
Oleh: Pipit Agustin
(Koordinator JEJAK)
#MuslimahTimes — Kematian adalah musibah. Tetapi, musibah yang terbesar adalah matinya nurani. Berita tragedi gugurnya enam anggota laskar Front Pembela Islam meramaikan media. Tak hanya media lokal, media asing pun ramai-ramai menyorot tragedi yang terindikasi sebagai extrajudicial killing (pembunuhan di luar proses hukum) ini. Persoalannya, tragedi semacam ini mengoyak nurani dan mengganggu logika publik.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras tindakan Anggota Kepolisian Republik Indonesia yang mengakibatkan kematian terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pada Senin, 7 Desember 2020.
“Peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran prinsip fair trial atau peradilan yang jujur dan adil,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Desember 2020 (Tempo.co 8/12/2020).
KontraS menyebutkan bahwa, “Besarnya jumlah korban tewas dalam operasi Kepolisian di atas menunjukkan masih banyak anggota Kepolisian yang tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009 tersebut maupun Pasal 48 Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur akuntabilitas dan prosedur penggunaan senjata api oleh anggota Kepolisian. Lebih jauh, adanya kesewenang-wenangan terhadap penggunaan senjata oleh anggota Kepolisian pada akhirnya telah mengabaikan hak warga masyarakat atas persamaan di hadapan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena faktanya, penembakan dilakukan terhadap mereka yang belum tentu terbukti bersalah.”
Pakar Hukum dan Guru Besar Universitas Negeri Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum turut menanggapi tragedi tersebut.
“Terbunuhnya enam anggota laskar FPI pada tujuh Desember lalu, merupakan tindakan diskriminatif yang menujukkan lumpuhnya hukum. Inikah indikator bahwa proyek Industri Hukum yang tengah berlangsung?,” tuturnya dalam acara webinar KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang bertajuk Pelanggaran HAM dan Demokrasi di Era Reformasi, Kamis (10/20/2020) secara daring di Zoom. (Tintasiyasi.com/11/12/2020)
Luapan kekecewaan pada pihak kepolisian ini patut dicermati sebab kepolisian telah ‘bermetamorfosis’ peran dalam dunia politik belakangan ini. Ada yang menyebut, mirip era Orla, Polisi sebagai fungsi keamanan dan instrumen politik atau dwi fungsi polri.
Kekhawatiran kita adalah jika peraturan hukum cenderung dipakai untuk melegitimasi dan mempertahankan status quo, bukan sebagai sarana untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan sosial, maka keamanan dan keadilan akan menjadi barang langka dan very expensive di negara hukum ini.
Instrumen politik ini jelas dimanfaatkan dengan maksimal untuk menghidupkan rezim represif dan justru dengan itu membunuh demokrasi karena menjurus pada otoritokrasi. Diperparah terutama menyasar kepada pihak oposisi dan yang kritis terhadap pemerintah, termasuk dari kelompok yang mengusung politik Islam melalui tegaknya khilafah.
Kondisi ini menyeret Indonesia pada upaya yang mereduksi Hak Asasi Manusia (HAM), mengabaikan aspirasi yang konon demokratis, dan bukan tidak mungkin memicu perlawanan sipil akibat negara tampak kian represif terhadap Islam.
Bukankah, mereka yang dituding ekstremis dan radikal tidak pernah terbukti melanggar hukum negara, kecuali hanya menyuarakan Islam sebagai solusi alternatif? Namun faktanya, mereka ini justru mendapat perlakuan represif dan diskriminatif dalam hukum dan sosial kemasyarakatan. Mulai dari ASN, akademisi, guru, hingga karyawan BUMN dan BUMS harus bertaruh karir lantaran ‘warning’ dari atasan mereka soal aktivitas politik yang mereka lakukan.
Rezim selalu menganggap bahwa kelompok Islamis sebagai ancaman dan pemecah belah persatuan lantaran mendukung syariat Islam dalam negara. Anggapan semacam ini tak lain hanyalah prasangka buruk yang membabi-buta. Nyanyian Islamofobik ini yang diorkestrai oleh elit politik justru meracuni prinsip demokrasi itu sendiri, sebagai landasan bernegara yang mereka anut dan yakini.
Seharusnya, penguasa mampu menahan segala prasangka tak beralasan terhadap umat Islam yang mendukung syariat Islam hingga terjadi dialog yang sehat dan intelek. Bukankah, para finding father negeri ini sebagiannya adalah para ulama yang mendukung syariat Islam? Dan bukankah, negeri ini telah mengenal dan menerapkan Islam secara damai melalui berbagai Kesultanan bahkan dimulai jauh sebelum hadirnya NKRI?
Sudah waktunya publik menyadari bahwa prasangka seperti ini tak lain berasal dari mindset sekuler yang menyelimuti atmosfer berpikir penguasa dan meracuni paradigma pengambilan kebijakan sehingga muncul islamofobia di mana-mana. Parahnya, islamofobia terjadi secara hiperbolis, tidak sekadar terhadap aktivitas ibadah ritual umat Islam, tetapi juga simbol-simbol dan ajaran agama Islam. All about Islam. Ini jelas tidak adil bahkan dalam kacamata yang paling demokratis sekalipun.
Fenomena rezim represif tidak bisa dilepaskan dari ketakutan luar biasa terhadap kebangkitan politik Islam dan derasnya wacana Khilafah yang sedang mendapatkan support dari masyarakat. Contohnya adalah kepulangan tokoh sentral FPI yang dianggap sebagai salah satu pengusung Islam politik.
Oleh karena itu, dibutuhkan adanya elemen masyarakat yang terus mengedukasi publik agar menghalau dan melawan narasi islamofobia di tengah-tengah dan di sekeliling mereka, baik melalui stigma maupun label tertentu. Sebab kita mendapati di media sosial misalnya, sebagian warganet justru bersorak atas tragedi keji yang menimpa enam anggota laskar FPI. Mereka inilah orang-orang yang hidup dalam kubangan Islamofobik.
Edukasi adalah penyadaran terbaik, tentunya melalui langkah diskusi-diskusi baik ilmiah maupun yang lainnya. Hadirnya kelompok masyarakat yang terus menghalau mindset islamofobia bertujuan agar tidak terjadi friksi horizontal maupun polarisasi masyarakat. Upaya ini mungkin memerlukan tenaga ekstra karena islamofobia telah mengakar kuat di masyarakat.
Namun, satu hal yang harus diyakini adalah bahwa kemenangan politik Islam dan terwujudnya Khilafah itu akan tiba pada waktunya, tanpa dapat ditunda oleh siapapun. Insyaallah. Kaum muslimin hanya ‘bertugas’ menjadi ‘juru penyampai’, sedangkan perkara hasil, serahkan pada Allah Yang Maha Berencana.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”