Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–Cerai memang dibolehkan syariat, sebagai solusi darurat bagi rumah tangga yang tidak bisa lagi diselamatkan. Namun pasangan yang bertakwa, tidak akan bermudah-mudah mengambil jalan pisah, karena cerai disukai kawanan setan. Namun, di era kapitalis ini, kawin cerai seperti hal yang begitu mudah terjadi. Benarkah perceraian adalah solusi terbaik?
Banyak akibat perceraian yang perlu dipertimbangkan, agar tidak bermudah-mudah bercerai. Pertimbangkan kerugian yang harus ditanggung setiap anggota keluarga. Berikut di antaranya:
1. Kesendirian yang Menyiksa
Pernah hidup berpasangan, lalu kembali hidup sendiri seperti masa lajang, tentu bukan perkara mudah. Ibarat burung yang terpaksa hidup hanya dengan satu sayap, karena sayap sebelahnya telah patah. Begitulah beratnya hidup sendiri, setelah pernah merasakan berdua.
Tak ada lagi sahabat terdekat, tempat berbagi beban dan ujian. Tak ada lagi sahabat terkasih, tempat memadu cinta dalam suka cita dan kebahagiaan. Hilang pula kesempatan untuk saling melayani sepenuh cinta. Hilang tempat ketergantungan dalam segala jenis hubungan berkasih-sayang.
2. Beban Orang Tua
Kembali hidup sendiri, akhirnya kembali membebani orang tua. Bagaimana tidak, sebagai single parent, seorang laki-laki harus tetap bekerja mencari nafkah. Jika ia terbebani anak, pasti akhirnya melibatkan kakek-nenek si anak.
Demikian pula seorang perempuan single parent, setelah masa iddah, nafkahnya kini kembali jadi beban orang tua. Kerap hal itu menyebabkan dia harus banting tulang sendiri, mencari nafkah untuk dia, orang tua dan bahkan anak-anaknya. Tentu dia harus meninggalkan anak-anaknya, yang biasanya lantas diasuh kakek-neneknya.
Kerap, anak-anak yang berada di bawah pengasuhannya, tak lagi mendapat kiriman nafkah mantan suaminya. Bisa karena abai, atau karena perpisahan yang tidak baik-baik, hingga menyulut kebencian di antara keduanya. Akhirnya saling tidak mau peduli dengan kehidupan masing-masing, khususnya terkait hak anak-anak.
Kasihan orang tua kembali menjadi beban. Meski orang tua tidak mengeluh, tentu hal ini mengurangi kebahagiaan mereka. Seharusnya bisa menikmati masa tua dengan tenang dan bahagia karena anak-anaknya telah berumah tangga dan bahagia, malah harus bersedih dan menanggung beban sosial.
3. Bencana Keuangan
Kehancuran keluarga, kerap diikuti dengan kehancuran finansial. Bagi perempuan, tidak akan lagi mendapatkan jaminan nafkah dari suami. Bagi seorang suami, ia tetap wajib menafkahi anak-anaknya, meski tidak ada di sisinya. Bahkan ketika ia telah menikah lagi, tetap ekonomi anak-anak adalah tanggungannya.
Rezeki dalam rumah tangga, biasanya mengalir deras karena ada istri dan anak-anak saleh yang menjadi tanggungan suami. Begitu keluarga tercerai berai, entah mengapa kesulitan ekonomi kerap dialami. Mungkin karena suami yang tertekan dengan perceraiannya, performa kinerja menurun, ketidak-mampuan mengelola keuangan yang selama ini dikelola dengan cermat oleh istri, hingga akhirnya kondisi keuangan memburuk.
Begitulah hakikat hilangnya neraca keseimbangan dalam keluarga. Baru terasa betapa pentingnya memiliki partner dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, dibanding sendiri. Mungkin pendapatan terlihat besar saat sendiri, namun lebih berkah saat hidup bersama-sama.
4. Kegagalan dalam Pengasuhan Anak
Setelah bercerai, seorang single parent harus berperan ganda: sebagai ayah sekaligus ibu. Sebagai pencari nafkah, sekaligus pengasuh dan pendidik anak. Selama ini, hanya satu peran saja sudah berat, apalagi berperan ganda. Dulu, suami istri bisa saling berbagi peran. Suami mencari nafkah, istri menangani anak-anak. Sekarang harus dihadapi sendiri. Jelas bukan peran yang ringan.
Semua harus memikirkannya sendiri dan harus menyediakan waktu, padahal fokus waktu dan energi terbagi-bagi dengan urusan pekerjan. Konsep berbagi pengasuhan pascaperceraian dengan mantan, kerap tidak berjalan sesuai harapan. Kesibukan masing-masing, menyebabkan terabaikannya hal ini. Akibatnya, anak-anak kehilangan hak asuh dan pendidikan yang terbaik dari kedua orang tuanya.
Terlebih jika suami istri berpisah dalam kemelut berkepanjangan, munculnya bibit-bibit benci dan dendam, akan menyebabkan proses pengasuhan dan pendidikan menjadi semakin sulit ditegakkan. Ada yang anak-anaknya tidak boleh bertemu ayahnya atau ibunya, ada yang tidak sejalan dalam pendidikan. Malah memicu pertengkaran yang runcing.
5. Gangguan Emosi dan Sosial
Pernah hidup bersama pasangan dalam hubungan yang sangat intim, tentu tak mudah melupakannya begitu saja. Mungkin masih ada rasa cinta yang mendalam. Mungkin ada rasa kehilangan yang sangat. Mungkin ada kekecewaan dan penyesalan yang tiada akhir. Hal itu akan mengganggu emosi dan kejiwaan.
Tekanan perasaan ini bisa menurunkan kualitas hidup dan kesehatan. Ada perasaan gagal karena hilangnya harapan hidup sampai tua dengan pasangan. Ada trauma atas pernikahan, menorehkan luka yang menyakitkan. Ada rasa cemas kalau-kalau tidak ada lagi kesempatan membangun rumah tangga. Cemas kalau-kalau tak ada lagi yang menerima Anda, karena telah dinilai gagal sebelumnya. Ada rasa takut menikah lagi, karena takut ditinggalkan lagi di kemudian hari yang tentu lebih menyakitkan. Perasaan lain adalah amarah, kesal, terhina dan rendah diri atas status baru sebagai janda atau duda. Serangkaian problem kesehatan pun menanti.
Yang paling bahaya, jika depresi ini menyebabkan seseorang lari melampiaskannya pada hal-hal yang diharamkan. Seperti menjalin hubungan dengan sembarang orang untuk mengusir kesepian atau sekadar ingin menunjukkan bahwa dirinya masih “laku” dalam menjalin hubungan. Banyak duda yang menggoda wanita, dan janda yang akhirnya menggoda suami orang. Banyak pintu-pintu perzinaan disebabkan status perceraian. Itulah sebabnya cerai adalah jalan yang dibenci Allah Swt. sebab perceraian membuka peluang terjadinya kerusakan-kerusakan sosial. Na’udzubillahi mindzalik, semoga kita terhindar dari hal yang demikian.(*)