
Oleh: Ummu Afif
MuslimahTimes.com – Durhaka. Kata durhaka lebih lazimnya dilekatkan pada anak, bukan ibu. Dimana sang anak melakukan hal yang menyakiti hati ibu. Banyak perilaku buruk yang dilakukan anak terhadap ibunya hingga ia dikatakan sebagai anak durhaka. Salah satu cerita rakyat Indonesia terkenal yang mengisahkan kedurhakaan anak adalah kisah Si malin Kundang. Malin yang tidak mengakui ibu kandungnya sendiri, bahkan menghardik dan mengusirnya akhirnya menjadi batu setelah dikutuk sang ibu. Meski hanya cerita, kita bisa ambil pelajaran untuk menghindari perilaku buruk terhadap orang tua kita, khususnya ibu.
Namun, ternyata orang tua pun bisa berlaku durhaka kepada anak-anaknya. Orang tua yang abai dalam mendidik anak-anaknya, melalaikan kewajiban dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan mereka, bahkan melakukan kekerasan hingga sampai mengakibatkan kematian. Sering kita temui kisah orang tua yang membunuh anaknya karena himpitan ekonomi atau karena kurangnya ilmu dalam mendidik anak.
Seorang ibu pun juga bisa durhaka terhadap anaknya. Betapa miris kita lihat di masa sekarang. Ada ibu yang tega membuang bayinya karena malu atau takut ketahuan telah berzina. Padahal ketika melakukan perzinaan lupa ada aturan agama yang melarang. Ada pula ibu yang menyiksa anaknya karena sulit diajari ketika belajar. Ada pula ibu yang memanfaatkan anaknya untuk mendapatkan uang dengan meminta belas kasihan pada orang-orang. Ada pula ibu yang tega membunuh anaknya karena permasalahan ekonomi atau cekcok dengan suaminya. Begitulah, kedurhakaan ibu pada anaknya.
Bukan hanya melakukan kekerasan fisik, tetapi abai dalam memberi perhatian juga bentuk kedurhakaan. Apalagi di jaman serba gadget sekerang ini bisa membuat ibu lebih perhatian pada ponselnya ketimbang anak-anaknya. Ibu lebih asyik berselancar di dunia maya mencari kesenangan yang tak berfaedah sehingga anak dibiarkan tanpa pengawasan. Atau ibu yang sibuk dengan dunianya sendiri hingga lupa ada anak yang harus ia didik dengan baik. Terutama dengan kewajiban mendidik anak sesuai aturan agama.
Efek kedurhakaan ibu kepada anaknya sama dengan senjata makan tuan. Kalau seorang ibu abai dengan pendidikan anak-anaknya, maka para ibu akan menuai generasi preman, generasi yang yang mencelakakan orang tuanya, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Sungguh teramat tidak adil, tidak bijak, dan tidak arif jika kita berharap anak kita menjadi anak yang sholih, sementara ibunya tak memberikan tuntunan tindak kesalihan..
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [at Tahrim : 6].
Dalil tersebut jelas menunjukkan perintah Allah untuk menjaga anak-anak agar terhindar dari kejahatan dan keburukan. Maka para orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan tuntunan agama.
Menjadi ibu jelas membutuhkan ilmu. Amanah ibu adalah amat besar. Bila ibu salah mendidik bisa mengakibatkan generasi yang bermasalah. Bahkan, ibu bisa menjadi “SUMBER MASALAH” itu sendiri. Ibu yang tak gemar mengecap ilmu yang di hamparkan Allah dalam kitab dan perkataan utusanNya, akan menggelincirkan ibu pada kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Mendidik anak tak hanya memenuhinya secara materi, tetapi juga jiwanya. Boleh jadi tubuh anak- anak kita tumbuh subur, akan tetapi jiwanya kering, tandus kurang terurus.
Semua ibu ingin anak-anaknya menjadi jauh lebih baik darinya. Itu yang mendorong ibu untuk berjuang untuk memfasilitasi kebutuhan anaknya. Perasaan sudah “memeras keringat” inilah yang seringkali membuat seorang ibu tergelincir pada sikap senantiasa menuntut dalam berbagai hal. Menuntut agar juara kelas, berprestasi akademik, berperilaku baik, patuh dan lain sebagainya karena merasa telah mencukupi segala kebutuhan sang anak. Peran ibu tereduksi hanya sebagai penyedia nahkah yang berbentuk fisik semata.
Jangan sampai menjadi ibu yang dipandang hebat di mata masyarakat dengan gelar dan profesi mentereng, yang begitu sibuk mengurus pekerjaannya, namun abai dalam memberikan pendidikan agama pada anaknya. Lupa bahwa anak tak hanya dipenuhi secara fisik, tetapi juga diperhatikan mentalnya, diberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup dan dididik menurut agama. Bila tidak, maka anak akan tertekan, mencari perhatian dengan membuat masalah. Jangan salahkan anak bila melakukan berbagai macam tindak kenakalan, bahkan kriminal.
Jika rentetan permasalahan kita runut hingga era sekarang, maka tidak heran jika kita mendapati kenakalan dan kebrutalan remaja menjadi kian parah. Banyak remaja yang berhati kasar, menyakiti ibu bahkan ada juga yang memperkosa dan memutilasi ibunya. Inilah akibat dari ketiadaan ilmu yang cukup dalam mendidik anak sesuai perintah agama. Lebih jauh lagi, ini jelas terkait dengan sistem kehidupan yang sekarang dijalankan.
Sistem yang ada sekarang menjauhkan aturan agama dari kehidupan. Agama hanya menjadi urusan individu dan bersifat ritual. Sistem kapitalisme yang mementingkan materi, membuat pendidikan kering dari siraman ilmu agama. Manusia yang terbentuk dalam sistem ini adalah manusia yang materialistis, liberal, jauh dari tuntunan Islam.
Padahal Islam memiliki tuntunan terbaik dalam mendidik anak. Rasulullah Muhammad SAW adalah teladan terbaik bagi para orang tua. Karena itu, wajib bagi kita memegang inspirasi mulia dari sang nabi: IBDA’BI NAFSIK, YAKNI MEMULAI SEMUA KEBAIKAN DIRI KITA.
Jika kita menghendaki anak-anak bisa berperilaku sholih, maka cara yang jitu adalah ibunya memberi keteladanan dalam berperilaku sholih. Jika kita kehendaki anak- anak mencintai Alqur’an, maka ibunya mencontohkan dan mengajarkan untuk selalu dekat dengan Al-Qur’an. Pun demikian, jika kita menghendaki anak-anak mencintai ilmu, maka ibu harus menunjukkan kegemaran mencari ilmu, mendatangi sumber- sumber ilmu.
Pendek kata, “KETELADANAN” menjadi hal yang utama. Seorang ibu harus bisa memberikan tuntunan bukan hanya sekadar memerintah atau menuntut. Ibu juga harus taat pada Sang Rabb, sehingga anak-anaknya akan mengikutinya dengan patuh pula. Dengan menyempurnakan hubungan dengan Allah, maka niscaya ibu bisa menyempurnakan hubungan dirinya dengan anak- anaknya.
Wallahu a’lam bis shawab.