Oleh. Endang Widayati
Muslimahtimes.com–Perkembangan zaman akan diikuti dengan berkembangnya teknologi dan inovasi-inovasi yang melengkapinya. Teknologi dan inovasi yang dilahirkan oleh akal manusia mampu membantu dan memudahkan segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat saat ini, perkembangan dunia digital pun juga semakin canggih. Dunia digital tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi saja, tetapi juga bisa digunakan untuk berjual-beli. Bahkan, kemudahan berkomunikasi dan berbelanja dapat dilakukan dalam satu wadah. Tanpa harus keluar rumah, tidak peduli jauhnya jarak, pada saat itu juga seseorang mampu untuk melakukannya hanya dengan sekali sentuh.
Kecanggihan seperti itulah yang saat ini tengah ramai diperbincangkan dan menjadi dilema di tengah-tengah pelaku UMKM serta pemerintah. Pasalnya, keberadaan TikTok saat ini telah menjalankan dua fungsi yaitu sebagai social media dan e-commerce secara bersamaan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran pemerintah terhadap keberlangsungan pelaku UMKM lokal. Sehingga, muncul wacana pelarangan platform tersebut.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan mengatakan bahwa kehadiran social commerce seperti TikTok Shop dapat mematikan UMKM. Dan Ia pun sering mendapatkan keluhan dari pelaku UMKM karena sulit bersaing dengan barang impor yang jauh lebih murah harganya. (tirto.id, 15/09/2023)
Senada dengan Mendag, Teten Masduki sebagai Menteri Koperasi dan UKM menilai bahwa TikTok akan bisa melakukan monopoli karena menjalankan dua fungsi, yaitu sebagai media sosial dan e-commerce. (tirto.id, 15/09/2023)
Di lain sisi, derasnya arus digitalisasi juga dirasakan oleh pelaku usaha di Central Tanah Abang (CTA). Nayla, salah seorang pedagang batik dan kebaya di CTA menuturkan bahwa dirinya telah setahunan menjajaki platform digital TikTok sebagai sarana menawarkan produk dagangannya. Dia mengaku sangat terbantu dengan adanya platform tersebut dibandingkan ketika menggunakan platform e-commerce yang lain.
Bahkan, dia menilai pelarangan TikTok oleh pemerintah kurang tepat. Jika memang yang menjadi masalah adalah masuknya barang impor, maka menurutnya yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah pengaturan tentang barang impor tersebut. (tirto.id, 17/09/2023)
Pemerintah pun belum satu suara dengan adanya wacana pelarangan TikTok ini. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menparekraf, Sandiaga Uno bahwa pelarangan ini dapat mengganggu keberlangsungan UMKM. Pasalnya, menurut Sandi, saat ini telah banyak UMKM yang terjun ke dunia digital memanfaatkan dan mengandalkan TikTok Shop sebagai platform jualannya. (kompasiana.com, 18/09/2023)
Ekonomi Kapitalis Biang Krisis
Digitalisasi telah melanda setiap lini masyarakat, termasuk para pelaku UMKM. UMKM yang menjadi program dari pemerintah selama ini bertumpu pada modal yang diusahakan oleh pribadi atau mendapat suntikan dana agar bsnisnya bisa berjalan. Dari sinilah, UMKM terjerat utang riba di bank atau di mana saja agar usahanya mampu berkembang. Ketika usahanya tidak berjalan lancar, kredit macet akan mereka hadapi. Penghasilan yang tidak menentu, menyulitkan mereka untuk membayar utang disertai dengan bunganya.
Menyoal hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengatakan bahwa pemerintah masih menyusun draft Peraturan Pemerintah (PP) tentang penghapusan kredit macet bagi UMKM. (cnbcindonesia.com, 08/09/2023)
Sejatinya, permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pelaku UMKM dan pelaku bisnis lainnya adalah dilegalkannya utang yang berbasis riba. Jeratan utang riba inilah yang akhirnya membuat mereka terhimpit dan bisa merugikan bahkan mencelakai orang yang lain. Riba atau suku bunga sejatinya menjadi tulang punggung sistem ekonomi kapitalisme dalam banyak hal.
