Oleh. Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Muslimahtimes.com–Masalah ketenagakerjaan tak pernah habis dibahas. Tak pernah juga ditemukan solusi yang diarahkan untuk kesejahteraan pekerja. Belum lama, ramai diperbincangkan tentang Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dicairkan saat para pekerja berusia 56 tahun. (detiknews.com, 13/2/2022)
Tentu hal ini menuai kritik publik, terutama dari kalangan pekerja dan buruh. Pasalnya, dana tersebut adalah satu-satunya sandaran saat usia tak lagi produktif. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengaku belum pernah diajak bicara soal perbincangan mengenai peraturan baru pencairan program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Thn. 2022 (tempo.co, 13/2/2022)
Berbeda dengan aturan sebelumnya, pencairan dana JHT nantinya tak bisa langsung dilakukan peserta yang mengundurkan diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja. Inilah yang membuat sebagian besar pekerja tak setuju dengan Permenaker yang baru. Pertanyaan besarnya, mengapa dana JHT baru dapat dicairkan saat usia pekerja 56 tahun? Bukankah dana ini adalah dana andalan para pekerja saat datang situasi yang tak diharapkan?
Berbagai spekulasi dan dugaan akhirnya muncul di benak publik. Mulai dari money laundry, hingga korupsi. Bagaimana tidak, penyelewengan dana publik kerap terjadi di negeri ini. Mulai dari korupsi bantuan sosial, korupsi dana ASABRI, korupsi dana haji dan berbagai kasus penyelewengan lainnya. Dan dapat dikatakan bahwa penyelewengan amanah telah menjadi darah daging para penguasa. Hingga akhirnya mengikis kepercayaan rakyat pada para penguasa.
Dalam masalah ketenagakerjaan, sangat tampak eksploitasi para pengusaha terhadap para pekerja. Pengusaha dengan mudah merangkul pemangku kebijakan untuk menciptakan regulasi yang pro pengusaha. Karena banyak penguasa yang juga berperan sebagai pengusaha. Demi mendulang materi sebanyak-banyaknya. Inilah watak dasar pemimpin dalam sistem kapitalisme. Zalim.
Salah satu prinsip sistem ekonomi kapitalistik yang juga merugikan pekerja adalah menekan biaya upah serendah mungkin. Dengan tujuan meminimalisasi biaya produksi. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang investasi dijadikan orientasi utama sistem ekonomi kapitalisme. Maka, wajar saja, jika yang dikejar adalah keuntungan para pengusaha semata, tanpa peduli nasib para pekerja. Inilah potret sistem ekonomi kapitalistik.
Pekerja atau buruh juga memiliki keluarga yang wajib dipenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat memenuhi Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Sedangkan di sisi lain, ada pengusaha yang terkendala untuk memenuhi upah pekerja sesuai standar minimum. Inilah yang menjadi biang keladi lingkaran kasus ketenagakerjaan. Karena hilangnya fungsi negara dalam pengurusan pekerja dan pengusaha, serta pengurusan kesejahteraan rakyat.
Islam memandang adil terhadap setiap kedudukan manusia, baik posisi pekerja maupun pengusaha. Islam pun mengatur kepengurusan ketenagakerjaan secara adil dan bijaksana. Tanpa pilih kasih. Semua diporsikan adil sesuai syariat Islam. Islam memisahkan antara pengurusan upah dan pengaturan kesejahteraan rakyat. Pengurusan upah, diatur sesuai akad yang terjadi antara majikan dan pekerja. Sedangkan kesejahteraan pekerja (rakyat) adalah kewajiban negara, bukan kewajiban pengusaha. Dan segala kebutuhan rakyat harus dipenuhi oleh negara, mulai dari kebutuhan pangan, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan hingga penyediaan lapangan pekerjaan. Sangat praktis.
Kebijakan pemberian tunjangan tercatat dalam sejarah Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, pada tahun ke-6 kepemimpinannya, Khalifah Umar memberikan tunjangan rata-rata sebesar 50 dinar atau setara dengan 200 juta per tahun pada umat yang membutuhkan. Dana tunjangan dialokasikan dari dana Baitul Maal Negara. Tunjangan ini dapat mendongkrak daya beli masyarakat. Hingga akhirnya mampu menggerakkan roda perekonomian negara. Alhasil, kesejahteraan pun merata. Demikianlah buah pengurusan yang amanah.
Berbeda dengan saat ini. Sistem yang kini dijadikan pijakan adalah sistem yang rusak. Tak heran, kebijakan yang dilahirkan pun menimbulkan kedzoliman. Seperti yang tampak sekarang. Penguasa yang semakin berkuasa. Serakah terhadap segala sumber daya yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan umat. Sedangkan rakyatnya semakin merana karena ulah buruk penguasa.
Tak inginkah kita hidup sejahtera? Tentu saja, kita semua memimpikan hidup sejahtera di bawah naungan pemimpin yang jujur dan amanah. Lantas, masihkah kita berpegang pada sistem yang rusak?
Saatnya mengganti sistem dengan sistem yang sahih, yaitu sistem Islam. Karena sistem Islamlah satu-satunya sistem yang menyejahterakan setiap lapisan umat. Sistem yang menciptakan aturan yang adil, sekaligus melahirkan pemimpin yang amanah dalam mengemban tugasnya, sebagai pengatur urusan umat.
Sandaran hidup sejahtera, baik untuk usia muda ataupun tua, hanya dapat diraih dengan sistem Islam, yang menerapkan aturan bijak dan amanah menyeluruh di setiap bidang kehidupan.
Wallahu a’lam bisshowwab.