Oleh: Kholda Najiyah
(Pemimpin Redaksi Muslimah Times)
MuslimahTimes– Senyum ceria gadis 8 tahun itu tak lagi ada. Ruhnya sudah kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Menyisakan jasad membiru, bekas aniaya. Selepas maghrib, 26 Agustus lalu, ibu kandungnya IS (27) dan sang ayah LH (26) menghantarkan putrinya ke pemakaman secara diam-diam. Tanpa pemulasaran jenazah, yakni dimandikan dan dikafani. Malah berpakaian lengkap. Sungguh merana nasib pelajar SD yang tak berdosa ini.
Entah setan apa yang merasuki IS. Pagi itu, tubuh mungil sang anak jadi sasaran amuk. Alasannya, karena anak sulit diajari saat belajar daring. Entah, ini kasus keberapa belas atau berapa puluh, seorang ibu tega menghabisi nyawa anaknya. Entah sengaja atau tidak, nyatanya anak yang seharusnya dilindungi malah disakiti.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sepasang suami istri itu kini meringkuk di balik jeruji besi. Meninggalkan sepasang anak kembar yang masih menjadi tanggungjawabnya. Entah bagaimana pula kelanjutan nasib pengasuhan keduanya.
Kasus ini menjadi sorotan semua pihak, mengingat ibu membunuh anak bukanlah kejadian langka. Kian hari, kian banyak kejadian yang sama. Mirisnya, kali ini terjadi di tengah pandemi ketika anak didik belajar online, di mana sistem ini cukup membebani kaum ibu rumah tangga.
Ya, ibulah yang paling banyak bertanggungjawab atas proses pendidikan anak-anak di rumah. Ibulah yang paling stres. Pertama, karena para suami sudah memiliki beban tanggungjawab mencari nafkah, sehingga otomatis ibulah yang mendampingi anak. Kedua, keseharian anak-anak lebih banyak bersama ibunya. Ketiga, ibu adalah pihak yang paling serius memikirkan masa depan anak-anaknya sampai detail, dibanding para ayah yang mungkin lebih fokus berkonsentrasi memikirkan biaya anak-anak.
Akibatnya, tak sedikit kaum ibu yang semakin stres. Tanpa ada sekolah daring saja, sudah stres. Apalagi sekolah daring. Ibu yang seharusnya menjadi tempat berlindung anak, berubah menjadi monster yang mengerikan. Tekanan jiwa menyebabkan lepas kendali, saat berinteraksi dengan polah tingkah anak-anak yang tentu saja tak selalu sesuai harapan orang dewasa.
Bisa dipastikan, ibu yang tega menyakiti anaknya adalah ibu yang sakit mental. Ibu stres dengan segala pemicunya. Motif karena sulit diajari saat belajar daring, hanyalah pemicu sekunder. Pasti ada penyebab primernya.
Melihat kenyataan pelaku memiliki anak kembar, boleh jadi ibu ini stres karena kelelahan dalam pengasuhan dan pengurusan rumah tangga. Sementara ia tidak dibantu pengasuh, juga kurang kerjasama dengan suami dalam pengasuhan. Jadi beban pengasuhan ia pikul sendiri.
Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian ibu. Ada tipe individu yang mudah terpicu amarah jika berada dalam kondisi tertekan. Emosionalnya meledak. Misal karena tertekan oleh standar yang tinggi dalam proses belajar mengajar sang anak. Atau tekanan hidup berupa himpitan ekonomi.
Stres pada seorang istri, juga bisa dipicu oleh problem interaksinya dengan suami. Kurangnya komunikasi, kekecewaan yang terpendam hingga tidak tercukupinya nafkah lahir dan batin bisa menjadi pemicu. Akhirnya, anak-anak jadi sasaran emosional. Karena itu, harus diperiksa latar belakang masalahnya dengan seksama.
Tentu saja, peristiwa ini juga terjadi karena jauhnya individu ibu dari Allah Swt. Seharusnya ketika emosi sudah memuncak, ia segera istighfar dan berwudhu. Ingat untuk meminta pertolongan Allah Swt. agar diredakan emosinya. Ingat kembali bahwa anak adalah amanah. Ingat kembali bahwa problem rumah tangga adalah ujian. Namun, memang begitulah setan bekerja. Mereka yang imannya bagus pun, terkadang bisa juga lepas kendali jika stres sudah menguasai.
Sementara itu, ada support sistem yang diharapkan mampu mencegah kasus-kasus seperti ini agar tidak terjadi. Pertama, negara yang mampu mewujudkan suasana keimanan sehingga para orang tua memiliki tanggungjawab yang baik terhadap tugas dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak-anak. Tanpa dibayang-bayangi sres, tapi tawakal.
Kedua, negara yang mampu menjamin keluarga-keluarga hidup sejahtera, sehingga tidak ada istri-istri yang mengalami kecemasan finansial. Negara yang menjamin para suami mampu menafkahi keluarganya dengan layak. Juga, menyadarkan para suami agar mampu memperlakukan istri dengan cara yang makruf. Mampu menentramkan dan membahagiakan para keluarga hingga terwujud ketahanan keluarga.
Ketiga, negara yang menciptakan sistem yang mudah dan menyenangkan, utamanya dalam sistem pendidikan. Sehingga beban kurikulum tidak membebani anak didik. Apalagi kurikulum di era pandemi, harus disesuaikan dengan proses belajar yang tidak lagi ideal.
Keempat, negara yang tidak membiarkan propaganda gaya hidup mewah yang menyebabkan kaum ibu merasa insecure jika tidak mampu meraihnya. Kita tahu, banyak istri stres karena tergerus gaya hidup mewah ala liberalisme. Banyak istri tidak bersyukur dan bahkan kufur terhadap suaminya karena merasa kebutuhannya tak sesuai harapan. Stres dan menanggung kecewa karena secara materi tidak mampu memenuhi tuntunan belanjanya.
Kelima, negara menciptakan sistem kesehatan yang baik, termasuk memberi perhatian yang besar terhadap bidang kesehatan mental. Selama ini, baru kesehatan fisik saja yang menjadi perhatian, sementara kesehatan mental belum begitu dipahami masyarakat. Edukasi massal, termasuk pemeriksaan kesehatan mental harus terus diperluas. Rakyat yang terindikasi sakit mental, harus segera diberikan terapi yang murah dan mudah.
Sistem yang tepat dan sahih untuk mewujudkan itu semua hanyalah sistem Islam. Sebab hanya Islamlah yang memperhatikan kebutuhan fitrah manusia akan ketenangan, ketentaraam dan kasih sayang melalui syariahnya yang sempurna dan paripurna.
Jika seluruh elemen di atas diwujudkan, semoga kasus ibu membunuh anak ini adalah terakhir kalinya. Jangan lagi ada tanah basah tempat bersemayamnya anak-anak tak berdosa akibat kejahiliyahan manusia yang meninggalkan aturan Sang Pencipta.(*)