Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Menikah lalu bercerai. Biasa hidup bersama, lalu sendiri. Dinafkahi, lalu terpaksa cari uang sendiri. Tak ada lagi yang menjamin, kini harus bisa mandiri. Inilah siklus hidup yang terpaksa dialami oleh para janda yang tahun ini jumlahnya lebih dari setengah juta jiwa.
Ya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 pasangan pada tahun 2022. Itu hanya yang cerai hidup, belum yang cerai mati. Saat ini, di pertengahan 2023, tentu jumlahnya sudah meningkat lagi. Kasus perceraian tertinggi di Indonesia adalah di Jawa Barat. Tercatat, ada 113.643 kasus atau 22 persen dari total kasus perceraian nasional.
Dikutip dari Jaringnews, jumlah janda jauh lebih banyak dibanding dengan duda. Ini terlihat dari persentase perempuan yang berstatus cerai mencapai 12,83 persen pada 2021. Sementara, hanya 4,32 persen laki-laki yang menyandang status cerai. Sebanyak 10,25 persen perempuan berstatus cerai mati. Hanya 2,58 persen perempuan yang menyandang status cerai hidup. Sementara persentase laki-laki yang berstatus cerai mati sebanyak 2,66 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan cerai mati adalah seseorang yang ditinggal mati oleh suami atau istrinya dan belum menikah lagi. Sementara, cerai hidup yakni seseorang yang telah cerai sebagai suami istri dan belum menikah kembali. Bagaimana nasib pada janda ini?
Dipaksa Mandiri
Kebanyakan para janda tersebut, harus memperjuangkan ekonomi sendiri. Pasalnya, perceraian di negara sekuler ini tidak menjanjikan jaminan hidup bagi para janda. Meskipun data pastinya belum jelas, kita bisa melihat fenomena di sekitar kita, banyak janda yang dipaksa oleh keadaan untuk menghidupi dirinya sendiri dan bahkan anak-anaknya. Kerja atau jualan apa saja demi menyambung hidup.
Memang, aturan di perundang-undangan menyebutkan, janda yang dicerai suaminya, berhak mendapat uang mut’ah (hadiah) sebagai penghibur, yang besarnya tergantung kerelaan mantan suaminya. Namun, tak sedikit yang mengabaikan aturan ini. Meskipun diketuk palu oleh hakim, banyak suami yang mengingkari. Hakim pun tidak bisa memaksa, karena lemahnya pengawasan terhadap para mantan suami dalam menjalankan keputusan ini.
Lalu, jika janda tersebut mendapatkan hak asuh sehingga harus merawat anak-anaknya, maka seharusnya ia pun berhak diberi uang santunan sebagai ganti perawatan. Anak-anak yang diasuhnya pun harus mendapat nafkah rutin dari ayahnya. Namun, dalam praktik, hal ini juga kerap diabaikan. Betapa banyak anak-anak broken home, semakin hancur karena dalam pengasuhan ibu tunggal yang juga menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga.
Tak ayal, para janda hidup dengan beban berat di pundaknya. Sementara, ia tak bisa serta merta kembali kepada kedua orang tuanya, karena keduanya pun telah berat beban hidupnya. Para janda yang seharusnya ditanggung nafkahnya oleh wali, dipaksa oleh keadaan untuk menghidup dirinya sendiri. Sebagian janda dan anak-anaknya, bergantung pada bantuan pemerintah atau uluran tangan kerabat yang peduli.
Inilah realita hidup para janda yang hidup dalam peradaban sekuler kapitalistik. Belum lagi di tengah stigma negatif tentang para janda. Status janda sering menjadi bahan gunjingan. Diolok-olok hingga citranya negatif. Hal ini tak lepas dari realita bahwa memang ada janda-janda yang menghalalkan segala cara demi bisa bertahan hidup.
Ya, kita tidak bisa pungkiri, hidup sendiri menanggung beban ekonomi bagi diri dan anak-anaknya sangatlah berat. Bila tidak kuat, akan memilih jalan pintas yang melanggar syariat. Seperti, menerima bantuan laki-laki bersuami dengan syarat, hingga berujung merusak rumah tangga orang. Ada juga yang melanggar ketentuan masa iddah demi bekerja mendapatkan uang, padahal belum darurat keadaannya. Lantas bagaimana solusi untuk meringankan beban para janda?
