Oleh.Vivie Dihardjo
(Pemerhati Kebijakan Publik)
MuslimahTimes.com–Korupsi adalah problem akut yang menggerogoti Indonesia. Komisi Anti Rasuah (KPK) Merilis hingga 30 November 2021 telah masuk sebanyak 3.708 aduan tindak pidana korupsi, yang telah diverifikasi sebanyak 3.673 aduan. Tindak pidana korupsi meningkat jumlahnya setiap tahun. Pada 2020 Komisi Anti Rasuah menangani sebanyak 91 kasus menjerat 110 tersangka.”Tahun ini, sampai dengan November 2021, KPK mencatat telah menangani 101 perkara menjerat 116 pelaku,” ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya. (liputan6.com 20/12/2021)
Grafik korupsi yang meningkat setiap tahun menggambarkan bahwa upaya penindakan terhadap tindak pidana korupsi tidak menimbulkan efek jera bahkan menjadi-jadi. Mengapa?
Korupsi Buah Sekularisme
Merajalelanya korupsi tidak bisa dipisahkan dari sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan hari ini. Sekularisme, memisahkan urusan agama dan dunia menjadi rujukan dalam menjalankan kehidupan. Sehingga agama tidak menjadi sudut pandang seseorang dalam berpikir dan bertindak. Agama dibatasi dalam ruang ritual peribadatan. Tidak boleh menjadi petunjuk dan mewarnai perilaku seseorang. Agama dipelajari di sekolah hingga perguruan tinggi, tetapi tidak mampu dan tidak diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Sementara pola hidup yang jauh dari agama dipromosikan setiap hari melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Yakni gaya hidup hedonis. Istilah hedonisme berasal dari Yunani. Berawal dari sebuah pertanyaan seorang filsuf Yunani bernama Socrates kepada muridnya, Aristippos mengenai tujuan hidup manusia. Menurut Aristippos tujuan hidup manusia yang paling baik adalah kesenangan. Dalam perkembangannya, hedonisme adalah konsep bahwa tujuan hidup manusia adalah kesenangan dan kepuasan tanpa batas.
Ruang-ruang publik hari ini dipenuhi dengan konten hedonisme. Dikonsumsi berbagai kalangan masyarakat, dari tingkat ekonomi tinggi hingga rendah. Dari level birokrat hingga buruh bayaran. Hedonisme melahirkan kelas-kelas di masyarakat, ketika seseorang dinilai dari apa yang dipunya dan dipakai. Jika tidak mengikuti gaya hidup hedonis tidak akan bisa memasuki kelas sosial tertentu.
Sekularisme dan hedonisme yang terus dilesakkan dalam pemikiran masyarakat menjadi pemicu merajalelanya korupsi. Pelaku korupsi berasal dari berbagai macam profesi. Swasta, Birokrat hingga Politisi. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyatakan, “Gaya hedonis ini melekat pada diri sebagian besar politisi. Karakter hedonistik pada diri politisi terawat dengan baik melalui partai politik (Parpol) yang oligarkis. ” (BeritaSatu.com, 26/11/2018)
Sistem Islam Mencegah Korupsi
Menghapuskan tindak pidana korupsi memerlukan upaya komprehensif, tidak cukup menggiatkan penindakan berupa OTT (Operasi Tangkap Tangan) dan sanksi. Upaya pencegahan juga diperlukan.
Sistem Islam memberikan aturan bagaimana memutus mata rantai korupsi. Di antaranya :
1. Menjadikan Islam sebagai Ideologi.
Pemimpin negara (Khalifah) dan para pejabat negara dalam Islam dipilih untuk menjalankan Qur’an dan Sunnah. Pemilihan Kepala Daerah dan anggota Majelis Umat berkualitas, amanah dan berbiaya rendah. Hal ini akan mencegah terjadinya potensi korupsi, suap dan jual beli jabatan. Dibentuk juga Badan Pemeriksa Keuangan yang akan memeriksa secara ketat para pejabat negara agar tidak melakukan kecurangan. (Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah)
2. Takwa dan Zuhud sebagai Kualitas Pejabat Negara.
Selain profesionalitas, pemimpin dan pejabat negara haruslah bertakwa kepada Allah. Bila ketakwaan dibalut dengan zuhud akan melahirkan sifat amanah dan qana’ah. Memandang rendah dunia dan kekuasaannya adalah alat untuk mencapai izzah wal muslimin. Dan sentiasa rida kepada pemberian Allah padanya, tidak berlomba mengumpulkan materi demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
3. Gaji yang Cukup.
Pemimpin dan para pejabat akan mendapatkan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam Islam, negara memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) rakyat dengan harga-harga yang murah dan terjangkau. Menjamin kepentingan umum seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, keamanan, birokrasi dengan gratis. Ekonomi digerakkan melalui sektor riil sehinga terbuka luas lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah. Sistem moneter berbasis emas yang anti inflasi sehingga harga-harga stabil.
Calon pejabat dicatat harta kekayaannya sebelum, saat dan setelah selesai menjabat serta penambahannya. Apabila diragukan maka akan diverifikasi dan bila ditemukan pengambilannya secara tidak syar’i maka dapat disita oleh negara dan dimasukkan kedalam kas baitul mal (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah).
4. Sanksi Menjerakan.
Sanksi Islam yang tegas akan menjerakan para pelaku korupsi dan mencegah terjadinya perbuatan serupa. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi Gubernur Syam. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123)
Tindakan pencegahan hingga sanksi yang menjerakan agar bisa mencegah korupsi hanya dapat dilakukan dengan menerapkan Islam kaffah dalam bingkai Khilafah’ala minhajin nubuwwah.
Wallahu’alam bisshowab