Oleh. Widi Yanti, S.E
(Tim Redaksi MuslimahTimes.com)
MuslimahTimes.com–Indonesia sebagai penganut sistem pemerintahan demokrasi, memiliki lembaga legislatif bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah dipilih melalui pemilihan umum. Sehingga urusan negara, kekuasaan dan kedaulatan rakyat kemudian diwakilkan melalui anggota DPR ini. Agar terjamin penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik, dibutuhkan sosok negarawan yang baik, kredibel, amanah dan tanpa cacat bawaan.
Pesta demokrasi akan digelar dalam waktu dekat. Pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat akan dilaksanakan. Setiap kali mendekati pemilu, para calon anggota legislatif mengumbar janji manis kepada masyarakat. Berbagai upaya untuk mendulang suara dilakukan. Tidak jarang juga sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako. Secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menuntun ke berbagai jenis korupsi lainnya. Hal demikian dilakukan karena tergiur dengan jabatan yang menjanjikan nilai ekonomis tinggi. Gaji yang diterima anggota legislatif meliputi beberapa komponen, seperti uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan dan alat kelengkapan lain, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses, tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi.
Wajar jika praktik ini akhirnya memunculkan anggota legislatif yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, mereka akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa berjalannya pemilu di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh calon wakil rakyat yang memiliki rekam jejak buruk. Indonesia Corruption Watch (ICW) telah merilis adanya banyak mantan napi korupsi yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Dari fakta tersebut, menunjukkan sifat-sifat manusiawi yang berorientasi materi dan kebahagiaan duniawi. Hal ini tidak lepas dari segi sumber sistem demokrasi yang menjadikan aturan berasal dari manusia. Slogan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan memengaruhi kehidupannya dalam bernegara. Sehingga perilaku secara individu juga dipengaruhi oleh asas demokrasi yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Standar baik dan buruk disesuaikan dengan akal manusia dan kata hati individu masing-masing. Kebebasan berperilaku menjadi sesuatu yang diagung-agungkan di sini.
Adapun sistem pemerintahan Islam mempunyai pandangan bahwa kedaulatan di tangan Musyarri’ (dalam pembuatan hukum hanya ditangan Allah Swt). Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau Khalifah (pemimpin kaum muslimin), semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk lemah dan terbatas, tidak mampu untuk mengetahui esensi baik dan buruk. Allah telah memberikan batasan jelas dengan standar halal dan haram sesuai perintah Allah yang termaktub dalam Al- Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syarak itu. Dalam makna rakyat mempunyai hak untuk memilih orang yang akan melaksanakan hukum-hukum Allah. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syariat. Syarat sah (syurûth al-in’iqâd) seorang Khalifah harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kenegaraan.
Salah satu kewenangan Khalifah adalah mengangkat pejabat yang akan membantu pelaksanaan jalannya pemerintahan. Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-AkhbarrahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
Dengan demikian sistem demokrasi bukan pilihan untuk menjadikan pemerintahan berkeadilan dan sejahtera. Namun hanya dengan sistem Islam lah yang mampu menjamin perubahan hakiki karena berasal dari aturan Allah Swt.