Oleh : Sunarti
#MuslimahTimes — Itik berenang di laut (air ), mati kehausan. Artinya, menderita kesusahan karena tidak dapat (atau tidak mendapat kesempatan) memanfaatkan kekayaan yang ada. Inilah peribahasa yang tepat disematkan kepada masyarakat petambak garam di Madura.
Pasalnya, kekayaan garam yang begitu melimpah, musti tersisih dengan garam impor. Ini fenomena yang sangat menyayat hati. Bagaimana tidak, para penambak garam di Madura ini, telah bersusah payah menekuni pekerjaannya dengan segala macam persoalan. Ditambah lagi mereka musti menerima kenyataan pahit yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagaimana diberitakan Radarmadura.jawapos.com, bahwa saat ini harga garam anjlok dan akhirnya para penambak garam tidak menjual garamnya. Mengingat harga yang sangat murah, membuat mereka memilih menampung hasil tambaknya. Petani berharap agar ke depan harga garam bisa lebih berpihak kepada mereka. Â
”Banyak garam yang disimpan karena harganya murah. Petani berharap agar bisa naik,” ujar Kabid Perikanan dan Budi Daya Dinas Perikanan Sampang Moh. Mahfud.
Moh. Mahfud juga mengakui saat ini harga garam memang tidak sesuai dengan harapan petani. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menaikkan harga garam. Tetapi menurutnya, kebijakan soal tata niaga garam menjadi wewenang pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Menurut dia, harga tersebut terlalu murah. Sebab, biaya produksi garam cukup tinggi. Baik mulai dari pengolahan tambak hingga proses panen. ”Murah sekali harga garam sekarang,” tuturnya.”
Sayang, harapan ini hanya berada di angan-angan. Alih-alih memperhatikan harga garam dan kehidupan para penambak,, pemerintah justru Sisiskan mengambil kebijakan impor garam. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi para penambak garam. Mereka butuh solusi yang bisa mendongkrak penjualan sehingga berimbas pada kesejahteraan kehidupan mereka.
Nasib penambak garam selama ini hanya mampu bertambak, tanpa punya kemampuan untuk menerobos pangsa pasar. Oleh karenanya kesulitan yang dihadapi justru ketika di pasar bertebaran garam impor yang konon harganya lebih murah dan berkualitas. Hasil produksi lokal mereka hanya berkutat pada produksi dengan sarana dan prasarana tradisional dan ala kadarnya. Padahal pasar dikuasai garam konsumsi dengan berbagai produk garam yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya, garam beryodium, garam rendah natrium dan lain sebagainya.
Ini adalah bukti nyata bahwa kebijakan impor garam menghancurkan petani garam. Sekaligus merupakan bukti kegagalan sistem kapitalisme dan rezim neoliberal untuk meraih kesejahteraan dan keadilan. Gagal membangun swadaya garam dan malah menghancurkan petani garam.
Mengurai Kebijakan Perekonomian Kapitalis
Sistem ekonomi Kapitalisme jelas tidak akan bisa diharapkan menjadi solusi atas problem seluruh persoalan. Sistem ini tidak bisa menjadi solusi bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat, terutama penambak garam. Terbukti pada buruknya distribusi kekayaan yang selama ini terjadi justru disebabkan oleh kekuasaan para pemilik modal.
Secara teori sistem ekonomi kapitalis memang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anggota masyarakat, namun kenyatannya bersifat diskriminatif. Orang-orang atau badan-badan usaha yang menguasai adalah mereka yang dekat dengan sumber dana, sumber informasi, atau kekuasaanlah yang sering mendapatkan kesempatan. Sebaliknya, akan muncul sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi. Apalagi masyarakat kecil yang berada di bagian produksi seperti para penambak garam mereka akan kalah dalam pasar.
Ini mengakibatkan tidak ada perubahan signifikan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat. Apalagi jika memang tujuan kebijakan bukanlah untuk kesejahteraan rakyat namun untuk mendapatkan keuntungan secara ‘berjamaah’ para penguasa dan pengusaha. Jelas sudah tidak akan ada lagi, kebijakan yang diambil akan berpihak pada perbaikan produksi garam (baik kwalitas maupun kwantitas) maupun distribusinya.
