Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Siapa pun menyadari bahwa fase kehidupan ketika dewasa adalah menikah, yaitu membangun keluarga bahagia dan memiliki keturunan. Ini merupakan konsensus manusia sejagad sejak zaman Nabi Adam. Tidak ada yang secara sengaja menghindar dari fase ini, andai saja tidak terjadi perubahan pola pikir dan sistem hidup yang kian liberal.
Cara pandang sekuler dan liberal telah mengubah pola pikir manusia hingga memunculkan sekelompok individu yang memilih lajang selamanya. Kehidupan yang bebas, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan biologis, menjadikan pernikahan bukan lagi sebagai tujuan. Muncul istilah gamaphobia alias takut menikah.
Hal Ini disebabkan semakin maraknya praktik-praktik pernikahan yang buruk, ditambah mitos-mitos seputar dunia pernikahan yang tidak benar. Praktik buruk itu tercermin dari tingginya angka perceraian, maraknya kekerasan dalam pernikahan (KDRT), hingga berujung tidak bahagianya para pelaku pernikahan.
Apalagi saat ini marak perselingkuhan yang dilakukan pasangan yang sudah menikah, bahkan berujung pada pembunuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Padahal dahulu membangun pernikahan penuh cinta, tapi mengakhirinya dengan benci, hingga mengubah pernikahan menjadi pembantaian. Melihat kenyataan tersebut, para lajang pun khawatir jika menikah nanti akan mengalami hal buruk seperti itu.
Gerakan Nomarriage
Terjadi paradoks yang memilukan, di mana kalangan yang semakin tinggi pendidikannya dan semakin mapan secara ekonomi, justru yang memelopori gerakan tidak mau menikah. Karier, jabatan, kekayaan dan kesenangan pribadi, menjadi impian yang lebih dikejar dibanding menikah, berkeluarga dan memiliki keturunan.
Seperti di Korea Selatan, muncul gerakan #NoMarriage yang sempat menjadi perhatian luas di dalam maupun luar negeri. Kanal YouTube mereka, SOLOdarity, membahas pentingnya melawan budaya patriarki di Korea Selatan dan menyediakan tempat bagi para perempuan yang ingin menjadi diri sendiri. Ada juga gerakan “Elite without Marriage, I am going Forward” atau EMIF yang tidak mendukung upaya pemerintah untuk menghentikan penurunan tingkat kelahiran (vice.com).
Ya, World Bank mencatat, saat ini, Korsel memiliki tingkat kelahiran terendah dibanding semua negara maju. Jika 2010, 64,7 persen perempuan di sana masih meyakini untuk menikah, 2019 turun menjadi hanya 48,1 persen. Akibat minimnya pernikahan dan berkurangnya angka kelahiran, sekolah-sekolah tutup karena kekurangan murid (vice.com).
Pemerintah Korsel mulai cemas dengan fenomena tersebut. Ditawarkanlah intensif dan biro jodoh bagi para lajang di seantero negeri. Namun, para lajang tetap tidak tertarik. Kebijakan itu dinilai “memaksa” perempuan dengan beban kehamilan dan kelahiran. Mereka tak mau karier dan impian dikorbankan demi beranak.
Tentu saja, wacana ini tidak sesuai dengan fitrah manusia, melainkan hanya mengikuti hawa nafsu pribadi, disebabkan memandang kebahagiaan yang hanya diukur dari materi. Sebuah cara pandang yang keliru akibat disetir oleh paham sekuler dan liberal. Nah, mengingat Korsel menjadi kiblat budaya masyarakat dewasa ini, termasuk semoga fenomena tersebut tidak menular ke Indonesia.
Menguatkan Pernikahan
Islam mengatur pernikahan sebagai komitmen individu, namun punya kepentingan besar untuk negara dan peradaban. Menikah bukan sekadar komitmen dua orang laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kasih sayang serta membentuk keluarga, tetapi juga wadah melahirkan generasi penerus. Institusi pernikahan merupakan sarana untuk mengatasi problem sosial maupun problem populasi. Problem sosial seperti maraknya zina dan perselingkuhan, diatasi dengan pernikahan, baik monogami maupun poligami. Targetnya, masyarakat menemukan ketenangan dan ketentraman karena kebutuhan akan gharizah nau’ telah mendapatkan wadah penyaluran yang tetap.
Problem populasi seperti kurangnya angka kelahiran, tingginya usia menikah dan minimnya orang yang mau menikah, menjadi tugas negara untuk mengatasi. Salah satunya dengan mengatur pernikahan, mulai pranikah yaitu ta’aruf sampai pascanikah. Jangan biarkan warga negaranya takut menikah, tapi tidak takut zina. Ini berbahaya, karena pernikahan kelak akan hilang dan hanya ditemukan di dongeng.
Negara wajib menggencarkan edukasi tentang pernikahan kepada para lajang. Sementara bagi rumah tangga yang sudah ada, tugas negara untuk memastikan agar pasangan sejahtera dan bahagia, tercukupi kebutuhannya, sehingga tidak merasa menyesal telah menikah.
Negara hendaknya gencar memberikan dukungan kepada pasangan-pasangan yang menikah, baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Jadi, setelah menikah, tidak dilepas begitu saja. Siapa saja pasangan yang menikah, bukan hanya tercatat di buku nikah, tetapi menjadi data base yang akan terpantau perjalanan pernikahannya.
Misal, terpantau kesejahteraannya. Apakah sudah mampu mencukupi kebutuhan mendasarnya atau belum. Bila belum, maka negara hadir untuk memampukannya. Mempermudah sang suami untuk memiliki pekerjaan atau diberikan modal untuk berwirausaha. Jadi, data kependudukan, ketenagakerjaan dan pernikahan saling terintegrasi, sehingga status pernikahannya terpantau dengan jelas.
Sementara itu, untuk mencegah konflik dalam rumah tangga, negara bisa hadir dengan menggencarkan edukasi pascanikah berbasis akidah. Ajarkan pasangan suami istri tentang hak dan kewajibannya. Ajarkan pula skill menjadi suami, skill menjadi istri, dan skill menjadi orang tua. Jangan lupa menyediakan layanan konsultasi pernikahan gratis, yang bisa diakses pasangan suami istri jika ada konflik. Zaman sekarang pakai aplikasi, misalnya.
Negara juga harus memberikan dukungan khusus kepada para istri atau ibu rumah tangga. Tugas para istri sangat berat, mulai mengurus rumah, mengantar anak sekolah, bahkan ada yang ikut mencari uang untuk menambah ekonomi keluarga.
Bila pasangan yang menikah harmonis karena telah terpenuhi kesejahteraannya dan juga ada edukasi menyeluruh tentang cara menjalani hidup berumah tangga, lahirlah pernikahan yang kokoh. Pernikahan yang sesuai harapan Allah Swt, yaitu terwujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Banyaknya rumah tangga yang harmonis, dan minimnya perceraian, maka akan menghilangkan mitos-mitos negatif tentang pernikahan. Dengan demikian para lajang tidak lagi melihat pernikahan sebagai institusi yang menakutkan, tetapi sesuatu yang menantang dan menyenangkan. Para wanita tidak lagi gamaphobia dan tetap memimpikan pernikahan sebagai salah satu fase hidup yang memang lazim dilaluinya.(*)