Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Blogger Profesional dan Tim Redaksi Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Nama Inara Rusli menjadi akrab di telinga masyarakat Indonesia baru-baru ini. Sosok wanita bercadar ini menjadi viral karena ia mengungkap perselingkuhan sang suami, Virgoun The Last Child di media sosial. Virgoun sendiri merupakan publik figur yang dikenal dengan kemampuan bermusiknya, tak jarang lagu-lagunya menjadi viral dan meledak di pasaran. Salah satu lagu andalannya adalah Surat Cinta Untuk Starla, dimana Starla merupakan anak perempuan dari pernikahannya dengan Inara Rusli.
Pasangan ini awalnya menjadi idaman para kawula. Setahun sebelum menikahi Inara, ia menjadi mualaf dan mempelajari Islam. Melalui laman Instagram mereka kerap kali menunjukkan romantisme suami istri, bahkan Virgoun yang merupakan musisi menciptakan lagu Bukti untuk sang istri dan tentu menarik kagum banyak kalangan atas sosoknya yang ‘dianggap’ sebagai suami penyayang dan penuh cinta. Tak jarang banyak pemudi yang menjadikan dia sebagai standar suami idaman.
Prahara rumah tangga Virgoun-Inara tak pelak membuat jagad maya gempar. Apalagi masalahnya diduga karena adanya pihak ketiga alias perselingkuhan, dimana isu ini sangat sensitif untuk dibahas. Pada akhirnya Virgoun-Inara kini berada di depan gerbang perceraian.
Hal semakin menarik, ketika Inara yang telah memutuskan bercadar sejak tahun 2018. Di hadapan publik ia memutuskan untuk membuka cadarnya. Hal ini ia lakukan ketika mengadakan konferensi pers ditemani oleh Ustaz Derry Sulaiman.
Pada saat itu Ustaz Derry Sulaiman memberikan penjelasan tentang hukum niqab (cadar). Ia menyatakan bahwa tidak mengapa muslimah tidak memakai cadar sehingga diharapkan tidak ada bullying kepada Inara atas keputusannya tersebut. Inara sendiri mengungkap ia memutuskan melepaskan cadarnya karena menganggap dia sedang berada dalam kondisi darurat, yaitu demi mencari nafkah untuk anak-anaknya. Diketahui bahwa Inara akan menjadi brand ambassador sebuah produk kecantikan, sehingga ia harus menampakkan wajahnya.
Hukum Niqab (Cadar)
Ada perbedaan pendapat mengenai hukum muslimah memakai niqab yakni pendapat yang menyatakan hukumnya wajib (harus memakai cadar, jika tidak maka akan berdosa), sunnah (lebih baik memakainya karena berpahala, tapi tidak memakainya pun tidak mengapa) dan mubah (memakai cadar atau tidak adalah pilihan, memakainya tidak mendapat pahala, tidak memakainya juga tidak berdosa).
Dalam pandangan Madzhab Maliki dan Hambali, hukum memakai niqab adalah sunah, menjadi wajib jika dikhawatirkan timbul fitnah. Sementara dalam pandangan Madzhab Syafi’i dan Hambali, memakai niqab hukumnya wajib, karena menganggap aurat perempuan adalah seluruh tubuh.
Pendapat yang mewajibkan memakai cadar, dan pendapat yang tidak mewajibkan memakai cadar, keduanya adalah pendapat islami. Maka, sebagai muslimah, kita perlu mempelajari dan mengambil pendapat yang terkuat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya An-Nizhamul Ijtimaiy memberikan pandangan bahwa hukum muslimah memakai cadar adalah mubah, bukan wajib dan juga bukan sunnah.
Hal ini dikarenakan dalil yang digunakan sebagai landasan mewajibkan Niqab bersandarkan pada QS Al-Ahzab: 33, QS Al-Ahzab: 53, dan QS An-Nur: 31, adalah ayat yang berkaitan dengan istri-istri Rasulullah, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kaum muslimah secara keseluruhan.
Tidak benar jika dikatakan bahwa muslimah biasa lebih wajib bercadar, karena istri-istri Rasulullah saja diwajibkan bercadar. Karena ayat-ayat Allah yang mewajibkan Istri Rasulullah bercadar adalah ayat khusus. QS. Al Ahzab : 33 dan 53 merupakan perintah yang ditujukan hanya kepada individu-individu tertentu (istri Rasul) yang karakternya telah disifati dengan sifat-sifat tertentu sehingga tidak berlaku sama sekali bagi selain mereka, baik yang derajatnya lebih tinggi ataupun yang lebih rendah daripada mereka, dan memang khusus untuk istri-istri Rasulullah saja (Sumber : muslimahnews.net).
Menanggapi adanya perbedaan pendapat ini, sebagai muslimah kita harus saling menghormati dan menghargai pandangan saudari kita. Bila seseorang memakai niqab karena menganggap pendapat yang mewajibkan niqab adalah pendapat yang paling kuat, maka ia memiliki konsekuensi berdosa jika melepasnya. Jika ia tidak memakai niqab karena menganggap bahwa pendapat terkuat adalah yang menganggap niqab itu mubah, tidak bisa ia mengharapkan pahala ketika ia memakai niqab.
Janda di Zaman Kapitalisme
Perceraian tak hanya meninggalkan luka, tapi juga membuat seorang istri menjadi ibu tunggal. Jauhnya kita dari kehidupan Islam menyebabkan banyak yang menganggap bahwa pihak yang mendapat hak asuh anak bertanggung jawab terhadap nafkah anak. Sementara peluang ibu mendapatkan hak asuh anak jauh lebih besar daripada ayahnya, terutama bila anak-anak masih kecil atau belum mencapai usia dewasa.