Tak Dituntut Mandiri
Islam menempatkan perempuan pada kedudukan yang mulia. Dalam hal nafkah, selamanya ia dijamin oleh pihak yang bertanggung jawab atas dirinya. Selamanya ia tidak wajib menafkahi dirinya sendiri. Tidak ada alasan apapun yang memaksa dan menuntut perempuan untuk mandiri dalam ekonomi. Baik ketika hidup perpasangan, maupun kembali sendiri dengan menjanda. Baik ia lajang, menikah maupun menjanda, nafkah dan kebutuhan hidupnya yang layak, dijamin oleh pihak penjamin. Siapa?
Ketika tidak ada suami, jaminan itu jatuh ke walinya. Seperti orang tuanya atau kerabat laki-laki dari jalur mahram, jika orang tuanya sudah tak ada atau tak mampu. Jika orang tua dan kerabat tidak ada, maka negaralah yang menjamin nafkahnya. Itu pun setelah dipastikan kedudukan dia sebagai janda telah tetap, alias tidak terikat lagi dengan suami, yaitu tidak sedang di masa iddah yang bisa dirujuk (iddah raj’in).
Saat ini, ketika negara tidak menerapkan sistem Islam, jaminan terhadap janda tidak tegak sebagaimana mestinya. Orang tua kerap melepaskan diri dari anak perempuannya, sejak anak itu keluar dari rumahnya untuk menikah. Ketika kembali dalam kondisi janda, ia tidak diterima dengan rasa tanggung jawab.
Seseorang yang telah menyandang status janda ini pun sadar diri, memilih menghidupi dirinya sendiri. Bahkan, ia enggan kembali ke rumah orang tuanya. Sadar bahwa ia akan menjadi beban, di samping rasa malu karena telah gagal dalam rumah tangga dan mengecewakan orang tuanya. Padahal, hak dia untuk kembali dan mendapat nafkah orang tuanya.
Kebolehan Bekerja
Muslimah, baik lajang maupun janda, boleh saja bekerja mencari uang. Namun, khusus janda, jika ia ingin bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, ada beberapa ketentuan syarak yang harus diperhatikan, berkaitan dengan status bekerja seorang janda ini.
Pertama, setelah ditalak suami dengan talak 1 atau 2 yang masih bisa rujuk (talak raj’in), maka selama masa iddah ia masih berhak atas nafkah dari suaminya. Oleh karena itu, tidak ada alasan darurat untuk bekerja menghidupi dirinya. Selama suaminya memberi nafkah, meski kecil sekalipun, ia tidak wajib bekerja. Jika suaminya tidak memberinya nafkah, negara harusnya memaksa sang suami untuk menafkahi.
Jika suami benar-benar tidak memberinya nafkah, atau memberi tapi tidak cukup sama sekali; maka boleh saja ia bekerja dengan tetap mengikuti rambu-rambu Islam, seperti menutup aurat, menjaga kehormatan, tidak mengeksploitasi sisi kewanitaannya, tidak tabaruj dan tidak menarik simpati laki-laki asing. Sebab, ia masih berhak dirujuk suaminya.
Kedua, jika ia ditalak tiga –yang tidak mungkin dirujuk kecuali menikah lagi, bercampur dan cerai dengan suami barunya– otomatis ia sudah tidak berhak atas nafkah dari mantan suaminya. Ia boleh bekerja bila sama sekali tidak ada wali yang menafkahinya dan negara pun abai menafkahinya.
Ketiga, bila ditalak dalam kondisi hamil, baik talak 1, 2 maupun 3, maka istri tidak boleh bekerja mencari nafkah. Ia harus mendapatkan tempat tinggal dan diberi nafkah sampai melahirkan oleh mantan suaminya. Bahkan, jika ia menyusui anaknya, ayah si anak alias mantan suaminya harus memberinya santunan.
Keempat, jika janda telah lepas massa idah dan tidak dirujuk, lalu walinya tidak ada yang menafkahi, negara harusnya yang memberi santunan. Negara atau siapa pun tidak berhak memaksa janda ini bekerja, sekalipun dengan kata manis mandiri ekonomi, atau predikat seolah keren sebagai single parent. Jika jaminan nafkah ini terwujud, para janda seharusnya tidak perlu lagi bekerja dan fokus mendidik anak atau mendidik dirinya sendiri agar menjadi wanita yang lebih bertakwa.
Demikianlah Islam menjamin kehidupan para wanita, termasuk para janda, sehingga tidak ada kisah-kisah pilu di kalangan para janda, di balik topeng kata mandiri setelah hidup sendiri lagi.(*)