Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
Muslimahtimes.com– Rakyat Rempang, Batam, tengah membara. Gelaran demonstrasi digelar di beberapa hari belakangan ini. Mereka menolak relokasi dari tanah yang sudah turun-temurun mereka huni, tepatnya sejak tahun 1834. Sebanyak 10.000 warga yang menempati Pulau Rempang-Galang dan tersebar di 16 Kampung Melayu Tua akan direlokasi oleh pemerintah demi mendukung proyek pengembangan investasi Rempang eco-city. Rencananya Pulau Rempang ke depannya akan dijadikan kawasan industri, manufaktur, logistik, dan pariwisata yang terintegrasi.
Adapun proyek tersebut sudah ditetapkan sebagai Proyek Stratagis Nasional (PSN) sebagaimana tertuang dalam Permenko bidang Perekonomian RI Nomor 7 tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Dalam proyek Rempang eco-city ini, pemerintah telah memberikan konsesi lahan sebanyak 17.000 hektare kepada PT Makmur Elok Graha yang merupakan anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata hingga tahun 2080 dengan nilai investasi sebesar Rp381 triliun. Fantastis! Bahkan demi proyek investasi tersebut, KLKH rela melepas kawasan hutan sebesar 7.560 hektare. Miris! Padahal sejatinya hutan merupakan penopang kelestarian ekosistem dan lingkungan.
Atas nama pengembangan investasi di Rempang, Presiden Jokowi pun menawarkan PSN ini ke negara luar, termasuk saat melakukan kunjungan ke Chengdu, Cina. Hasilnya terjadilah MoU bersama Xinyi Group, perusahaan kaca dan solar sel terintegrasi terbesar di dunia yang ada di Cina, dengan nilai investasi sebesar USD11,5 miliar dan janji penyerapan tenaga kerja sebanyak 35 ribu orang. Dan mirisnya lagi, terjadi kesepakatan bahwa penyerahan tanah harus clean and clear selama 30 hari sejak disepakati kerja sama tersebut.
Penjajahan Berkedok Investasi
Masuknya investasi asing ke pulau Rempang tersebut tak bisa dilepaskan dari hasil pertemuan KTT ASEAN di Jakarta pada awal September 2023 lalu. Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah disepakatinya 93 proyek kerja sama konkret bernilai sekitar Rp584 triliun
Indonesia memang telah lama menggelar karpet merah bagi para investor asing. Maka, tak heran jika penguasa di negeri ini mati-matian membela para kapitalis tersebut demi memuluskan proyek-proyek investasi tadi, tak peduli meski pada akhirnya harus mengorbankan rakyat. Di bawah payung hukum UU Omnibus Law Cipta Kerja, suatu proyek jika sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), maka rakyat harus “mengalah” baik secara sukarela maupun dengan paksaan. Sebagaimana yang terjadi di Rempang, pemerintah pada akhirnya mengeklaim bahwa tanah yang akan dibebaskan untuk proyek Rempang eco-city merupakan tanah milik negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48, Batam ditetapkan menjadi kawasan perdagangan bebas atau free trade zone. Pemerintah pusat pun memproyeksikan Pulau Rempang sebagai kota baru dengan industri yang berkonsep “Green and Sustainable City”.
Benarkah untuk Kepentingan Rakyat?
Negara mengeklaim, investasi adalah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Faktanya kegiatan investasi yang dilakukan negara dengan menggandeng swasta, baik lokal maupun asing, tidaklah membawa efek signifikan kepada perbaikan ekonomi rakyat. Buktinya kemiskinan tetap merajalela, impitan ekonomi masih menjadi mimpi buruk bagi jutaan rakyat di negeri ini. Sangat nyata bahwa investasi hanya menguntungkan para oligarki, bukan rakyat. Karena hasil dari proyek-proyek investasi tersebut pada kenyataannya tak sampai menyentuh pada perbaikan nasib rakyat.
Beginilah nafsu kapitalis dalam meraup keuntungan materi. Apalagi dengan kapasitasnya sebagai penguasa, tentu sangat mengiris hati ketika yang diprioritaskan justru kepentingan para pemilik modal, bukan kepentingan rakyat. Inilah bukti bahwa penguasa hari ini tidak bekerja untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk menyejahterakan para kapitalis.
Padahal sejatinya investasi asing ke dalam negeri ini merupakan bentuk penjajahan ekonomi. Kelak, negara tidak akan lagi mampu berdaulat karena tersandera oleh investasi tersebut. Bahkan parahnya lagi, negara dapat didikte oleh asing dalam penetapan kebijakan di dalam negeri. Akibatnya, kemandirian negara dalam melayani rakyat akan kian tergerus.
Penguasa adalah Pelayan Rakyat
Dalam konsep Islam, penguasa adalah pelayan rakyat, bukan pelayan para pemilik modal. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim)
Sebaliknya, jika penguasa menzalimi rakyatnya, maka Allah akan menimpakan laknat atasnya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Bukhari, “Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga).”
Sebagaimana kasus Rempang, penguasa bertindak represif kepada warga Rempang yang menolak relokasi dengan cara menembakkan gas air mata kepada mereka. Bahkan mengancam akan melakukan kekerasan jika mereka tetap mempertahankan penolakannya tersebut. Ini sungguh tidak mencerminkan karakter sejati seorang pemimpin.
Dalam Islam, merampas tanah rakyat meski atas nama pembangunan merupakan kezaliman yang sangat besar. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan mengimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak.” (HR.Muslim)
Rekam jejak sejarah kepemimpinan Islam ketika Khilafah tegak telah membuktikan betapa adilnya dalam perlakuan terhadap rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Terkait lahan, Gubernur Mesir Amr bin Asr pernah berhadapan dengan seorang Yahudi yang enggan digusur gubuknya demi pembangunan masjid meski akan diberi kompensasi lima kali lipat. Khalifah Umar bin Khattab pada saat itu malah mengingatkan sang gubernur agar menegakkan keadilan kepada rakyatnya lewat simbol sebuah tulang yang diberi garis lurus oleh Umar kepada Amr bin Ash. Akhirnya Amr bin Ash membatalkan niatnya menggusur gubuk orang Yahudi itu. Dampaknya sang Yahudi malah takjub dengan keadilan Islam padanya meski dia bukan muslim. Dia pun akhirnya dengan sukarela menyerahkan lahan untuk pembangunan masjid dan bersyahadat. MasyaAllah…..
Maka, sungguh kehadiran seorang Khalifah, yakni pemimpin bagi kaum muslimin yang dia menjadi wakil umat dalam menerapkan syariat Islam secara praktis dalam institusi negara adalah sebuah kebutuhan mendesak. Sebab umat hari ini seperti anak ayam yang kehilangan induknya, tak punya pemimpin. Sejatinya pemimpin dalam Islam adalah pemelihara urusan rakyatnya, bukan malah menzalimi mereka dengan kewenangan kekuasaan yang mereka miliki. Sebagaimana digambarkan dalam hadis Rasulullah saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Demikianlah keadilan di tengah masyarakat akan tegak dan kezaliman akan terhapus manakala Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan. Sehingga penguasa yang ada hanya menghamba kepada Allah saja, bukan kepada para pemilik modal. Wallahu’alam bis shawab.