Kebijakan yang diambil mestinya menghasilkan kesejahteraan kehidupan penambak garam. Beberapa cara sebenarnya bisa dilakukan melalui edukasi terhadap para penambak garam. Bagaimana cara mendapatkan garam, pengolahan dan penyimpanan garam, agar bisa terwujud garam dengan kualitas terbaik. Sehingga bisa bersaing dengan produk garam dari negeri lain.
Cara berikutnya adalah, jika mengacu pada swasembada garam ditempuh negara adalah dengan menyediakan sarana dan prasarana yang baik. Fasilitas pengembangan sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas garam. Termasuk di dalamnya adalah penyediaan laboratorium penelitian guna pengembangan produksi tersebut.
Selanjutnya dengan memperhatikan dan membantu distribusi garam ke seluruh penjuru negeri. Hal ini juga ditopang dengan kebijakan sistem perekonomian. Sebab, distribusi yang lancar juga bergantung kepada bagaimana pasar menjaga harga barang lokal/dalam negeri. Sebab, harga garam di pasar bergantung kepada kebijakan ekonomi yang diterapkan. Akan sangat wajar apabila dalam sistem perekonomian kapitalis, harga dipatok oleh para cukong.
Pematokan harga yang biasanya dilakukan pemerintah, dikatagorikan sebagai kezaliman dan ini tidak boleh dikerjakan. Pematokan harga jelas merusak apa yang dilakukan yaitu jual beli dengan cara sukarela antara pembeli dan penjual. Harga tidak terlahir dari kesepakatan dan kerelaan pembeli dan penjual, namun oleh pihak lain. Padahal, merekalah yang paling tahu berapa seharusnya harga barang itu dibeli atau diual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka, sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Islam Memandang Hasil Garam
Selain semua hal di atas, apabila jumlah garam berlimpah dan tidak terbatas, itu harus dikelola oleh negara. Jadi garam sebenarnya merupakan produk yang dikelola dan dimanfaatkan hasilnya untuk rakyat. Jika memang ditemukan hal seperti ini, maka para penambak garam tersebut dijadikan sebagai pekerja. Dan tentu saja kesejahteraan mereka juga diperhatikan.
Mengingat jika sumber daya alam berlmpah, termasuk  garam, ketika jumlahnya banyak dan tidak  terbatas maka menjadi kepemilikan  umum, hal ini berdasarkan dari hadist, dari Ibnu Abbas, Ia berkata, Rosulullah SAW bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air,rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya adalah haram. Abu sa’id berkata , yang di maksut adalah air yang mengalir.” (HR.Ibn Majah).
Pengelolaan sumberdaya alam yang menjadi milik umum, yang dikelola oleh individu atau swasta terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara. Semua tetap dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam. Semua disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hanbal.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.”
Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.” (HR at-Tirmidzi).
Dari riwayat tersebut dapat dipahami, bahwa semula Rasullah saw. memberi Abyadh tambang garam karena dikira sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan bahwa penguasa boleh memberikan tambang garam atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada individu.
Akan tetapi, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar (digambarkan bagaikan air yang terus mengalir), maka Rasul saw. segera menarik kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Larangan untuk menguasai tambang dalam jumlah yang banyak tidak hanya berlaku pada tambang garam, tetapi berlaku pada semua tambang yang memang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penutup
ÂPada akhirnya, tugas negara memberi edukasi petani hingga mampu menghasilkan garam kwalitas tinggi untuk swasembada garam, pola distribusi, menjaga pangsa pasar dan menghentikan impor (jika sudah mampu dipenuhi oleh produk garam dalam negeri).
Kebijakan ini yang akan ditempuh oleh perintah dalam sistem Islam. Tentu semua persoalan harus bersinergi dalam seluruh sistem, mulai dari sistem perintahan, (sebagai penentu kebijakan-ekspor/impor), sistem ekonomi (kebijakan pengelolaan sumber daya dan sumber dana, pangsa pasar dan distribusi) dan sistem pendidikan sebagai pelaksana edukasi dan pengembangan produksi.
Dengan ini semua kesejahteraan para penambak garam bisa terwujud. Baik garam dalam kepemilikan individu maupun garam dalam kepemilikan umum. Semua dikelola sesuai dengan aturan yang menguntungkan rakyat, bukan menguntungkan konglomerat. Butuh Islam kaffah yang mampu memberi perlindungan pada petani garam. Dan yang bisa mewujudkan ini semua, hanya dalam negara yang menerapkan sistem Islam.