
Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes.com– Notifikasi WA tiba-tiba nyala dan memunculkan sebuah pesan,”Bu … Afwan, belum bisa bayar utangnya. Mau mampir kok malu sebab bulan ini belum bisa bayar. Ini malah mau nyari tambahan buat nyambung hidup, kalau bisa saya pinjam lagi”. Seketika hati terasa seperti teriris, saudara seakidahku kesulitan keuangan.
Beberapa hari yang lalu, ada teman yang bercerita kalau di perumahanku ada koperasi simpan pinjam baru. Banyak ibu-ibu yang meminjam ke sana, bahkan katanya bisa sekalian didaftarkan sebagai penerima BLT. Entah nyambungnya dimana, namun sebagai pengurus simpan pinjam RT, aku merasa sedih.
Memang aku sudah berhasil menghilangkan riba atau yang biasa disebut dengan istilah Sisa Hasil Usaha (SHU) dari simpan pinjam RT ini. Namun nominalnya masih terbilang kecil. Sebab modal hanya berasal dari anggota dan jika mereka pinjam tidak ada tambahan dana alias bunga sepeserpun.
Artinya murni besaran modal hanya mengandalkan tabungan anggota. Jika mereka rajin menabung dan jumlahnya setiap kali menabung di atas jumlah yang ditentukan aturan dasar maka modal otomatis akan banyak, sebaliknya jika mereka menabung di bawah nilai nominal yang ditentukan, modalpun ikut sedikit.
Perjuangan ini terasa makin berat tatkala dihadapkan pada sistem yang sedang berlangsung di negeri ini. Kenyataannya ibu-ibu di perumahanku masih mau mendaftar sebagai anggota koperasi simpan pinjam yang baru itu membuktikan bahwa betapa kuatnya pergolakan antara yang haq dan yang batil.
Alasan mereka adalah “terpaksa”. Lisan mereka berucap saya Muslim namun amal mereka menyamai orang kafir yang tak peduli pada dosa riba. Lisan mereka mengatakan saya hanya menyembah Allah yang satu namun amal mereka menata tuhan yang lain dalam manajemen keluarga. Bayangkan, sepeda riba, mobil riba, BPJS riba, asuransi riba, panci riba, rumah riba dan lain sebagainya.
Jadi penasaran, bagaimana dalam pandangan Islam tentang kata “terpaksa” di atas? Ikraah (paksaan) menurut bahasa berarti ‘membawa manusia kepada urusan yang tidak diinginkannya secara wajar atau syara.” Orang yang dipaksa dinamakan mukrah.
Allah Taala berfirman: “Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa.” (QS al-An’am: 119)
Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh dianggap darurat kalau dia berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu yang dapat mengatasi keterpaksaannya itu. Misalnya kasus seseorang kesulitan mendapatkan makanan. Maka tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu masih ada orang, Muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu.
Sebab prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggung jawab dan saling membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.
Pandemi memang membuat semua pihak terpuruk. Tak hanya penguasa, pemimpin, terlebih rakyat biasa yang paling merasakan imbasnya. Dari yang tadinya bisa makan sehari tiga kali, kini bahkan ada keluarga yang untuk makan sehari sekali saja susah. Terlebih dengan gelombang PHK yang datang bertubi-tubi, memunculkan pengangguran baru.
Ketika para kepala keluarga yang sudah diPHK mencoba banting setir dengan usaha yang lain, susahnya bak unta masuk lubang jarum. Selain lapangan pekerjaannya susah, usia dan ketrampilan yang dimiliki juga menjadi persoalan. Yang terpenting lagi, kaum Muslim sudah kehilangan daya juang. Mereka tak tergambar bahwa harapan itu masih ada, yaitu Allah Swt.
Kehidupan sekuler telah terlanjur merebut kepercayaan mereka kepada Sang Pemberi Rezeki yang sesungguhnya. Sehingga begitu mudah mengatakan “terpaksa”. Sementara mereka belum mengetuk pintu langit . Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah: 275 yang artinya:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Jadi patutkah kata “terpaksa” yang diartikan tidak ada jalan lain cocok disebutkan jika firman Allah di ayat di atas berbeda? Allah memberi pilihan dan pilihan Allah membuka kreatifitas kaum Muslim. Nyatanya pemahaman kaum Muslim mandeg hanya pada fakta yang terpampang di depan matanya saja. Dan yang lebih menyedihkan sekularisme telah menumbuhkan sikap individualisme. Masing-masing individu hanya berkutat pada persoalannya sendiri sehingga abai terhadap persoalan saudaranya.
Dan tak berusaha sama sekali melihat ke belakang bagaimana nenek moyang kaum Muslim sendiri ketika memperjuangkan kehidupannya. Antara iktiar di siang hari dan taqarub di malam hari berlomba susul menyusul. Mereka tak hanya paham bahwa mereka Muslim namun juga dengan kesadaran penuh meyakini bahwa mereka hanya mulia jika diatur dengan Islam. Itulah sebabnya mengapa Islam disebut akidah dan peraturan. Politik adalah sesuatu yang paling dibahas , sebab dengan paham politik Islam seluruh urusan umat akan terpenuhi.
Seandainya kaum Muslim mau sedikit saja meletakkan kearogansiannya dan berhenti mempercayai “keterpaksaan” yang telah mereka ciptakan sendiri, sudah pasti saat ini sudah saling bergandengan tangan di jalan perjuangan mengenyahkan sistem yang sama sekali tak berpihak kepada kaum Muslim. Wallahu a’ lam bish showab.