Oleh: Fatimah Azzahra
MuslimahTimes.com –“Kata ayah, kan cuma sunnah. “
Begitu jawab seorang murid saat ku tanya mengapa ia tak ikut sholat rawatib seperti teman-teman lainnya. Begitu kuat sosok ayah dalam benak anak, sehingga pola dan konsep yang ditanamkan di sekolah pun bisa terlempar begitu saja.
Anak Saleh Saleha
Siapa yang tak ingin memiliki anak saleh dan saleha? Lisannya basah dengan kalimat ilahi, baik Firman dalam Al qur’an atau zikir pada-Nya, akhlaqnya baik dan senantiasa menjaga diri dengan amal ibadah. Masyaallah, pasti tenang hati orang tua yang memiliki anak saleh dan saleha.
Banyak keutamaan jika kita memiliki anak saleh dan saleha. Saat mereka berdo’a untuk orang tuanya yang telah meninggal, itu menjadi salah satu amal jariyah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Apabila anak Adam telah mati, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim)
Saat orang tua mengajarkan kebaikan pada anak-anaknya, itu pun menjadi pahala yang terus mengalir walau orang tuanya tak lagi hidup di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Siapa menyeru kepada petunjuk, ia mendapatkan pahalanya seperti pahala yang diperoleh orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan siapa yang menyeru kepada kesesatan, ia mendapatkan dosa seperti dosa yang didapatkan pengikutnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim)
Masyaallah, pantaslah setiap orang tua muslim ingin memiliki anak yang saleh dan saleha.
Perusak Pola
Sayang seribu sayang, harapan tak sesuai kenyataan. Banyak kasus di lapangan justru membuktikan, ketiadaan teladan, baik di rumah atau di sekolah, justru menjadikan impian anak saleh dan saleha semakin jauh. Di sekolah dibiasakan sholat sunnah, di rumah karena tidak terbiasa melakukan sholat sunnah, bukannya diubah agar anak tetap dekat sunnah, tapi malah melabeli ibadah sunnah dengan ‘cuma’ sunnah. Sehingga anak pun bukannya mendekat pada ibadah sunnah, tapi justru mengikuti teladan di rumah untuk meninggalkannya.
Kala anak dipolakan tidak tidur setelah sholat subuh walau terkantuk-kantuk saat beraktivitas, di rumah ada yang santai tidur lagi setelah sholat subuh atau bahkan sholat subuhnya kesiangan. Wajar jika anak protes dibangunkan pagi, diajak beraktivitas pagi hari agar tidak tidur lagi sementara ia saksikan sendiri anggota keluarga lainnya tengah tidur berselimut rapi. Parahnya jika ini dilakukan oleh sang qowwam keluarga, ayah.
Proses ‘Melahirkan’ Anak Saleh Saleha
Melahirkan anak saleh dan saleha bukan proses instan ala sulap kekinian. Melainkan proses panjang yang perlu dilewati. Kalaulah pakar parenting sekarang mengatakan pendidikan anak mulai saat dalam janin, ulama Islam bahkan mengatakan proses ini dimulai dari kita saat mencari pasangan. Penentuan pasangan berpengaruh besar pada kualitas generasi yang dihasilkan.
Sebagaimana sosok Shalahuddin al Ayyubi. Ia tak lahir dari ruang hampa. Beliau lahir dari kesamaan visi dan misi kedua orang tuanya, melahirkan pejuang agama Allah. Masyaallah.
Selain itu, asupan makanan sebagai nutrisi dalam kandungan pun perlu diperhatikan, bukan sekedar gizi tapi juga menjaga halal dan thayyibnya. Diperdengarkannya lantunan ayat suci Al Qur’an sejak dalam kandungan, proses melahirkan, sampai anak lahir ke dunia pun berpengaruh pada kedekatannya dengan petunjuk Allah ini.
Saat memasuki usia sekolah, tentu terdapat peranan sekolah bagi pembentukan karakter anak kita. Oleh karena itu, orang tua harus teliti memilih sekolah. Karena sejatinya kita menitipkan amanah dari Allah pada ‘orang ketiga’. Visi misi sekolah hingga kualitas gurunya perlulah kita jadikan pertimbangan.
Tak cukup di situ, sinergi antara sekolah dan rumah pun harus dibangun. Jangan sampai sekolah menjadi ajang anak bebas dari aturan rumah, ataupun sebaliknya, rumah bebas dari aturan sekolah. Aturan di sini tentu dalam rangka membiasakan anak dalam kebaikan. Menanamkan pola beramal saleh dalam keseharian.
Ayah Sadar Peran
Jangan sampai ayah sebagai qowwam dalam rumah tangga justru menjadi perusak pola kebaikan yang sedang ditanam oleh sekolah. Maka, ayah pun harus sadar akan peran dan konsekuensi atas perannya.
Bukannya menjadi perusak pola, justru dialah yang harus jadi teladan dalam kebaikan di dalam rumah. Kalau bisa ialah yang harus jadi orang pertama melakukan amal saleh, senantiasa bersegera dalam kebaikan, terutama kebaikan yang sedang ditanamkan pada anak. Baik itu sholat, berjamaah di masjid, sedekah, berbagi dan lainnya.
Ibu sebagai madrasatul ula pun tak kalah penting perannya, apalagi masa hadlonah ada pada tanggung jawabnya. Mendidik dengan cinta kasih, menanamkan keimanan, menjadi teladan dalam adab sehari-hari, mendekatkan anak-anak dengan ayat suci sudah menjadi kewajiban ibu. Selain itu, ibu pun berperan menjaga imej ayah di mata anaknya.
Ibu tak boleh berkeluh kesah tentang ayah pada anaknya. Ini akan menghancurkan sosok ayah di mata anak. Wajar jika lahir anak yang tak percaya pada ayahnya. Salah satu sebabnya bisa dari curahan hati ibu yang tak disadari.
Begitu panjang proses melahirkan anak yang saleh dan saleha, tentu saja semua ini tak kan mudah apalagi sistem yang menaungi kita abai dari tujuan ini. Semuanya akan sempurna dengan dukungan dari sistem islam kaffah yang diterapkan dalam setiap sendi kehidupan.
Ibu takkan merasa berjuang sendiri karena ayah pun dididik oleh penerapan aturan Islam. Keluarga takkan merasa berjuang sendiri karena sekolah di-setting dengan kurikulum Islam, masyarakatnya pun dididik dengan aturan Islam. Sinergi terbangun secara utuh, insyaallah.
Wallahua’lam bish shawab.