Oleh. Lesa Mirzani, S.Pd
#MuslimahTimes — Bulan syawal telah datang suka cita umat Islam di seluruh dunia menantikan bulan kemenangan yang fitri ini merupakan momen yang istimewa setelah sebulan lamanya menjalankan serangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Kemenangan yang fitri tetap dirasakan walaupun agak berbeda dari lebaran tahun sebelumnya karena adanya wabah Covid-19. Di Indonesia sebagian masyarakat yang berada di zona merah harus rela bersilaturahmi lewat online karena pemerintah melarang mudik yang menjadi tradisi saat lebaran bagi para perantau di kota–kota besar. Setelah hampir 3 bulan lebih masyarakat Indonesia mengalami wabah Covid-19 pemerintah memberlakukan aturan–aturan guna menangani wabah ini salah satunya adalah pelarangan mudik yang belum terlalu membuahkan hasil walaupun sudah diberlakukan, salah satu penyebabnya adalah pemerintah tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup para perantau sehingga sebagian dari mereka melanggar aturan tersebut.
Sebelumnya pemerintah berupaya untuk menangani wabah Covid-19 dengan berbagai cara seperti himbauan untuk memakai masker dan pembatasan sosial akan tetapi upaya tersebut tidak berjalan lancar karena dari awal pemerintah tidak bisa serius dalam penanganannya diantaranya yaitu masih membuka jasa penerbangan sehingga wabah Covid-19 ini dengan mudah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Indonesia ditambah tidak ada pemberlakuan lockdown di wilayah awal yang terkena wabah Covid-19 ini serta bantuan sosial yang tidak merata terhadap masyarakat yang terdampak Covid-19. Sehingga penderitaan masyarakat semakin bertambah. Dari awal pemerintah mengambil kebijakan yang tidak konsisten. Selalu berubah–ubah membingungkan masyarakat. Setelah kebijakan–kebijakan telah dilakukan untuk melawan penyebaran Covid-19 tidak membuahkan hasil yang maksimal, pemerintah akhirnya menghimbau untukber damai dengan wabah ini karena sampai sekarang vaksinnya belum ditemukan dan penyebarannya akan tetap ada.
Tidak hanya himbauan untuk berdamai saja, Presiden Jokowi juga berpesan di saat hari Raya Idul Fitri ini kepada seluruh masyarkat Indonesia untuk tetap berikhtiar dan yakin bahwa kita mampu melewati ujian berat ini karena kita sudah melakukan pengorbanan untuk tidak mudik dan bersilaturahmi seperti biasa. Karena itu sebagai salah satu cara kita bersama untuk melewati ujian berat ini (kumparannews, 23/05/20).
Dari pesan Presiden Jokowi tersebut dapat diartikan bahwa modal keluar dari wabah ini adalah tawakal, takwa dan mendapat ridha Allah S.W.T. Tapi apakah selama ini kebijakan–kebijakan yang mereka ambil dalam menangani wabah ini sesuai dengan syariah? Atau masih menggunakan hukum–hukum buatan manusia kapitalis dan demokrasi yang masih menjadi rujukan dalam mengelola bangsa ini? Upaya takwa yang diharapkan tentu adalah takwa yang sebenarnya. Demikian sebagaimana yang juga Allah S.W.T tuntut atas diri kita ”Hai orang–orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengant akwa yang sebenarnya, dan jangan sekali–kali mati melainkan dalam keadaan muslim” (TQS Ali Imran {3}:102).
Kata takwa berasal dari kata waqa yang artinya melindungi. Kata tersebut kemudian digunakan untuk menunjuk pada sikap dan tindakan untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah S.W.T. Caranya tentu dengan menjalankan semua perintah Allah S.W.T dan menjauhi semua larangannya. Dengan demikian takwa harus total diwujudkan dalam segala aspek kehidupan. Takwa juga bukan hanya harus ada pada tataran individual saja. Takwapun harus ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bahkan dalam hubungan luar negeri. Iman dan takwa merupakan kunci keunggulan masyarakat Islam. Seperti halnya Rasulullah saw yang telah berhasil medirikan negara Islam di Madinah, ketakwaan hakiki benar-benar terwujud. Rasulullah saw dan para sahabat ra mampu mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat Islam yang unggul. Setelah itu di bawah naungan khilafah Islam yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Al-Fatih mampu menguasai dua pertiga dunia. Khalifah saat itu sekaligus menjadi negara adidaya yang unggul di berbagai bidang selama berabad–abad lamanya.
Berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini terutama setelah keruntuhan Khilafah Islam pada 1924. Dibawah reruntuhan Khilafah, kafir penjajah berhasil memecah belah kaum Muslim menjadi lebih dari 50 Negara bangsa. Mereka dijajah secara ideologis dan sistemik. Sebagian Negara bangsa tersebut menerapkan sistem kufur kerajaan. Sebagian lainnya menerapkan sistem kufur demokrasi. Semua rezimnya ada yang menjadi antek adi daya kapitalis dan ada yang menjadi antek adi daya komunis. Di negara–negara mayoritas berpenduduk kafir, kaum muslim terus ditindas secara fisik seperti kaum muslim di Kashmir yang disiksa kaum Hindu India. Kaum Muslim Uighur ditindas habis–habisan oleh komunis Cina. Kaum Muslim Rohingya oleh kaum Budha Myanmar bahkan kaum Muslim lainnya bernasib serupa di berbagai belahan dunia. Bahkan di Timur Tengah, minoritas Yahudi Israel di tengah–tengah mayoritas kaum muslim yang tersekat dalam banyak negara bangsa sangat leluasa menjajah muslim Palestina.
Itu semua menunjukkan peradaban Kapitalisme Barat yang menjadi adidaya saat ini, juga peradaban Komunisme Cina yang “malu–malu” telah gagal mengayomi warga dunia, terutama kaum Muslim. Sebaliknya, nasionalisme terbukti ampuh melemahkan 1,5 miliar kaum Muslim di seluruh dunia. Kenyataan itu menjadi ujian ketakwaan kita kepada Allah S.W.T dan yang harus kita lakukan adalah dengan membuktikan ketakwaan kita yaitu dengan berjuang bersama mengembalikan Islam sebagai solusi kehidupan. Islamlah yang akan menyelesaikan kehidupan individu, masyarakat, negara dan dunia. Inilah yang ditujukan Rasulullah saw, khulafaur Rasyidin pada masa lalu dan para khilafah sesudahnya.