Oleh : Jesiati
#MuslimahTimes — Masyarakat kini kocar kacir dengan banyak kejutan tahun 2020, entah kabar buruk atau kabar baik. Harga beberapa komoditas yang digemari masyarakat Indonesia akan naik. Minuman berpemanis seperti teh berkemasan, minuman berkarbonasi, kopi konsentrat akan dikenakan cukai. Kantong plastik alias tas keresek yang lazim dipakai untuk wadah belanjaan juga akan dikenakan bea serupa. Mobil atau sepeda motor, atau kendaraan bermotor apa saja yang menghasilkan emisi karbondioksida, juga bakal dikenakan bea. Pembayaran cukai akan dibebankan pada pabrikan dan importir berdasarkan seberapa besar emisi karbondioksida yang dihasilkan dari produknya bukan pada pengguna. Terang saja itu berarti akan membuat harganya akan lebih mahal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat pada Rabu lalu. Parlemen pun, tanpa banyak penentangan, menyetujui rencana itu, meski waktu penerapan dan skema detailnya akan dibahas kemudian. Yang pasti, kalau kebijakan itu diberlakukan, Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara dari ketiga cukai itu lebih dari Rp22 triliun. Perluasan penerapan cukai pada ketiga komoditas itu mempunyai tujuan ganda. Pertama, jelas saja untuk menambah penerimaan negara, terutama dari sektor cukai. Kedua, untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat.Â
Penerimaan negara untuk kantong plastik alias tas keresek, skema tarif cukainya akan ditetapkan Rp30.000 per kilogram atau sebesar Rp200 per lembar. Harga keresek di toko-toko ritel sekarang Rp200 per lembar dan kalau dikenakan cukai akan naik menjadi Rp400 sampai Rp500 per lembar. Asumsi konsumsi plastik 53,5 juta kilogram per tahun (setelah ditekan dari rata-rata 107 juta kilogram per tahun), potensi penerimaan Rp1,605 triliun. Kenaikan harga tas keresek itu diharapkan dapat mengurangi penggunaan kantong plastik, yang akan menjadi sampah plastik yang sulit terurai dan mencemari lingkungan, terutama tanah dan air. Isu sampah plastik itu sudah menjadi masalah dunia dan banyak negara mulai membatasinya, sementara Indonesia disebut sebagai negara terbesar yang memproduksi sampah plastik. Cukai dari minuman berpemanis, dengan gula atau pemanis buatan, ditargetkan mencapai Rp1,7 triliun. Produksi produk-produk yang akan dikenakan cukai—energy drink, kopi konsentrat, dan sejenisnya; teh berkemasan, minuman berkarbonasi—mencapai ratusan juta sampai miliar liter per tahun. Masing-masing jenis produk akan dikenakan cukai bervariasi: energy drink dan semacamnya Rp2.500 per liter, teh kemasan Rp1.500 per liter, dan minuman berkarbonasi Rp2.500 per liter (VIVAnews, 22/2/2020).
Rencana pemberlakuan cukai pada minuman berpemanis kini tengah dalam upaya realisasi. “Minuman berpemanis ini apabila disetujui (Komisi XI) menjadi objek cukai, maka kami untuk tahap ini mengusulkan,” terang Sri Mulyani di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta. Terkait, minuman berpemanis yang dikenakan cukai, Dia menyasar produk yang mengandung pemanis dari gula maupun buatan (sintetik). “Yang sudah siap konsumsi, jadi kaya kopi sachet, yang isi banyak sekali gulanya,” imbuhnya (Merdeka.com).
Sri Mulyani mengatakan, tujuannya adalah untuk mencegah penyakit diabetes yang mematikan. “Diabetes penyakit paling tinggi fenomena dan growing seiring meningkatnya pendapatan masyarakat,” jelas Sri Mulyani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menanggapi usulan lama tersebut. Ia menegaskan bila cukai benar-benar berlaku bagi minuman berpemanis, maka yang kena dampak adalah konsumen. Ia bilang masalah hal lama yang diulang lagi. “Pada dasarnya belum ada data yg menunjukkan pengenaan cukai bs menurunkan PTM (penyakit tidak menular) dan obesitas. Kalau tujuan adalah mengatasi PTM dan obesitas,” tegas Adhi (CNBC Indonesia).
