Oleh: Choirin Fitri
Muslimahtimes.com – “La, aku ingin keluar dari Islam.”
Sontak Aqila terbatuk-batuk saat menelan air mineral yang baru sampai kerongkongannya. Air itu muncrat mengenai kerudung dusty pink yang menghiasi kepalanya. Setelah ia bisa mengendalikan diri, ia menatap Irma penuh tanya. Tak ada angin ataupun hujan, pernyataan temannya itu bak petir di siang bolong.
Irma menunduk dalam. Ia tak peduli dengan Aqila yang kaget hingga tak jadi minum. Ia hanya peduli pada hentakan- hentakan masalah yang berkeliling di sekitarnya. Gadis beliau itu hanya menatap gerakan kakinya yang ia hentak-hentakkan di lantai yang menjadi saksi bisu betapa nano-nano rasa hatinya.
“Aku tak salah dengar?”
Aqila bertanya. Ia tak menemukan jawaban dari pengamatan pada tingkah laku perempuan seusia dengannya. Hanya sedikit anggukan kepala yang ia saksikan. Itupun teramat lemah untuk seorang muslimah semacam Irma yang jago bela diri sejak SMA.
“Kenapa?”
Gadis berkerudung dusty pink meletakkan air mineral di meja. Ia menggeser duduknya lebih dekat pada Irma. Ia ingin benar-benar mendengar kegelisahan yang dirasakan seorang wanita yang sedang galau di sampingnya.
Irma membisu. Ia menggenggam erat tali tas selempang yang ia kenakan. Menatap Aqila sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada dua pohon mawar merah yang ada di depannya.
“Aku tidak tahu apa yang melatarbelakangi kenapa kamu tak mau menyembah Allah lagi jika kamu tak mau cerita. Namun, setidaknya aku bisa memberikan sesuatu yang barangkali bisa membuatmu mengurungkan niat anehmu itu.”
Irma menangis. Sebenarnya ia sangat ingin menceritakan semua hal yang ia alami sampai membuatnya tak percaya Allah itu ada, tetapi itu terlalu menyakitkan. Ia hanya ingin bungkam. Cukup, ya itu cukup baginya yang mengalami kecewa berat karena merasa Allah tak adil padanya.
Aqila mengerti Irma bukan tipe orang yang mudah bicara apa yang ia rasakan jika sedang tak siap. Ia hanya memeluk seorang wanita yang sedang rapuh jiwanya dan membiarkannya menangis hingga puas. Ketika sudah merasa tenang, ia mengambil botol air mineral yang sengaja ia berdirikan di samping tempat duduknya.
“Kamu lihat! Aku ingin membuktikan bahwa Allah itu ada dengan botol ini.”
Ia mengacungkan botol berukuran 330 ml di depan gadis yang mulai melemah suara tangisnya. Botol itu hanya terisi air sepertiga bagian.
“Dulu kita belajar wujud benda ada 3. Semua ada dalam botol ini. Coba kamu perhatikan! Botol ini wujudnya apa?”
Irma tak mengerti maksud Aqila. Namun, ia menghargai upaya teman kuliahnya itu. Ia mengusap air matanya.
“Benda padat.” Jawab Irma datar.
“Yang ini?” Aqila menunjuk pada bagian bawah dalam botol.
“Benda cair.”
“Lalu, di atas air dalam botol itu ada apa?”
“Udara. Benda gas.”
“Kamu yakin? Kan tidak terlihat.”
“Yakin. Sangat yakin malah.”
“Meski tak terlihat?”
Aqila menatap manik mata Irma untuk memastikan bahwa jawabannya adalah keyakinan. Irma pun mulai memahami arah pembicaraan lawan bicaranya. Ia pun mengangguk mantap.
Aqila membuka dengan cepat tutup botol dan menekannya. Moncong botol yang terbuka diarahkan pada pipi Irma. Sontak ia kaget dengan hembusan halus yang berasal dari botol yang ditekan Aqila.
“Lalu, apa susahnya kamu percaya bahwa Allah itu ada meski tak terlihat?”
“Maksudmu apa?”
“Udara itu ada bukan meski tak terlihat? Angin itu ada bukan meski tak tampak? Lampu di seberang jalan itu bisa nyala juga karena ada listrik. Listrik tak tampak bukan?”
Irma tak menyangkal. Ia mengangguk sebagai tanda setuju atas apa yang disampaikan Aqila.
“Ir, tak tampak mata bukan berarti itu tidak ada. Allah memang tidak terlihat, tapi yakinlah Dia melihat kita! Dialah yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita. Tak mungkin Dia sifatnya sama dengan kita. Iya tidak?”
Irma membisu. Kepalanya berdenyut. Aqila benar-benar menguras pemikirannya.
“Tuhan itu tak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Jika sama berarti Dia bukan Tuhan melainkan makhluk juga. Coba kamu lihat buku ini, kursi ini, gedung itu, ketiganya buatan manusia. Apa sama dengan manusia?”
Irma menggeleng. Aqila terus mengajak berpikir perempuan yang ada di dekatnya.
“Kita manusia, itu gunung, itu langit semua adalah makhluk. Tentu tak sama dengan penciptanya. Iya kan?”
“Kalau kamu mau keluar dari Islam dengan alasan karena Allah itu tak ada, itu alasan konyol. Alasan yang tak tepat. Pikir ulang dengan penjelasanku tadi.”
Irma menunduk. Lidahnya kelu. Keinginan murtad mungkin hanyalah ketidaksiapannya menghadapi berbagai problematika yang ada di sekelilingnya. Ia kini sadar tak ada Tuhan yang bisa ia percayai selain Allah.
“Kalau kamu memang ada masalah dan ingin mendapatkan solusi bukan dengan lari menjauh dari Allah Ir.”
Aqila menepuk pundak sahabatnya, “Salah jika kamu memilih Tuhan selain Dia. Ayolah kita selesaikan bersama-sama masalah yang kamu hadapi. Insyaallah pasti ada jalan.”
Irma membuka suaranya yang parau, “Aku akan mencobanya.”
Batu, 2 Maret 2022