Sistem ekonomi kapitalisme menjadi penyebab berbagai krisis di negeri ini. Keserakahan kapitalisme telah melahirkan berbagai macam kezaliman terstruktur dikarenakan kapitalisasi aset publik. Dampaknya pun nyata dapat dirasakan dan dilihat, seperti pengangguran, kemiskinan ekstrem, kebangkrutan, ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, kesulitan hidup dan lainnya.
Oleh karena itu, keberadaan UMKM merupakan solusi tambal sulam pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, hanyalah pepesan kosong belaka. Mereka dibiarkan bertarung sendirian di era digital saat ini. Bahkan, di era perdagangan bebas ini pemerintah hanya memberikan regualsi-regulasi yang tidak banyak menguntungkan pelaku UMKM. Buktinya, semakin hari produk impor semakin membanjiri dan menyaingi produk domestik dalam negeri.
Jika pemerintah memang berniat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sudah seharusnya menghentikan kapitalisasi sumber daya alam dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk diberdayakan dalam mengelola kekayaan negara. Sehingga, tidak perlu bergantung pada kapitalis asing untuk mengelola kekayaan alam.
Perlu juga adanya regulasi yang tepat bagi pelaku UMKM di era digital saat ini, terlebih UMKM juga didorong untuk bisa beradaptasi dengan digitalisasi. Jangan sampai regulasi yang dikeluarkan hanyalah pelipur lara saja. Satu sisi pemerintah tidak serius meninggalkan kebijakan impor barang/produk, sisi yang lain menginginkan UMKM bisa bertahan. Apa mungkin?
Islam Bijak Mengatur Bisnis
Islam telah tegas melarang riba dan menimbun harta sebagaimana yang terjadi saat ini. Allah berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih”. (TQS. At Taubah: 34)
Allah juga berfirman yang artinya, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (TQS. Al Baqarah: 275)
Oleh karena itu menurut Islam, pemilik modal harus menginvestasikan uangnya dengan jalan melakukan usaha sendiri atau bermitra dengan orang lain.
Kriteria paling penting yang harus dipenuhi oleh segala bentuk usaha kemitraan adalah adanya akad penawaran dan penerimaan antara dua pihak atau lebih dan setelah terjalin sebuah kemitraan, maka masing-masing pihak mempunyai hak yang sama dalam menentukan jalannya perusahaan.
Selain kriteria tersebut cara pembagian keuntungan dan kerugian tergantung pada bentuk perusahaan dan perjanjian yang mereka buat. Sebagai salah satu contoh, dalam syirkah mudharabah, di mana kemitraan usaha dibangun dengan modal dari salah satu pihak dan pihak lain sebagai pengelola, maka kerugian hanya dibebankan kepada pemilik modal, sedangkan pengelolanya kehilangan gaji.
Dalam syirkah ‘inan, di mana kemitraan usaha dibangun dengan modal dari dua pihak atau lebih, maka kerugian yang dialami oleh perusahaan dibebankan kepada masing-masing pihak sesuai proporsi modal yang ditempatkan.
Dari aturan dan struktur dasar ini, berbagai bentuk perusahaan lain bisa dibentuk. Dalam segala bentuk kemitraan tersebut, keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak bergantung pada jumlah modal atau tenaga yang dikeluarkan.
Melalui pengaturan seperti ini, tingkat investasi bisnis akan tetap tinggi dan semua kalangan masyarakat baik yang kaya maupun miskin, mempunyai potensi untuk menjadi lebih kaya. Pengaturan bisnis dalam Islam harus didasarkan pada halal dan haram tidak sekadar keuntungan semata. Sehingga, fenomena kebijakan timpang tindih ala kapitalisme tidak akan terjadi.
Lebih dari itu, dalam negara Islam, negara memainkan peran yang sangat penting dalam sistem ekonomi Islam. Dalam perspektif Islam, negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, layanan pendidikan, layanan kesehatan dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara. Wallahu a’lam.