Pandemi dan Kebijakan Setengah Hati
Oleh : Sunarti
Muslimahtimes – Mati-mati berdawat biar hitam (~ Mandi biar basah), yang mengandung arti : tiap-tiap pekerjaan janganlah dilakukan kepalang tanggung, janganlah diusahakan separuh jalan melainkan dikerjakan sampai pada kesudahannya.
Peribahasa yang tepat disematkan kepada para pemegang kebijakan di tanah negeri, Indonesia. Pasalnya, terkesan lamban dalam penanganan Virus Corona yang melanda penduduk negeri tercinta. Dari hari pertama, ditemukan meninggalnya seorang penderita yang hasil test laboratoriumnya menunjukkan positif terinfeksi virus Covid-19, hingga hari ini, entah berapa banyak lagi yang mesti berkalang tanah.
Seperti yang dilaporkan di situs infeksiemerging.kemkes.go.id, dari 30 Desember 2019 sampai 10 Maret 2020, tercatat 694 orang diperiksa terkait kasus ini di 23 provinsi. Hasilnya, 648 orang negatif (188 orang Anak Buah Kapal kru kapal World Dream), 19 kasus konfirmasi positif Covid-19, dan 27 sampel masih dalam pemeriksaan.
Sampai hari ini, pertimbangan untuk mengambil keputusan tegas, belum terlaksana. Kebijakan lokal daerah yang dianggap berlawanan dengan kebijakan pusat, menjadi polemik tersendiri. Jadilah masyarakat Indonesia menjadi bertanya sana dan sini demi menyelamatkan diri. Pembawa penyakit Corona (carier) masih berkeliaran menularkan penyakitnya tanpa dia sadari. Semua akibat dari tidak adanya edukasi perihal penyakit yang pasti.
//Makna Wabah, Endemi, Pandemi dan Bahayanya bagi Kehidupan//
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Wabah dipelajari dalam epidemiologi.
Sedangkan epidemiologi sendiri, epidemi adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi tertentu manusia, dalam suatu periode waktu tertentu, dengan laju yang melampaui laju “ekspektasi” (dugaan), yang didasarkan pada pengalaman mutakhir. Dengan kata lain, epidemi adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut incidence rate (bahasa Inggris; “laju timbulnya penyakit”).
Menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian wabah dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu “berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka” (UU 4/1984).
Suatu wabah dapat terbatas pada lingkup kecil tertentu (disebut outbreak, yaitu serangan penyakit), lingkup yang lebih luas (“epidemi”) atau bahkan lingkup global (pandemi).
Penyakit-yang-umum yang terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi disebut sebagai endemik. Contoh penyakit endemik adalah malaria di sebagian Afrika (misalnya, Liberia). Di tempat seperti itu, sebagian besar populasinya diduga terjangkit malaria pada suatu waktu dalam masa hidupnya.
Contoh wabah yang cukup dikenal termasuk wabah pes yang terjadi di Eropa pada zaman pertengahan yang dikenal sebagai the Black Death (“kematian hitam”), pandemi influensa besar yang terjadi pada akhir Perang Dunia I, dan epidemi AIDS dewasa ini, yang oleh sekalangan pihak juga dianggap sebagai pandemi. Dan sekarang menyusul Corona, yang bisa terkategori sebagai penyakit ganas yang mematikan.
Lantas apakah fenomena Corona ini bisa juga dijuluki sebagai “The Black Death” layaknya wabah pes yang terjadi di Eropa? Padahal, reaksi cepat penularan virus Covid-19 ini lebih reaktif dan sangat cepat. Wallahu alam.
Menilik negara-negara besar dan berteknologi canggih terlebih dahulu terjangkit virus ini, jumlah korban berjatuhan cukup mencengangkan. Ini membuktikan bahwa keganasan dan reaksi cepat penularan dari virus Covid-19 sangat luar biasa.
Berbeda jauh dengan kondisi negeri berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia. Sangat disayangkan, kesan lamban tersirat dari pembuat kebijakan. Banyak pihak telah menyerukan segera lockdown, namun samasekali belum ada niatan ke sana. Justru berbagai argumentasi para pejabat penting terkesan meremehkan wabah ini.
Tidak hanya para pejabat dan rakyat biasa yang terdampak, tenaga ahli dalam kesehatan juga terkena imbas dari merajalelanya penyebaran virus ini. Banyak layanan kesehatan, rumah sakit, puskesmas yang kekurangan alat pelindung diri bagi para tenaganya. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam penanganan pasien terpapar mematikan ini.
Ambil saja contoh dari salah satu fasilitas kesehatan, yaitu Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya. Seperti dikutip dari Liputan6.com, Surabaya Ketua Satgas Corona Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya dr Prastuti Asta Wulaningrum mengakui bahwa pihaknya kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) untuk menangani pasien Covid-19. Menurut Prastuti pihaknya kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) untuk menangani pasien Covid – 19 yang tengah dirawat. Dia mengungkapkan, APD yang dipunyai RSUA hanya dapat bertahan hingga dua hari. Sementara untuk pelindung mata dan masker N95 hanya cukup tiga hari.
Ini baru salah satu fasilitas kesehatan, belum rumah sakit atau fasilitas kesehatan di tempat lain. Apa jadinya jika tindakan tidak pasti ini, yaitu dengan membiarkan para pembawa virus (carier) masih berkeliaran di mana-mana? Sementara pihak pemerintah masih belum bisa memutus rantai penularan ini? Bukankah negeri ini akan banyak kehilangan para ahli di bidang kesehatan? Belum lagi, kehilangan separuh hingga keseluruhan rakyat yang ada? (Naudzubillahiminzalik).
//Keselamatan Rakyat, Menjadi Prioritas Utama//
Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang padat, dengan sumber daya alam yang berlimpah, sejatinya, Indonesia mampu melakukan tindakan mandiri, yaitu melakukan lockdown. Bukan eata atas pertimbangan ekonomi Sebagaimana yang dijadikan alasan tidak dilakukan lockdown selama ini.
Prioritas terhadap keselamatan rakyat harusnya lebih utama. Kebijakan pengambilan keputusan ini seharusnya tidak bergantung kepada kebijakan asing atau negara lain yang berada di atas keputusan dalam negeri. Menilik Indonesia sebenarnya mampu untuk mandiri mengambil keputusan, tanpa tekanan dari protokol internasional. Karena secara kekuatan internal sumber daya manusia juga bisa berperan dalam kebijakan lockdown ini.
Misalnya saja, alamiahnya, masyarakat Indonesia masih sangat kental dengan budaya gotong royong. Ini bisa dibil inisiatif beberapa saat ketika negara menyatakan putus hubungan dengan negara manapun dan dalam bentuk apapun selama beberapa saat. Dengan tidak mengirim atau memasukkan warga asing dan bahan-bahan asing masuk ke dalam negeri. Kecuali memang sangat dibutuhkan untuk kebutuhan hidup dan mati rakyat. Seperti tenaga ahli dalam bidang kesehatan, alat-alat pengaman, bagi para tenaga kesehatan, sarana dan prasarana bagi pengembangan penelitian virus dan hal lain yang sangat mendesak.
Untuk pembatasan skala wilayah/daerah, bisa diambil kebijakan serempak. Untuk pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari, jika memang saat sekarang belum mampu dilakukan oleh negara, maka bisa ditempuh dengan memanfaatkan rasa kebersamaan, yaitu gotong royong warga. Saling memberi kepada yang membutuhkan selama waktu dilaksanakan lockdown. Si kaya membantu si miskin dengan sedikit menginfakkan hartanya. Entah berupa bahan makanan pokok serta makanan tambahan atau berupa uang. Ini dilakukan selama masa karantina.
Setelahnya, negara bisa mengambil alih peran gotong royong ini dengan menyuplai kebutuhan pokok rakyat dari hasil penggalian sumber daya alam. Tentu saja setelah penyelesaian kasus Corona berakhir. Yakni, masa di mana virus ini berhenti di saat pembawa carier tidak lagi bebas berlenggang menebarkan virus dalam tubuhnya, dan saat itu adalah saat di mana seluruh manusia berada dalam karantina. Sementara, yang sakit tetap mendapatkan pertolongan sesuai prosedur yang ada.
Keputusan mandiri membutuhkan optimasi kemampuan negara. Lockdown membutuhkan kesiapan mental bagi pemerintah dan masyarakat. Pasalnya, ini juga berpengaruh berat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan keadaan ekonomi. Namun, sejatinya ini hanya berlaku beberapa saat saja. Setelahnya, negara bisa bangkit lagi dengan kemandirian dari sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dan kebijakan ini akan dirasa berat bagi negeri penganut sistem ekonomi kapitalis. Karena, dalam sistem ini keselamatan rakyat bukan prioritas utama. Akan tetapi ekonomi menjadi pertimbangan pertama. Ini semua membuktikan bahwa negara penganut sistem kapitalis-sekuleris, akan mengorbankan nyawa rakyat demi manfaat, yaitu kelanggengan ekonomi.
Negara kapitalis hanya beretorika soal prioritas keselamatan rakyat dan kebijakannya yang nyata-nyata tidak memberi jaminan kepada keselamatan seluruh rakyat. Bahkan tenaga medis sebagai garda terdepan juga tidak mendapat perhatian memadai. Perhitungan materi masih menjadi pertimbangan dominan pengambilan keputusannya. Jelas saja, ini adalah ciri khas negara penganut sistem kapitalis-sekuleris. Akan sangat wajar ketika keselamatan rakyat tidak berada di prioritas utama.
Pemerintah kapitalis tidak mengambil kebijakan lockdown karena implikasi ekonomi, sosial dan keamanan yang tidak bisa ditanggungnya. Hal yang sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. Sebagai kepala negara, khalifah akan melakukan lockdown dengan mengerahkan seluruh sumber daya dan potensi negara dan umat. Itu bisa dilakukan karena dorongan takwa dan taat ulil amri yang dimiliki oleh rakyat. Apapun akan dilakukan oleh negara demi keselamatan rakyat. Kebijakan dalam negeri yang menyangkut hajat hidup rakyat menjadi prioritas utama dan pertama.
Ini semua bisa dilakukan ketika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Sistem kekhilafahan yang telah terbukti menjalankan roda pemerintahan selama kurun waktu tiga setengah abad. Dengan berbagai macam persoalan yang bisa diselesaikan dengan kembali kepada Allah SWT sebagai Pemilik Seluruh Kehidupan.
Wallahu alam bisawab.
Ngawi, 28 Maret 2020