Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Pagi ini seperti biasa, karena suami masuk kerja, menjadi giliranku mengantar anak gadis sekolah. Namun baru beberapa kilometer berjalan, sesudah lampu merah sebelum Pasar Larangan terdengar suara ibu-ibu sesama pengendara motor berteriak, “Bu, roda belakangnya kempis, minggir saja dulu”. “Ya Bu, terimakasih!” sahutku.
Memang sejak awal aku merasa ada yang tak beres dengan roda, setiap kali melewati jalan yang aspalnya tidak rata akibat pengerjaan penutupan lubang jalan tambal sulam rasanya sudah oleng, padahal jalan tak terlalu kencang. Ah, setornya mungkin yang gak beres, pikirku, waktunya servis mungkin.
Kemudian aku ingat, benar-benar sebelum belokan jalan ini ada tambal ban, ada lagi berjarak 500 meter, tapi kuputuskan berhenti di tukang tambal ban pertama. Kulihat alat-alat sudah tertata rapih, tapi tidak ada di bapak pemilik. Semoga sudah buka, harapku. Kami menunggu hingga kira-kira lima menit tapi si bapak tak kunjung datang. Akhirnya kuberanikan berjalan ke arah timur, masuk gang di sebelah sebuah toko, barangkali rumah bapak pemilik tambal ban di situ. Memang banyak rumah, semua pintunya tertutup dan aku tidak tahu mau mengetuk yang mana, karena tak yakin juga yang mana rumahnya.
Ketika balik ke jalan besar, di depan toko ada seorang ibu, sepertinya pemilik toko dan sedang berusaha membuka kunci pintu toko, aku pun bertanya apakah benar bapak tambal ban itu rumahnya di belakang toko, ibu itu membenarkan dan meminta aku menunggu di kursi sebelah lapak kecil jasa pembuatan stempel di sebelah tambal ban, yang ternyata sama-sama milik bapak tukang tambal ban.
Benar, tak berselang lama, si bapak keluar dari ujung gang dan bergegas ketika melihatku menunggu. Tanpa bicara banyak di bapak segera memeriksa ban dengan mengoles air sabun, ia mengatakan bukan bannya ternyata yang bocor, tapi pentil ban sepedanya. Ia lalu izin untuk mengganti sembari berkata, “Gak lama kok Bu, anaknya sekolah di mana?”
“SMA 1 Pak.” jawabku. Si bapak kemudian berdiri dan mengatakan bahwa pekerjaannya sudah beres. Seusai aku membayar ongkos, bapak itu kembali mengatakan, “Saya bantu beloknya Bu, pertigaan ini kalau pagi sangat ramai, semua orang buru-buru, kemarin ada yang meninggal karena kecelakaan di sini.”
“Oh ya Pak, terimakasih.” jawabku dan bersegera tancap gas lagi.
Dari kaca spion kulihat wajah anakku meski terlihat tenang tapi sedikit ada ketegangan. Aku katakan, “Alhamdulillah ya Dik, ada orang baik yang memberi tahu ibu kalau bannya kempes, juga Alhamdulillah si bapak cekatan sehingga nggak butuh lama untuk memperbaiki”. Anakku mengangguk kemudian bercerita kita sering kan melihat kepedulian orang lain, sesama pengendara yang mengingatkan pengendara lain entah karena lupa matikan lampu lighting belok, plat nomor yang miring hampir jatuh karena baut dan murnya kendur, gamis pengendara yang berantakan hingga terlihat melilit ban, dan lain sebagainya.
Sejatinya, mengingatkan adalah aktivitas alamiah manusia. Jangan bicara agama dulu, kebaikan bak mata uang yang berlaku di mana pun. Kebaikan bisa meluluhkan hati yang kaku, suasana mencair, solusi ditemukan padahal sebelumnya terlihat rumit dan lain sebagainya. Macam kebaikan juga beragam, dari yang receh hingga yang memaksa kita meneteskan air mata saking tersentuhnya.
Kafir, Yahudi, Atheis sekalipun pasti memiliki sisi baik pada penganutnya. Namun, terkadang kebaikan bisa lenyap bisa pula semakin subur. Hal ini bergantung pada kaedah atau standar seseorang dalam melakukan kebaikan. Jika aturan yang diterapkan kapitalisme yang berdasarkan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) maka bisa bermakna macam-macam, bahkan kebaikan cenderung di eksploitasi, dimutilasi sesuai keinginan seseorang yang biasanya memiliki kekuasaan.
Hingga orang mengatakan, di zaman ini sangat susah mencari orang baik. Tepatnya susah itu direkayasa, disuasanakan hingga maknanya menjadi kabur. Lihat saja, menjelang tahun pemilu semua sudah sibuk mencitrakan diri berbuat kebaikan, baik dengan bersilahturahmi, bakti sosial, beri subsidi dan lain sebagainya. Kebaikan menjadi alat menarik perhatian bahkan hati umat agar memilih pemimpin idola mereka. Berulang demikian setiap lima tahunan, meski pada akhirnya umat kecewa, masih saja tetap menerima janji “kebaikan” para tokoh itu.
Sejatinya kebaikan adalah fitrah, sebagaimana kejahatan. Ia ada sejak awal penciptaan manusia. Mengapa? Keduanya adalah alat bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya. Tinggal di aturan masyarakat yang mana kebaikan itu tumbuh, jika aturan meyakini kebebasan tanpa batas, tentulah kebaikan menjadi rancu, demikian pula kejahatan. Berbeda jika kenaikan tumbuh di sebuah aturan yang sesuai fitrah juga, dengan kata lain yang berasal dari Allah sendiri, Pencipta alam semesta dan seisinya, insyaallah kebaikan akan berbuah banyak bulir karena tak sekadar diyakini tapi dibudidayakan. Wallahu a’lam bish showab.