Oleh: Enis Yuliati
Â
#MuslimahTimes — Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat miskin saat ini. Di tengah wabah korona yang melanda, kondisi perekonomian rakyat cukup memprihatinkan. Nasib pekerja pun tak kalah terpuruk. Kebijakan social distancing ATAU PSBB, mengakibatkan banyak perusahaan melakukan PHK. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) PHK tanggal 20 April 2020 lalu mencapai lebih dari 2juta pekerja. Bahkan diperkirakan akan terus bertambah hingga kasus pandemi berakhir. Ironisnya lagi beban rakyat harus bertambah. Di mana harus menelan pahitnya kebijakan pemerintah lewat kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Meskipun sebelumnya, tanggal 9 Maret 2020 Mahkamah Agung telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang kenaikan BPJS Kesehatan Januari 2020, Rupanya pemerintah bertekad bulat untuk menaikkan kembali iuran BPJS per 1 Juli 2020 melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Pasal 34 menyebutkan iuran kelas I sebesar Rp 150 ribu per orang, kelas II sebesar Rp 100 ribu dan kelas III sebesar Rp 25.500 yang mulai tahun 2021 akan menjadi Rp 35 ribu. Kenaikan ini hampir mencapai 2 kali lipat dari iuran sebelumnya (Detik.com, 13/5/20).
Menurut menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hartarto, alasan pemerintah sengaja menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan agar bisa menekan utang BPJS ke berbagai instansi seperti rumah sakit dan apotek. Sebelumnya pada bulan Februari, pemerintah telah memberikan kucuran dana bantuan. Seperti yang diungkapkan Menteri Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu 19 Februari 2020 lalu, bahwa pemerintah akan menyalurkan dana Rp 12 triliun kepada BPJS Kesehatan untuk membayarkan kewajiban pemerintah selama tiga bulan (Februari, Maret hingga April). Agar mampu meningkatkan kemampuan bayar tagihan kepada fasilitas kesehatan dan rumah sakit sebesar Rp15,5 triliu. Kemudian pada bulanMei, pemerintah juga memutuskan mensubsidi iuran peserta mandiri kelas III BPJS Kesehatan. Dengan menambah suntikan modal sebesar Rp3,1 triliun ke BPJS Kesehatan yang dialokasikan dari APBN 2020 (Cnnindonesia.com, 14/05/20).
Meskipun pemerintah telah menyuntikkan dana bantuan dan membebankan iuran kepada rakyat kenyataannya BPJS Kesehatan masih belum mampu menutup defisit anggarannya. Bahkan sejumlah pihak meminta pemerintah meninjau kembali keputusan menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Seperti pernyataan dari wakil ketua KPK, Nurul Ghufron. Bahwa akar masalah dari defisit BPJS Kesehatan dalam kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2019, adalah tata kelola yang cenderung in-efisien dan tidak tepat. Jadi dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah ekonomi yang menurun malah akan membebani masyarakat dan menurunkan tingkat kepesertaan seluruh rakyat dalam BPJS (Detik.com, 15/5/20).
Kebijakan kenaikan iuran BPJS kesehatan memang selalu menimbulkan protes dari semua kalangan. Baik dari kalangan politisi, pemerintah daerah maupun rakyat biasa. Apalagi di masa pandemi di mana rakyat terkena imbas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebijakan ini nyata menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Tidak mengherankan memang jika kebijakan yang berasal dari sistem kapitalis selamanya tidak akan berpihak kepada kepentingan rakyat. Sistem yang hanya memperhatikan untung para pemodal tentu tak mengapa jika mengorbankan rakyatnya. Tidak peduli rakyat kerja mati-matian memenuhi kebutuhan, asal tetap aman kepentingan para kapital.
Meski keberadaan Jaminan Kesehatan dalam BPJS disosialisasikan sebagai sebuah bentuk layanan kesehatan dari pemerintah, namun pada faktanya rakyat harus membayar tiap bulan. Sehingga program BPJS kesehatan ini bisa dikatakan sebagai bentuk kebohongan pemerintah kepadar akyatnya. Sebab dalam BPJS pelayanannya berbasis asuransi, di mana rakyat dipungut biaya sesuai penggolongan kelasnya. Dengan sistem gotong royong, sakit ataupun tidak iuran harus tetap dibayarkan.
Iuran BPJS Kesehatan juga dikategorikan sebagai bentuk pengambilan harta rakyat secara paksa (bukan atas dasar kerelaan). Yang dapat dianggap sebagai pengambilan harta di antara sesama manusia secara batil. Hal itu benar-banar dilarang oleh Allah SWT, melalui firman-Nya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perniagaan atas dasar suka sama suka (salingrela) di antara kalian.(QS an-Nisa’ [4]: 29).
Kebijakan dalam Islam
Berbeda dengan kapitalis, di dalam Islam negara mempunyai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam seluruh urusan rakyatnya, termasuk dalam urusan kesehatan. Penguasa atau Kepala Negara Islam memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atasr akyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Penguasa bertanggung jawab memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat antara lain keamanan, kesehatan dan pendidikan. Rasulullah saw, bersabda; “Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok atau dasar sebagaimana makanan, yang harus di penuhi oleh negara.
Seperti kisah Umar bin Al-Khattab ra. saat beliau menjadi khalifah. Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata: “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itumenyuruha ku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR al-Hakim, Al-Mustadrak, IV/7464). Hadist ini menunjukkan, bahwaK halifah Umar selaku kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah ad-DustĂ»r, 2/143).
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan negara memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali secara cuma-cuma tanpa dipungut biaya. Tentunya negara harus mengalokasikan anggaran negara secara khusus untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kehadiran pemimpin yang adil dan amanahlah yang dibutuhkan. Yaitu pemimpin yang peduli dengan kebutuhan rakyatnya bukan pemimpin yang kebijakannya justru membuat rakyat semakin sengsara. Pemimpin yang tepat tidak akan pernah lahir dari sistem yang salah seperti sistem sekular kapitalis. Tapi lahir dari sistem warisan nabi dan khulafaurrasyidin. yang di dalamnya Allah akan turunkan rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam.
Sumber Foto : Bisnis.com