Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Peradaban sekuler melahirkan budaya cerai, sedangkan peradaban Islam seharusnya membudayakan rujuk.
***
Peradaban sekuler kapitalis yang liberal, telah melahirkan budaya cerai. Terbukti sejak 1960 hingga 2022, secara global angka perceraian di dunia meningkat hingga 251,8%. Saat ini, sebanyak 48% dari pasangan yang menikah, akhirnya cerai. Artinya, hampir setengah dari rumah tangga yang dibangun, berakhir bubrah.
Di Indonesia sendiri, perceraian mencapai lebih dari setengah juta pasangan pada 2022 (data BPS). Faktor penyebab utama perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran. Sedangkan ekonomi menempati posisi nomor dua, disusul pasangan yang meninggalkan komitmen dan KDRT.
Timbul pertanyaan, berapa banyak pasangan yang bercerai tersebut kemudian rujuk kembali? Ternyata jumlahnya sangat minim. Bahkan dari beberapa data yang dihimpun dari Kantor Pengadilan Agama yang melakukan pencatatan nikah, talak dan rujuk, kebanyakan angkanya nol (BPS).
Padahal, rujuk adalah salah satu syariat Islam yang seharusnya dibudayakan. Terutama bagi pasangan yang sebelumnya bercerai karena masalah-masalah kecil yang kurang prinsipil. Bahkan tak sedikit yang bercerai gara-gara egoisme atau sikap menggampangkan ucapan talak. Cerai karena marah atau emosional sesaat.
Kehidupan Pascacerai
Setelah bercerai, ada tiga kemungkinan yang dialami: hidup sendiri selamanya sampai mati, menikah dengan pasangan yang baru atau rujuk kembali dengan pasangan lama. Yang pertama, tampaknya cukup dominan. