Oleh. Eva Arlini, SE (Blogger)
MuslimahTimes.com – Istana Iblis, ia bukanlah judul film. Tapi ‘Istana Iblis’ adalah julukan sebuah gubuk tanpa penghuni di Jalan Sempurna, Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan Medan Kota. Warga di sekitarnya yang memberi julukan itu. Pasalnya gubuk itu sejak kosong tahun 2000-an menjadi sarang para pelaku maksiat. Dimana maksiat merupakan perbuatan yang disukai iblis. Jadi warga menyebutnya ‘Istana Iblis’.
Bertaburannya kartu domino dan joker serta berserakannya botol-botol minuman keras di sana menjadi bukti keberadaan para bandit. Menurut warga, para bandit itu berkumpul di sana untuk berjudi, minum miras hingga memakai narkoba.
Belasan tahun maksiat itu berlangsung di ‘Istana Iblis’. Pengaruhnya pun terasa terutama kepada anak- anak muda. Tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa para pemuda di sana ikut mabuk-mabukan, pakai narkoba bersama perampok partai kecil dan besar yang berkumpul di sana.
Masyarakat sudah muak dengan adanya sarang maksiat di tengah- tengah mereka. Alhasil warga kompak berinisiatif mengubah ‘Istana Iblis’ menjadi ‘Istana Mengaji’. Bahkan material bangunan yang dibutuhkan untuk membangun ‘Istana Mengaji’ seperti semen, pasir dan kayu sudah dipersiapkan warga. Mereka bergotong royong menyiapkan bangunan yang dimaksudkan menjadi tempat para pemuda menimba ilmu agama.
Kreativitas warga Jalan Sempurna tersebut merupakan wujud keimanan mereka. Rasa takut pada Allah swt dan kerinduan melihat anak- anak muda sekitar tumbuh di lingkungan yang baik, membentuk tekad mengubah tempat maksiat menjadi tempat beraktivitas ibadah. Namun kita sadari bahwa kemampuan masyarakat terbatas, jika harapan menghilangkan maksiat hanya bertumpu pada mereka.
Sampai kapan warga bisa bertahan dengan perubahan parsial di sana? Sementara sejatinya para bandit itu tetap ada. Tetap berkeliaran. Jumlahnya banyak. Apa tidak mungkin kelak mereka merongrong tempat itu karena merasa terusik?
Kapan saja warga lengah mereka akan kembali lagi membuat onar. Atau mereka mencari tempat baru di luar sana, di mana keberadaan mereka juga mengganggu warga di sana.
Penulis teringat cerita seorang teman yang tinggal di kontrakan sekitar sungai besar Tembung. Rumah-rumah kontrakan yang menghadap ke sungai itu akrab dengan pengguna narkoba. Bahkan pengguna narkoba menjadi salah satu penghuni rumah kontrakan di sana. Kadang pemakai narkoba itu digrebek polisi dan tertangkap basah sedang pesta narkoba. Warga di sana pun lega. Tapi rupanya hanya sesaat. Tak lama penjahat itu muncul lagi dan kembali meresahkan tetangganya. Lalu tertangkap lagi dan bebas lagi. Begitu berulang-ulang.
Teringat pula keberadaan kampung narkoba di Medan yang hingga sekarang jejaknya masih ada. Baru beberapa hari yang lalu media lokal memberitakan penggerebekan kampung narkoba oleh polisi di Kampung Lalang, Medan. Kejadian serupa pun kerap berulang tanpa menyapu tuntas keberadaan narkoba.
Begitu pula dengan kafe-kafe atau klub- klub malam yang menyediakan miras. Pesta maksiat kerap dilakukan di sana. Sering kita mendengar penggerebekan polisi di tempat-tempat maksiat yang legal itu karena seringkali pengunjungnya membawa dan memakai narkoba.
Sampai di sini penulis makin menyadari bahwa secara umum lingkungan hidup kita memang tidak sehat. Kita tidak steril dari maksiat. Sebab kesadaran menjauhi maksiat hanya terjadi pada rakyat. Sementara penguasa justru terkesan tak serius memberantas kemaksiatan. Terbukti dari tetap maraknya narkoba. Minuman keras yang berizin pun dilegalkan. Bahkan miras bisa kita temukan dengan mudah di supermarket dengan berbagai merk. Ada pula miras jenis tuak dijual warga di pinggir-pinggir jalan dengan leluasa.
Kita menyayangkan penguasa tak dapat bertindak sebagai pengurus (ra’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya. Sebagaimana yang diamanahkan Allah Swt melalui lisan nabi kita tercinta Muhammad Saw.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.”(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Hal ini disebabkan karena penguasa tidak menjadikan takwa sebagai dasar bernegara. Padahal takwa menjadi modal besar bagi sebuah masyarakat untuk hidup nyaman dan sejahtera. Takwa mendorong pelaksanaan Islam secara kaffah. Sistem Islam berupa pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan sanksi merupakan solusi jitu membebaskan masyarakat seluruhnya dari lingkungan penuh maksiat.
Namun miris, syariah Islam diacuhkan. Bahkan hari ini makin ‘lucu’. Masyarakat muslim yang menghendaki kebaikan berupa penerapan Islam secara kaffah distigmatisasi negatif. Mengajak pada pelaksanaan syariah Islam malah dikriminalisasi.
Kita pun bertanya-tanya dalam hati, kehidupan bergelimang maksiat inikah yang dianggap baik oleh penguasa? Tidak cukupkah bukti buruknya penerapan kapitalis sekuler yang telah menciptakan keresahan ekonomi, sosial dan politik dalam hidup kita?Tidak takutkah penguasa pada perhitungan amal kelak di akhirat? Apakah kapitalis demokrasi berbasis sekuler ini lebih baik dari hukum – hukum Allah Swt?
Sebagai muslim penulis menyatakan kerinduan mendalam pada kehidupan bernafaskan iman dan Islam. Rindu teladan kesalihan dari para pemimpin. Rindu kembalinya kehidupan Islam dalam naungan Khilafah ‘ala minhajjin nubuwah.