Oleh. Meitya Rahma
MuslimahTimes.com – Kenikir kuning dan oranye, jengger merah, jengger kuning tertata rapi di kanan kiri jalan setapak halaman rumah itu. Beberapa kuntum sun flower dan bougenvile juga ada sebelah kanan kiri jalan setapak menuju gubuk itu. Pohon pisang dengan varian yang berbeda-beda membuat teduh halaman gubuk sederhana itu. Gubuk itu dibuat dari pelepah kelapa yang sudah berwarna coklat (gedhek). Atap gubuk juga berbahan daun kelapa. Teras kecil di depan rumah menambah manis gubuk itu. Serasa hidup bersama alam. Nuansa asri nan alami.
Penghuni rumah pun masih betah menghuni gubuk itu. Tampaknya belum ada niat mengganti gedhek dengan tembok semen yang permanen. Halaman gubuk itu selalu bersih tertata rapi. Bunga-bunga juga ditata rapi di sepanjang jalan cor yang menuju gubuknya.
Jalan setapak itu dulunya masih berupa tanah. Sehingga ketika hujan deras semalaman, melewati jalan depan rumah itu seperti menyeberang sungai. Di gubuk ini anak-anak di desa Banjar banyak mengambil nilai-nilai kehidupan. Belajar ngaji Iqra‘, belajar salat, belajar menemukan makna hidup. Bermain bersama teman- teman ngaji, belajar bersama. Di sini seperti taman-taman surga, karena disinilah banyak ilmu agama yang didapat. Dan tentunya ilmu kehidupan yang syarat makna. Walau tak disampaikan, namun melihat dari keseharian penghuni gubuk itu. Sederhana, tak neko-neko, sabar dan tentunya kepasrahan pada Sang Khaliq.
Lek Darto namanya, dialah yang membuat rumah gubuk itu. Dengan istri tercinta, Siti namanya. Mereka memilih membuat gubuk untuk hunian di desa itu. Meskipun sempit dan tidak berdinding semen, tapi mereka nyaman tinggal di situ. Sekembalinya dari rantau, ia memilih tinggal di desa dan membuat gubuk. Hasil selama di rantau dulu mereka belikan sepetak kebun dan didirikan gubuk. Bersyukur sepupunya menawarkan kebun, karena butuh uang pada waktu itu. Akhirnya Lek Darto yang membeli kebon itu. Dari hasil kerja di perantauan ia dapat menyisihkan uang untuk investasi. Lek Darto dan istrinya memang tak neko-neko hidupnya. Ada sisa uang, pasti ia alokasikan untuk investasi. Karena mereka sadar, ketika tua nanti perusahaan tak akan memakai tenaganya lagi. Sehingga ia menyiapkan tabungan untuk hari tuanya nanti. Dan pastinya ia akan kembali ke desa kelahirannya.
Sudah lama istrinya tak kunjung berbadan dua. Sabar menanti buah hati selama kurang lebih 10 tahun. Di sela kesibukan menggarap sawah warisan bapaknya, Lek Darto membuka semacam TPA (tempat mengaji) di gubuk kecil nya. Selain belajar Iqra, di gubuk itu lek Darto juga mengajari ilmu agama, petuah-petuah bijak yang syarat makna. Mungkin dengan menyibukkan diri untuk mengajari anak-anak, bisa mengusir sepi. Surau disana tak diperbolehkan untuk anak-anak masuk selain waktu salat. Kata sesepuh takmir, anak-anak kalau berkegiatan nanti masjid bisa kotor.
Sungguh pemikiran yang lek Darto anggap aneh. Bukankah anak-anak dibiasakan untuk ibadah ke surau-surau. Siapa lagi yang akan memakmurkan masjid kalau bukan generasi selanjutnya. Lek Darto sudah pernah matur (bicara) dengan Mbah Kaum (ketua takmir) izin untuk mengajari anak-anak di surau. Namun, Mbah Kaum tidak mengizinkan. Akhirnya lek Darto pun punya inisiatif untuk membuat tempat ngaji di gubuknya. Orang tua anak-anak pun senang. Anaknya bisa belajar dan ngaji.
Ibunya Mimin kadang memberi ubi ke Lek Darto dan istrinya, bapaknya Burhan kadang ngasih ikan hasil tangkapan di sungai kecil dekat sawah. Ibunya Fatih sering mengirimi selada, sawi putih, kangkung hasil sawah. Dan masih banyak orang tua anak lain yang memberi tanda ucapan terima kasih pada Lek Darto. Karena Lek Darto dan istrinya tidak menerima bayaran atas ilmu yang diajarkan pada anak-anak. Murni ini semua diniatkan amal jariah.
Dulu ibunya Shifa, ibunya Dewi pernah bilang ke Siti, agar Siti menerima infak dari para orang tua anak yang ngaji di tempat nya. Siti mengucapkan terima kasih, dan mengembalikan uang itu. Lek Darto dan istrinya berprinsip bahwa ilmu yang bermanfaat sebagai pemberat nanti di surga. Sebab yang mereka miliki saatnya ini adalah amal jariah yang tak seberapa dan ilmu. Anak yang salih belum didapatkan, maka yang mereka bisa lakukan untuk saat ini adalah membagi ilmu itu pada anak-anak yang mengaji di gubuknya.