Sakit hati karena perceraian biasanya membuat salah satu pihak menutup diri dari pihak lainnya, sehingga menghalangi hak anak untuk bertemu dengan orang tua lainnya atau terhalangi haknya mendapat nafkah.
Dari kasus Inara Rusli, ada beberapa hal yang disayangkan dan seharusnya tidak perlu terjadi andai kita berada dalam naungan Islam.
Pertama, salah kaprah tentang hukum bekerja bagi wanita. Di dalam Islam, bekerja bagi wanita, hukumnya tetap mubah, apapun keadaannya. Beban nafkah tidak menjadi tanggung jawab perempuan sekalipun ia tak lagi bersuami.
Inara Rusli, hanya satu contoh yang terlihat. Faktanya banyak istri yang menjadi janda kemudian harus banting tulang untuk menafkahi diri sendiri dan anak-anak. Begitulah kapitalisme menempatkan perempuan sebagai sasaran pemberdayaan ekonomi.
Meski begitu, fakta bahwa perempuan kini banyak mencari nafkah, tak lantas menjadikannya (hukum bekerja) menjadi wajib bagi perempuan. Karena dalam Islam, perempuan terhadap nafkah hanya memiliki satu posisi yakni sebagai penerima, bukan sebagai pemberi. Artinya, perempuan di dalam Islam, dijamin nafkahnya oleh walinya dan negara.
Sehingga, walaupun suami istri bercerai dan anak-anak mengikuti ibunya, kewajiban memberikan nafkah tetap berada di pundak sang ayah. Jika anak masih dalam fase menyusui ia juga wajib memberikan ujrah kepada sang mantan istri. Sehingga wanita yang telah menjadi janda seharusnya tak perlu khawatir bila tentang nafkah anak.
Jikalau sang ayah tak mampu menafkahi, maka kewajiban itu menjadi milik kakek dan saudara ayah yang lain. Bahkan jika tidak ada kerabat dari pihak ayah atau ibu yang bisa memberi nafkah, maka tanggung jawab memberi nafkah adalah tanggung jawab negara. Hal ini pernah dicontohkan pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ketika menjadi Khalifah, beliau membangun rumah tepung untuk para janda yang membutuhkan.
Kedua, salah menempatkan skala prioritas. Di dalam kapitalisme skala prioritas memang ditentukan dari untung dan rugi. Jika menguntungkan akan dilakukan, tapi jika menimbulkan kerugian akan ditinggalkan. Namun di dalam Islam, skala prioritas ditentukan oleh pahala dan dosa. Jika berpahala, maka dikerjakan, jika mendatangkan dosa, maka ditinggalkan.
Jika menganggap memakai niqab adalah suatu amal yang mendatangkan pahala bila dikerjakan (sunnah), maka seharusnya menjadi “lebih” prioritas daripada amalan yang mubah (bekerja). Bisa saja bekerja tanpa melepaskan cadar. Ingat, rezeki datangnya dari Allah, bukan karena sebab bekerja saja.
Masyarakat juga perlu mengubah cara pandangnya terhadap amalan sunnah. Bukan “tidak apa-apa ditinggalkan”, menjadi “rugi bila ditinggalkan, karena membuang kesempatan mendapatkan pahala.”
Ketiga, kesalahpahaman dalam memaknai kaidah darurat. Melepas cadar karena bekerja, sementara harus bekerja karena darurat tidak ada yang menafkahi. Benarkah demikian??
Darurat di dalam Islam memiliki pengertian berada pada kondisi antara hidup dan mati. Sehingga untuk menyelamatkan jiwanya hal yang seharusnya haram dilakukan, bahkan menjadi boleh dilakukan. Misalnya boleh memakan bangkai/babi saat sedang sekarat kelaparan, sementara tidak ada lagi makanan lainnya.
Dalam kasus Inara Rusli, perlu ditela’ah lagi, apakah setelah perceraian, mantan suami benar-benar melepas tanggung jawabnya? Karena mereka adalah tokoh masyarakat, maka kontrol masyarakat biasanya akan lebih ketat, dan ada pengadilan agama yang bisa menjadi penengah. Apakah karena tidak adanya suami sebagai pemberi nafkah seperti biasa, maka akan membahayakan nyawa dalam seketika? Tentu saja tidak. Nyawa tidak akan melayang begitu saja, hanya saja mungkin hidup akan sedikit lebih sulit dari biasanya.
Tidak bercadar memang tidak mengapa, namun menempatkan kaidah darurat sebagai alasannya adalah keliru. Takutnya masyarakat di kemudian hari akan semakin meremehkan amalan-amalan lain dengan alasan darurat, padahal sebenarnya tidak pada tempatnya.
Kemelut heboh ini berawal dari rumah tangga seseorang yang ternodai oleh perselingkuhan. Namun, prahara seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di dalam kehidupan manusia tanpa aturan Allah Swt. Mengandalkan aturan buatan manusia akan melahirkan cara pandang hidup hedonisme, kapitalisme dan sekularisme yang merusak institusi keluarga. Maka, hanya dengan berpegang teguh kepada aturan-Nya lah kita akan semakin kuat, membersamai dan menjaga keluarga. Karena dari keluarga yang kuat akan lahir generasi-generasi yang akan membangun kembali peradaban Islam.
Wallahu a’lam bis shawab..