua merupakan daerah tambang emas terbesar di dunia. Total cadangan emas yang dimiliki sebesar 1.187 ton dengan nilai mencapai USD 469,7 miliar.
Tanjung Enim, Sumatera selatan adalah wilayah penghasil batu bara. Produksi tambang batu bara di daerah ini mampu menghasilkan 1.500 -1.700 ton setiap jamnya. Jumlah produksi yang tentunya sangat besar.
Penghasil timah terbesar ada di Pulang Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Salah satu faktor yang menyebabkan Bangka Belitung mampu menghasilkan timah yang sangat banyak adalah karena pulau tersebut kaya juga akan bebatuan yang memiliki sifat asam. Bangka Belitung mampu menghasilkan timah mencapai 100.000 ton dan jumlah tersebut akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Sumber : m.merdeka.com.
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengaruhnya
Sebagai negeri yang kaya raya, semestinyalah jika bersyukur pada aturan Allah SWT. Rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap seluruh aturanNya. Dengan kekayaan alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang jutaan jiwa, bukan tidak mungkin negeri ini menjadi negeri yang mandiri. Tentu saja dengan cara mentaati seluruh perintah dan larangan Allah SWT. Salah satunya adalah mengenai pengelolaan sumber daya alam. Allah SWT, berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89
Kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Rasul saw. juga bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.
Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.” (Sumber : Buku Sistem Ekonomi Islam).
Alhasil, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb, sudah seharusnya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum yang dikelola oleh negara. Semua digunakan untuk kepentingan masyarakat. Kebutuhan pokok (pangan, sandnag, pendidikan dan kesehatan) rakyat terpenuhi dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Sehingga rakyat bisa fokus terhadap usaha pribadinya. Seperti, sebagai petani, bisa fokus terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Sebagai peternak, sebagai pengelola perkebunan bisa berkerja dengan keahlian masing-masing, tanpa was-was untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pendidikan, kesehatan dan transportasi dan yang lainnya. Dan, tidak akan muncul adanya kekurangan bahan baku/bahan makanan pokok di seluruh wilayah negara.
Sebagai penyelenggara negara, memiliki kewajiban dalam membantu setiap warga negara dalam pengembangan teknologi dan kemajuan dalam pertanian, perkebunan maupun peternakan. Negara memfasilitasi seluruh sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat guna mendukung program kemajuannya. Maka, hasil dari perkebunan, pertanian bahkan hingga perikanan, bisa surplus. Prestasi ini sesungguhnya sudahlah diraih oleh Indonesia. Jadi tidaklah sulit dalam pendistribusian yang tinggal difasilitasi oleh negara.
Sehingga adanya management impor menjadi pilihan yang terakhir. Itu terjadi, apabila negeri sedang dalam kondisi yang sangat membutuhkan. Dan yang perlu diperhatikan adalah, jika ada kerjasama dengan luar negeri, negeri yang mana yang diajak kerjasama dalam perekonomian, menjadi pertimbangan utama dan pertama. Dengan tujuan, kebijakan dalam dan luar negeri tidak terikat dengan negeri l-negeri yang diajak bekerjasama. Menjadi negeri yang mandiri, tentunya. Perjanjian yang dibuat, juga bukan perjanjian dengan negeri yang menjadi musuh negara (negeri harb/negeri yang harus diperangi karena nyata permusuhannya dengan dalam negeri). Tujuannya pun jelas, untuk keuntungan masyarakat dalam negeri, bukan sebaliknya.
Wallahu alam bisawab.
Ngawi, 20 Agustus 2019