Lek Darto semenjak kecil memang sudah mondok di pesantren. Setamat SD, almarhum bapaknya menitipkan Darto di pondok milik Kiai Hasyim di Solo. Ibunya meninggal sejak Lek Darto usia 10 tahun. Enam tahun kemudian bapaknya menyusul. Sejak itu, Lek Darto menjadi yatim piatu. Pakde Yatno, kakak dari ibunya Darto yang kemudian mengurus semua keperluan Darto. Sepetak sawah yang ditinggalkan napaknya Lek Darto, pakde nya yang mengurusi. Hasil sawah sebagai biaya Darto nyantri di pondok. Pakde Yatno memegang amanah dengan sangat baik. Sampai Le Darto menikah dengan Siti itu, Pakde Yatno lah yang mencukupi. Hasil panen Dari sawah Pakde Yatno sisihkan untuk biaya sekolah Le Darto, sisanya Pakde Yatno tabung untuk kebutuhan Darto suatu saat nanti. Maka, sudah sewajarnya Pakde Yatno orang yang paling ia hormati di keluarganya. Ia sebagai pengganti bapaknya. Jika ada hasil panen atau kebun, Lek Darto selalu menyisihkanhkan untuk keluarganya Pakde Yatno.
Di gubug ini anak-anak akan betah berlama-lama.Kadang bermain kelereng di halaman kecil depan gubuk. Yang perempuan bermain pasaran. Memetik bunga kenikir, jengger ayam yang ada di kebun dan di kan an kiri kebon. Kadang Lek Siti memberi cemilan untuk anak-anak. Mereka sering diberi olahan hasil kebunnya, ceriping pisang, pisang goreng,ubi goreng, ubi rebus. Istri Lek Darto pintar memasak dan ia merupakan sosok ibu yang baik. Dari keseharian kalau kami belajar di gubuk itu ia bisa membuat kami duduk tenang mendengarkan Lek Darto bercerita.
Adeknya Mimin yang masih balita kemarin ngompol, istri Lek Darto dengan sigap menceboki dan membersihkan ompolnya. Ah, orang sebaik mereka diuji dengan kesabaran. Di sela-sela ngaji ada sebuah pertanyaan polos anak kecil, Burhan namanaya.
“Kenapa Lek Siti tidak punya anak?” Kata Burhan polos.
“Karena Gusti Allah belum kasih rezeki anak ke lek Siti“. Lek Siti menjawab sambil tersenyum.
Disenggolnya tangan Burhan oleh Fatih kakaknya. Mata Fatih memberi isyarat, supaya tidak menanyakan hal itu. Lek Siti yang melihatnya hanya tersenyum. Atau kenakalan-kenakalan kecil yang biasa mereka lakukan. Misalnya memetik tanaman-tanaman untuk dijadikan mainan, padahal tanaman-tanaman itu sering dimanfaatkan oleh Lek. Darto. Misalnya saja daun cao, daun pandan, daun kelor, bunga telang, dll. Kalau sudah mereka petik, dan Lek Siti melihatnya biasanya mereka hanya diberikan tahu manfaatnya untuk apa. Biar anak tahu kalau memetik tidak sembarangan, karena daun dan bunga telang dapat bermanfaat.
Sebenarnya Lek Darto dan istrinya pernah periksa ke dokter ketika dulu masih di perantauan. Lumayan merogoh kocek yang banyak untuk sekali periksa saja. Penghasilan dari kerjanya paling banyak dialokasikan untuk periksa. Kata dokter,tidak ada masalah dari Lek Darto maupun istrinya. Kuncinya hanya tidak boleh capek kerja. Padahal pekerjaan lek Darto sebagai pekerja pabrik pasti capek. Akhirnya ia dan istrinya memutuskan kembali ke desa. Dengan sedikit tabungan yang dikumpulkan ia membeli kebun kecil dari sepupunya. Sepupunya butuh uang untuk membiayai anaknya masuk jadi polisi. Katanya lewat jalur orang dalam, jadi butuh dana yang tidak sedikit. Saat itu lek Darto tidak tahu kalau tanah itu dijual untuk memasukkan anak sepupunya jadi polisi. Tahu gitu nggak mau Lek Darto membelinya. Bahkan mungkin Lek Darto akan memberi masukan agar tidak menjualnya hanya karena biaya jadi polisi. Ini sama saja suap dan suap / riswah itu tidak dibolehkan dalam Islam. Tapi zaman sekarang apa sih yang nggak pakai uang. Jadi, PNS pakai uang, jadi pegawai BUMN pakai uang. Rasanya kalau sudah jadi pegawai abdi negara (PNS, polisi, tentara) itu menaikkan strata. Tak peduli bagaimana cara meraihnya.
Kebun yang dibeli dari sepupunya itu ditanami tanaman dan juga dibangun gubuk kecil. Lek Darto sebenarnya kepingin rumah permanen berdinding tembok, atau rumah limasan yang dindingnya dari kayu, atau rumah panggung sederhana. Pelan-pelan dan sabar, tidak perlu terburu-buru. Jika belum ada dana yang cukup, maka doanya dikencangkan. Begitulah prinsip Lek Darto, ia tak mau berutang, apa lagi dengan bank.
Bunga di halaman gubuknya sudah cukup mewarnai hidupnya. Jangan sampai bunga bank mewarnai hidupnya, begitu guyonan Lek Darto pada Lek Danu bapaknya Mimin. Kalau bunga yang ditawarkan bank, Lek Darto sudah keder duluan. “Ngeri Lek saya sama dosanya, mending nabung dikit-dikit. Kita yang doa, Allah yang mampukan“. Begitu kata Lek Darto ketika Lek Danu berbincang di depan gubuk sore itu.
Kesederhanaan, kepasrahan yang optimal pada Allah membuat gubuk itu tak lagi terasa gubuk. Gubuk sempit pun teresa lapang, gubug non permanen pun serasa rumah permanen. Begitulah jika manusia menyandarkan segalanya sama Allah, rumah sempit terasa lapang, rumah gubuk serasa istana. Tiap detik rasa syukur itu ada pada diri Lek Darto dan istrinya. Ia menamakan gubuknya bukan gubuk derita, namun gubuknya adalah gubuk kebahagiaan dan keberkahan.