Miris sekaligus menyedihkan, negara dengan sumberdaya alam yang melimpah tapi masih saja menjadikan rakyat sebagai objek pemalakan. Alih-alih mendapatkan kemakmuran seperti yang dijanjikan, faktanya berbanding terbalik dengan realitas kehidupan yang terjadi. Rakyat makin terbebani, kehidupan kian pelik, kesenjangan tak bisa dipungkiri, pekerjaan makin sulit, aspek ekonomi makin terhimpit.
Pajak dalam sistem kapitalisme menjadi salah satu pendapatan utama negara. Pajak adalah pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Pajak ini dibebankan kepada rakyat, bersifat memaksa sebagaimana yang termaktub dalam UU KUP Pasal 1 ayat (1), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kekayaan barang tambang dan SDA lain yang berlimpah belum sepenuhnya dikelolah dan dijadikan sumber utama pendapatan negara. Sebaliknya, justru diobral dengan harga murah dan dinikmati perusahaan asing melalui projek privatisasi dan swastanisasi.
Kondisi masyarakat  saat ini makin terpuruk sudah jatuh di timpa tangga lagi, masyarakat sudah cukup kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari dengan harga- harga yang semakin melambung tinggi dan di perparah lagi dengan sulitnya mendapatkan kesehatan gratis, ingin berobat kerumah sakit namun takut jangan sampai salah langkah dan terkena urun biaya lebih baik sakitnya di tahan sendiri atau cukup dengan beli obat diwarung pantaslah untuk saat ini dikatakan orang miskin dilarang sakit.
Berbicara terkait pelayanan kesehatan dalam sistem pemerintahan saat ini merupakan hal yang sulit untuk didapatkan meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai macam program kesehatan seperti ASKES, JAMKESMAS, KIS dan BPJS namun tetap saja masyarakat malah semakin sulit untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis dan mudah. Kesehatan di masa sekarang dianggap sebagai suatu komoditas yang layak diperjualbelikan. General Agreement on Trade Service menegaskan bahwa kesehatan kini telah menjadi jasa komersial . Jika ingin sakit, masyarakat harus siap dengan tabungan yang besar.
Kita harus sampai kapan bertahan dengan kondisi seperti ini, sudah saatnya kita keluar dari jebakan sistem kapitalis sekuler yang rusak dan kembali kepada Islam karena Islam mampu memberikan solusi atas semua permasalahan kehidupan termasuk masalah kesehatan. Islam memandang kesehatan sebagai bagian dari hak dasar manusia. Kebutuhan akan kesehatan tak ubahnya seperti kebutuhan akan pangan. Rasulullah bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwa, jalan dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab alMufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
kesehatan merupakan salah satu bidang di bawah divisi pelayanan masyarakat. Pembiayaan rumah sakit seluruhnya ditanggung oleh pemerintah. Dokter dan perawat digaji oleh khalifah. Dananya diambil dari Baitul Maal dari pos harta kepemilikan negara (kharaj, jizyah, harta waris yang tidak dapat diwariskan kepada siapapun, dan lain-lain) dan pos harta kepemilikan umum (hasil pengelolaan sumber daya alam, energi, mineral, tanah, dan sebagainya). Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal. Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan. Pelayanan kesehatan gratis bagi pasien tidak hanya diterapkan saat kekhilafahan mencapai puncak kejayaannya, melainkan sudah diterapkan sejak awal kemunculan rumah sakit Islam.
Khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS. Lembaga asuransi bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.
Peringatan dari Rasulullaah Saw. tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya, maka resiko yang harus ditanggung tidaklah main-main karena bukan hanya berimbas di kehidupan dunia tapi juga menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi. Rasulullah Saw pernah bersabda: “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada dia.” (HR Muslim dan Ahmad). Hadits lain, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pajak demi kesehatan rakyat ? bukan membuat sehat justru membuat semakin melarat karena menaikkan cukai dari minuman manis artinya menaikkan harga jual. Adanya pajak selain menurunkan daya beli masyarakat, mengurangi konsumsi dan akan menghilangkan pendapatan masyarakat pedagang asongan. Pemasukan pajak ini mencekik rakyat kecil.
Wallahu a’lam bisshawab