Oleh: Asri Supatmiati
(Founder Revowriter)
MuslimahTimes– Lenyapnya ilmu adalah ketika buku tidak dibaca dan berhenti dicetak ulang. Bisa karena tidak laku, dilarang, atau bahkan sengaja dimusnahkan. Tetapi, faktor terbesar adalah hilangnya minat baca. Maka, giatnya gerakan literasi belakangan ini, patut diapresiasi.
Termasuk, ketika ada kalangan muda yang memperbanyak khasanah buku dengan berbagai sudut pandang. Selama isi buku tersebut sejalan dengan nafas Islam, agama yang kita yakini, patut disyukuri. Meskipun, “nafas Islam” itu sendiri multitafsir tergantung subjektivitas penulis atau pembaca. Tetapi, selama tidak ditemukan penyimpangan aqidah, buku semacam ini tidak patut dipersekusi.
Buku Muhammad Al-Fatih 1453 hanyalah salah satu buku yang memperkaya kisah heroik sang penakluk yang sangat terkenal itu. Buku bertema sejenis sebelumnya sudah marak di pasaran. Dalam tradisi literasi, hal itu lazim dilakukan para ulama. Mereka mensyarah, yakni mengomentari atau menginterpretasikan atau menulis ulang, apa yang sudah ditulis para pendahulunya. Salah satu tujuannya, untuk memudahkan pembaca di eranya.
Sebagai penggiat dakwah di kalangan milenial, Felix Siauw mencoba mentransformasikan kisah heroik Muhammad Al-Fatih dengan bahasa yang bisa diterima kalangan milenial. Hasilnya, buku itu mampu membangkitkan spirit Al-Fatih di tengah-tengah bermekarannya semangat hijrah kaum milenial. Mereka yang buta dengan sejarah keagungan Islam, akhirnya punya kebanggaan terhadap salah satu tokoh besar tersebut.
Tidak salah jika Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Bangka Belitung (Babel) menjadikan buku tersebut salah satu referensi bahan ajar dalam kegiatan literasi. Menggenjot semangat membaca kaum milenial, sekaligus mengambil spirit perjuangan Muhammad Al-Fatih yang mungkin masih asing di telinga mereka.
Sayangnya, kegiatan itu dianulir, hanya karena sosok penulisnya yang dianggap kontroversial. Ini sebuah kemunduran. Bahkan bisa dibilang kekalahan intelektual. Sebab, saya yakin, mereka yang antipati itu belum pernah khatam membaca buku tersebut. Kalau memang ksatria, silakan duduk bersama mengkaji dulu dengan seksama muatan buku tersebut.
Buku-buku lain yang bertutur tentang kisah Muhammad Al-Fatih sangat banyak. Selama ini bebas-bebas saja beredar. Sehingga, sulit melepaskan kaitan antara persekusi buku tersebut dengan faktor kebencian pada penulisnya, Felix Siauw. Terlebih, orang-orang yang mempersekusi ini adalah kelompok yang sama dengan yang selama ini menjegal dakwah sang ustaz. Sebut saja kaum Felixfobia.
Kebencian pada Felix Siauw, juga karena alergi mereka terhadap HTI, organisasi yang diidentikkan dengan sang ustaz. Inilah pangkal kedengkian itu. Setelah dakwahnya di dunia nyata dijegal, kali ini bukunya. Besok-besok entah apalagi. Sepertinya segala hal berbau Felix Siauw akan terus mereka jadikan bahan bakar untuk membuat kegaduhan.
Sentimen Felixfobia ini pun, kental kaitannya dengan sikap antipati mereka terhadap ajaran khilafah alias Khilafahfobia. Ciri-cirinya, tidak menerima gagasan khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Padahal, bab khilafah mahsyur di kalangan ulama ahlu hikmah, karena merupakan bagian siyasah Islam. Kitab-kitab tentang ini banyak. MUI pun tak pernah mengeluarkan fatwa bahwa khilafah adalah ajaran sesat. Jadi, jika yang dipersoalkan penggiringan isu khilafah, juga tidak tepat.
Muhammad Al-Fatih sendiri adalah seorang Khalifah yang memimpin sistem Khilafah. Sebuah sistem yang membentuk peradaban Islam di zaman keemasan yang diakui sejarah dunia. Sulit jika mendudukkan Al-Fatih sekadar sebagai pahlawan Islam tanpa mengkaitkannya dengan khilafah. Jadi, jelaslah. Siapapun bisa menilai bahwa ada semangat Felixfobia, Khilafahfobia dan ujungnya Islamofobia atas kegaduhan ini.
Bogor, 7 Oktober 2020