Oleh: Pipit Agustin
(Koordinator JEJAK)
#MuslimahTimes — Cita rasa kuliner rakyat, yakni tahu tempe terusik di awal tahun ini. Keduanya sempat “lenyap” tiga hari dari peredaran, khususnya area Jabodetabek. Kalaupun ada, sudah berganti harga atau ukuran, harga bertambah, ukuran berkurang.
Setelah mengalami kelangkaan pada tanggal 1 hingga 3 Januari lalu, tahu-tempe kembali dijual di pasar. Namun, harganya melonjak sebesar 20 persen dari biasanya.
“Pada tanggal 4 Januari 2021, DKPKP melakukan pemantauan tahu tempe di pasar tradisional dan tahu tempe sudah ada dipasar dengan penyesuaian harga. Kenaikan harga tahu tempe sekitar Rp2.000 atau 20 persen,” kata Plt. Kepala Dinas KPKP, Suharini Eliawati dalam keterangannya, Selasa, 5 Januari. (voi.id/5/1/2021).
Kenaikan ini merupakan fenomena berulang. Pada 2013, kondisinya juga sama langkanya. Kenaikan harga tempe bahkan mencapai 100 persen. Lalu tahun 2014 naik 10-30 persen, tahun 2015 naik 25 persen. Tahun ini, diprediksi naik 25 persen.
Bila dicermati, pangkal persoalannya terletak pada stok bahan bakunya, yaitu kedelai. The Food and Agriculture Organization (FAO) menginformasikan kenaikan harga kedelai pada Desember 2020 sebesar US$ 461 per ton, naik 6% dibanding bulan sebelumnya yang tercatat US$435 per ton. (industri.kontan.co.id, 3/1/2021).
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, kenaikan harga kedelai dunia diakibatkan lonjakan permintaan dari Tiongkok kepada Amerika Serikat (AS) selaku eksportir kedelai terbesar dunia. Kenaikan permintaan dua kali lipat dari biasanya mengakibatkan ekspor AS ke negara lainnya terganggu, termasuk ke Indonesia. (cnbcindonesia.com, 3/1/2021).
Seperti kita ketahui, Indonesia adalah negara pelanggan impor kedelai sejak lama. Status importir kedelai diraih Indonesia tersebab menurut narasi pemerintah, produksi dalam negeri tidak bisa mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Produksi dalam negeri hanya menyuplai 10 persen, sedang 90 persennya diimpor terutama dari Amerika Serikat.
Pertanyaannya, Apakah lahan kita tidak lagi subur atau agroklimat tidak mendukung? Atau tidak ada SDM pakar dan ahli sehingga Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai dengan produksi sendiri seperti era 1992 sehingga menjadi negara importir?
Impor kedelai seolah menjadi ‘kutukan’ bagi negeri ini. Bila ditelusuri, hal ini dapat dikembalikan pada satu sebab, yakni dianutnya konsep kapitalisme liberal. Dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan adalah konsekuensi logis bergabungnya Indonesia ke dalam WTO. Dengan begitu, Indonesia “wajib” mengimplementasikan Agreement on Agriculture yang disepakati forum tersebut. Wujudnya berupa pengurangan subsidi ekspor, pengurangan subsidi dalam negeri, dan membuka akses pasar.
Aliran liberalisasi kian deras pasca penandatanganan Letter of Intent (LoI) IMF. Dampak buruknya adalah penghapusan bea masuk impor yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri berbagai produk impor, salah satunya kedelai. Harga kedelai lokal tak mampu bersaing dengan kedelai impor. Guru Besar IPB University yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas yang dikutip dari Tirto.id mengatakan petani bisa menutup biaya produksi jika kedelai dijual dengan harga Rp12.000/kg. Masalahnya, kedelai impor di kisaran Rp9.500/kg.
Inilah pemicu gairah produksi kedelai lokal terus menurun. Di sisi lain, importir swasta makin leluasa mendatangkan kedelai dari luar negeri karena longgarnya regulasi.
Sementara dari aspek politis, kepemimpinan yang menganut kapitalisme neoliberal cenderung abai mengurusi rakyat. Inilah mental disorder penguasa yang makin tak berdaya atas berbagai tekanan global melalui lembaga WTO dan IMF.
