Oleh: Shafayasmin Salsabila*
*Penulis adalah anggota Muslimah Peduli Umat dari Indramayu
#MuslimahTimes — Kritis. Inilah kondisi negeri saat ini. Ibarat pasien Rumah Sakit yang dilarikan ke ruang ICU. Tidak sadarkan diri, dan butuh penanganan serius. Pukulan bertubi-tubi serta serangan penyakit melahap kekuatannya. Faktanya hingga detik ini, banyak pihak yang mengincar dan merongrong kemolekan Ibu Pertiwi.Â
Neoliberalisme dan neoimperialisme adalah dua pukulan telak tersendiri. Hampir kasat mata, sehingga tidak banyak yang menyadari. Impian perubahan dari sekadar negeri berkembang menjadi negeri maju dan mandiri, semakin pudar. Bahkan, seorang tokoh besar bangsa, pernah bicara soal ‘Indonesia bubar tahun 2030’ dalam acara di kampus salah satu perguruan negeri tersohor. Sungguh mengerikan.Â
Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi. Diantaranya lewat privatisasi sektor publik, pencabutan subsidi komoditas strategis. Imbasnya berbagai sumber daya alam terutama tambang terlepas dan diambil alih swasta atau asing, naiknya harga BBM, LPG, listrik, pupuk, tarif tol, dsb. Negara berganti wujud menjadi korporatokrasi, dimana negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Sehingga keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing. Rakyat pun sekarat. Kian hari, makin sulit menyambung napas.Â
Ditambah lagi dengan neoimperialisme, penjajahan gaya baru. Bukan dengan tank baja, meriam, ataupun rentetan tembakan, melainkan melalui legislasi perundang-undangan. Hal ini dimungkinkan dengan penerapan demokrasi. Prinsip dasar dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat, artinya akal manusia menjadi sumber lahirnya peraturan. Di titik inilah, kepentingan akan bermain. Pemilik modal/pengusaha berada di atas angin, bebas memesan kebijakan kepada penguasa. Lagi-lagi terjadi perselingkuhan antara pembuat kebijakan dengan para orang kaya.Â
Inilah ancaman sebenarnya yang patut diwaspadai bersama dan sudah selayaknya untuk kita berupaya menghilangkannya. Tentu, cara terbaik adalah dengan kembali kepada fitrah manusia, yakni Islam.Â
Islam adalah kunci dari keselamatan yang dicari selama ini. Bukan sekadar berbicara masalah keyakinan, tapi ada seperangkat aturan di dalamnya dengan sifat konfrehensif (syamilan wa kamilan), total. Mari sejenak menjernihkan pemikiran. Manusia diciptakan dengan ukuran tertentu, ada batas yang tidak bisa dilampaui. Inilah sebabnya manusia dikatakan lemah dan terbatas. Bahkan akalnya pun tak kuasa mendapati sosok penciptanya. Untuk itulah cara terbaik yang disyariatkan adalah dengan mengarahkan pandangan pada ciptaan-ciptaan Allah, dengannya seseorang akan mendapatkan bukti nyata eksistensi Sang Pencipta.Â
Sifat lemah dan terbatas ini yang memaksa manusia secara logis untuk tunduk dan berserah diri kepada Allah. Syahadatnya mengukuhkan keimanan dalam hati, bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui detil karakter manusia berikut cara terbaik untuk mengatur kehidupannya. Maka turunlah risalah yang diemban oleh para Rasul. Guna menyampaikan pesan dari Sang Pencipta terkait arahan atau panduan bagi manusia dalam menjalani kehidupan agar selamat di dunia juga pada saat berpindah alam, menuju akhirat.Â
Konsep agung inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah Saw sejak berdakwah di Mekkah, sebuah sistem hidup yang mampu mengubah wajah bangsa Arab secara keseluruhan, bahkan hingga ke penjuru dunia. Dari jahiliyah menuju kecemerlangan berpikir, membawanya terusung sebagai peradaban tertinggi. Tidakkah Indonesia, sebagai negeri mayoritas Muslim tergugah untuk merasakan kebanggaan yang sama. Lepas dari jerat masalah dengan kembali mengambil hukum Allah saja.Â
Maka amat memilukan jika Islam, sebagai solusi dari jeratan masalah ini justru dikambinghitamkan. Bahkan dihawatirkan akan menjadi sumber konflik dan membawa kehancuran. Isu deradikalisasi menyasar Islam politik. Simbol-simbol Islam dicurigai. Cadar, jenggot, celana cingkrang mendadak jadi perbincangan. Ajaran Islam tentang jihad dan khilafah, tak luput dipersoalkan. Padahal setiap Muslim pasti sepakat, Rasulullah Saw tidak pernah mencontohkan perpecahan, teror atau pun pemberontakan. Jikapun ada suara sumbang disintegrasi, muaranya bukan karena Islam. Tapi lebih kepada makin curamnya kesenjangan sosial. Ketiadaan pemerataan pembangunan. Serta provokasi dari pihak luar.Â
Pada akhirnya umat cukup digembirakan dengan solusi pragmatis yang jauh dari esensi masalah sebenarnya. Bahkan menyangka kegentingan yang terjadi salah satunya akibat lunturnya ingatan anak bangsa dari falsafah Pancasila. Maka tercetuslah satu ide unik di benak salah seorang pemimpin di tingkat desa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Bagi warga yang mengurus administrasi di kantor desa harus menghafalkan teks Pancasila (radarcirebon.com, 28/11/2019) .
Semestinya lidah tercekat saat mengucapkannya, terutama sila ke dua. Pada saat keadilan menjadi barang langka di negeri ini. Ketika adab sudah tak lagi dijunjung tinggi. Maka pertanyaannya, mau sampai berapa lama lagi kita dibuat mengejar ekor sendiri? Sudah saatnya fokus pada masalah inti, mari membenahi negeri.Â
Wallahu a’lam bish-shawab.