Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes– Rezeki berasal dari Allah, saya yakin itu. Mau bagaimanapun mengusahakannya, tetap kita tidak bisa menunda, memulai bahkan mengakhiri jika memang sesuatu itu sudah ditetapkan Allah Swt menjadi rezeki kita.
Sebagaimana hidup itu mengharuskan kita memilih dan bukan dipilih, rezeki akan selalu mengikuti apapun pilihan kita. Sejak saya berusaha konsentrasi pada dunia menulis, Allah tak hanya berikan kemudahan menulis namun juga pintu-pintu jariyah agar ilmu yang saya miliki bermanfaat bagi yang lain.
Salah satunya adalah menjadi pemateri dengan ilmu kepenulisan tak seberapa, hanya bermodal kesungguhan untuk menciptakan habits menulis, ternyata Allah menjadikan ini bagian dari rezeki saya dan rezeki orang lain untuk saling berbagi. Indahnya skenario Allah.
Dan memang menulis adalah pilihan, salah satu pertanyaan yang muncul dari materi kepenulisan yang saya sampaikan semalam,” Apakah seseorang sudah dilahirkan hanya ekspert di satu genre menulis?” Tentu jawabnya adalah tidak, sebab menulis bukan bakat namun karunia Allah yang butuh terus diasah.
Maka genre apa yang hendak dikuasai, opinikah, puisi, fiksi dan lain-lain hanyalah pilihan. Kemudian diikuti dengan komitmen. Sebab menulis apapun artinya adalah amal, yang itu dipertanggungjawabkan kepada Allah di hari penghisaban. Maka bijaklah dalam menulis, sertakan kebenaran bukan hoax apalagi persuasi pada keburukan
Kemudian muncul pertanyaan,” Seberapa penting branding diri dalam menulis?”. Menurut saya itu sangatlah perlu, sebagaimana ketika kita ingin berbicara kepada seseorang untuk tujuan menyampaikan kebenaran. Itu juga dilakukan oleh Mushab bin Umair ketika mengajak Saad bin Muadz mengenal Islam. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau rida dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.
Dan jawabannya adalah masuknya Sa’ad bin Muadz ke dalam Islam. Tidak saja karena hidayah Allah telah menaungi Sa’ad, namun juga karena kejelasan identitas Mushab bin Umair ketika hendak menyampaikan kebenaran. Sejelas-jelasnya kebenaran yang akan kita sampaikan, bahkan itu berasal dari wahyu Allah, namun jika adab dan perilaku kita tak menggambarkan kelayakan sebagai penyampai akan sulit diterima masyarakat.
Kita dimudahkan oleh kemajuan teknologi, kini menyampaikan kebenaran tak harus berjalan sepanjang waktu, berdiri di podium, menjadi pembicara di acara akbar dan lain-lain, namun juga bisa melalui pena dan memanfaatkan media online. Jika kaum kufar merajai dengan menyudutkan Islam seburuk-buruk gambaran mengapa kita yang dijanjikan surga merasa ragu?
Lantas, mengapa masih ada pertanyaan,” Mengapa saya tak kunjung menulis ? Sebab saya melihat banyak kasus plagiat tulisan, copas sana copas sini, saya hanya inginkan tulisan yang saya tulis berbobot, maka kini saya lebih banyak menjadi pengamat”
Darimana kita tahu tulisan kita berbobot atau tidak jika kita tak pernah menuliskannya atau mengirimnya ke media?Sebab pemikiran yang hanya ada dalam benak ia selamanya akan menjadi kitab usang dan lapuk yang tak layak. Tidak ada jalan lain, kecuali kita menulis.
Mengharap dunia menjadi lebih baik tentu akan mustahil jika kita hanya menjadi pengamat, sedangkan negara berdasarkan syariat Allah yang dipimpin oleh Rasulullah sebagai negara Islam pertama saja masih memungkinkan ada orang fasik, atheis, munafik dan pelanggaran lainnya, namun apakah itu artinya boleh kita berhenti menyampaikan kebenaran?
Tentu tidak! Sekali-kali tidak! Sebab kita tidak tahu seberapa dekat pertolongan Allah. Dan kita juga tak tahu berapa lama usia kita , ketika pintu rezeki kita sudah ditutup seiring dengan ruh kita yang diminta kembali oleh Allah, tentu akan merugi jika kita masih berada dibatas pengamat, padahal kita bisa menulis dan menambah pahala kebaikan kita.
Maka, menulis adalah pilihan. Terbukalah pada diri sendiri, terima dan hargai dirimu hingga mampu berkata, “Allah sungguh menyayangiku memberiku kesempatan ini, melalui diriku, jalan dakwah pena, jalan hidayah bagi sesama”. Wallahu a’lam bish showab.