Indikasi ini terlihat dari ketidakseriusan meningkatkan produktivitas kedelai dalam negeri. Ketergantungan terhadap kedelai impor semakin dalam, setidaknya sejak 10 tahun terakhir. BPS mencatat, pada 2010, impor kedelai mencapai 1.740.504 ton, terus naik hingga 2.670.086 ton pada 2019. Tahun lalu, hingga Oktober, Indonesia sudah mengimpor kedelai 2,11 ton.
Menurut data yang ada, selama kurun dua dekade lebih tidak ada penambahan luas tanam kedelai melainkan terus berkurang. Upaya pengembangan bibit varietas unggul juga makin melemah, serta tidak ada perlindungan harga di tingkat petani. Pemerintah justru seolah-olah membiarkan mafia impor mendulang untung berlipat-lipat. Inilah sisi lemah kebijakan penguasa berparadigma neoliberal.
Paradigma ini menjadi problem mendasar yang menyebabkan kedaulatan pangan baru sebatas mimpi yang tak kunjung terealisasi. Dalam konsep neoliberal, tidak ada visi kemandirian negara. Sebab Pemerintah diwajibkan mengikuti arahan kebijakan kapitalisme global, meski harus merugikan rakyatnya. Negara menjadi disfungsi, kecuali sebatas pembuat regulasi.
Oleh karena itu, untuk menghentikan kutukan impor dan mewujudkan impian kedaulatan pangan, hanya mungkin dilakukan dengan jalan kembali pada Islam.
Pertama, penerapan sistem politik Islam yaitu Khilafah, akan menjalankan politik dalam negeri dan luar negeri berdasarkan syariat Islam. Di dalam negeri, negara hadir sebagai penanggung jawab hajat rakyat, termasuk dalam pemenuhan pangan yang merupakan kebutuhan dasar.
Rasulullah ﷺ telah menegaskan fungsi pemerintah dalam hadis,
“Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Langkah serius negara Khilafah dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan adalah dengan cara menggenjot produksi dalam negeri. Karenanya, Khilafah wajib mendukung petani agar berproduksi maksimal. Kewajiban itu ditunaikan dengan kebijakan berupa pemberian kemudahan mendapatkan bibit unggul, mesin, atau teknologi pertanian terbaru; menyalurkan bantuan permodalan, membangun infrastruktur pertanian, jalan, irigasi, dan lainnya.
Termasuk di dalamnya menyelenggarakan penelitian, pendidikan, pelatihan, pengembangan inovasi, teknologi, dan sebagainya. Dalam hal ini, Islam menerapkan hukum pertanahan syar’i yang akan menjamin kepemilikan lahan pertanian berada di kalangan yang memang mampu mengelolanya. Dengan demikian, dipastikan tidak ada lahan yang menganggur. Bahkan juga akan menghilangkan dominasi penguasaan lahan oleh segelintir orang pemilik modal.
Lebih jauh, syariat Islam yang dibangun di atas fondasi keimanan yang kuat, akan menjamin pelaksanaan hukum-hukumnya dengan penuh ketakwaan oleh individu dan masyarakat. Oleh karena itu, berbagai faktor penyebab distorsi pasar tidak akan muncul, seperti penimbunan barang, kartel, penipuan dan sebagainya yang memicu lonjakan harga tidak wajar.
Sistem ekonomi Islam menutup celah adanya mafia dagang atau mafia pangan dan yang semisalnya. Sebab sistem ekonomi Islam mewujudkan negara yang kuat, bukan korporasi yang kuat. Selain itu, sanksi atas pelanggaran juga tegak menjadi pelindung dari tindak kejahatan kaum pemilik modal.
Poin penting selanjutnya adalah, adanya visi politik khilafah yakni wajib menjadi negara independen. Inilah political will dalam Islam, negara tidak boleh bergantung pada perjanjian-perjanjian asing global yang bertentangan dengan visi Islam, terlebih jika perjanjian itu nyata-nyata merugikan rakyat atau bahkan mengancam kedaulatan negara.