Oleh. Nurul Ajriah Kadir
MuslimahTimes.com–Belajar ikhlas memang sulit namun butuh latihan, seperti halnya bayi yang baru belajar jalan, dari merangkak, berdiri hingga bisa berjalan.
Musibah kecil yang kita lalui tiap hari adalah cara Rabb melatih hati agar kita terbiasa dengan hal tersebut, hingga ketika musibah besar tiba, hatimu sudah terlatih.
Lantas bagaimana jika orang tuamu berada pada ranjang kematian. Sudah siapkah hatimu?
Hari ini adalah hari yang bersejarah bagiku, karena tepat hari ini bertambah gelar di belakang namaku, yaitu Nasyitha Khanzah Aurora S.Si. Sejak 2013 lalu aku dikukuhkan sebagai salah satu mahasiswi di universitas negeri di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dan pada hari ini aku menjadi alumni di kampus terbaik se-Indonesia Timur ini. Aku merantau ke Makassar mengikuti saudara sepupuku yang lebih dulu 1 tahun berkuliah di kota yang biasa disapa kota para karaeng itu.
Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba, begitupun orang-orang terdekatku terutama ibu, tiga minggu sebelumnya beliau sudah menelepon girang, mau melihat anak sulungnya memakai topi kebanggaan, begitupun adik semata wayangku.
Kami hanya hidup bertiga, ayahku meninggal sejak aku kelas 1 SMP. Sejak saat itu, ibu jadi tulang punggung keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan kami, ibu berjualan sembako di rumah. Kehidupan kami sangat sederhana, tidak ada kemewahan sepeninggalan ayah.
Ibu menjual tanah peninggalan ayah untuk membiayai sekolah aku dan adik. Wajar, jika ibu sangat bahagia karena impian beliau melihat aku sukses di dunia pendidikan menjadi nyata, apalagi hari ini anak sulungnya mendapat gelar sarjana dengan nilai cumlaude.
Aku menatap ibu dari atas podium, wajahnya yang mulai keriput, mata berkaca-kaca dengan senyum khasnya yang begitu manis, tak terasa air mata jatuh di pipi, anak seorang single parent dengan kehidupan yang serba terbatas bisa berdiri di depan ribuan mahasiswa dan orang tua untuk memberikan kesan dan pesan sebagai mahasiswa lulusan terbaik.
Setelah selesai memberikan sambutan, aku menghampiri ibu.Ibu memelukku sambil berkata, “Ibu bangga padamu Nak, terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk ibu dan almarhum ayah.”
Sudah seminggu aku kembali ke rumah, rumah yang sangat sederhana. Tidak ada tampak kemewahan dari luar, namun di dalamnya penuh kehangatan, kasih sayang dan ketulusan.
Seperti mahasiswa yang baru lulus pada umumnya, hari-hariku mulai disibukkan dengan meng-apply beberapa instansi ternama di negeri tercinta ini. Namun, sampai saat ini belum ada panggilan interview, hari-hari jobless ini aku gunakan untuk membantu ibu berjualan.
Sore hari tepat pukul 15:30, aku dan ibu baru selesai melaksakan salat Ashar, tiba-tiba ibu merasa pusing, lalu aku baringkan ibu di tempat tidur sambil memijit-memijit kepala beliau.
Memang belakangan ini badan ibu mulai mengurus dan sering mengeluhkan sakit kepala. Selama di perantauan ketika aku menanyakan kabar ibu, ibu selalu mengatakan baik-baik saja.
Setelah selesai melaksanakan salat subuh aku dan adik selalu berebut untuk berbaring di paha ibu. Memang sudah menjadi kebiasaan sedari kecil, tidur di pangkuan ibu sambil menikmati salawat dan elusan lembut tangan ibu adalah yang paling ternyaman.
Hari ini berbeda, ibu tidak bersalawat namun hanya menyampaikan beberapa pesan, “Nak, jaga salatnya ya, apapun kesibukan kalian jika panggilan Allah sudah dikumandangkan, maka tinggalkan aktivitas kalian, segeralah menuju Allah, itu kunci kita hidup, Nak”.
“Iyaa ibu sayang. ” jawab kompak aku dan adik.
“Jika Allah sudah menakdirkan sesuatu, kita sebagai manusia tidak bisa mengelak, yang kita lakukan harus ikhlas, karena Allah punya rencana lebih indah dari yang kita ketahui.” Lanjut ibu.
Tiba-tiba suasana jadi hening, gak ada lagi suara indah dari ibu, aku bangkit dari pangkuan, “Kok tidurnya sambil duduk, Bu?”.
ibu tidak menjawab pertanyaanku.
Ternyata ini bukan tidur biasa, namun tidur selamanya di atas ranjang kematian menuju hari abadi. Aku langsung memegang tangan ibu memeriksa denyut nadi beliau, memastikan kembali apakah ini mimpi atau nyata. Pikiranku flashback ke kejadian 10 tahun lalu ketika kami ditinggal mendiang ayah.
10 tahun lalu ada pundak untuk bersandar, menangis sambil memeluk wanita yang sabarnya tiada dua. Namun hari ini, aku hanya terdiam tanpa meneteskan setetes air mata, spontan mulutku berucap, “insya Allah Khanza ikhlas bu, salam rinduku untuk ayah.”
Innalilahi wa innailahi rojiun. Allaahummaghfir laha warham ha wa’aafi ha wa’fu anha.
Ibu kami telah kembali ke pelukan sang pemilik Arsy. Kupeluk erat adikku yang sedari tadi tak berhenti menangis, aku terus menguatkannya meskipun kutahu hatiku juga rapuh.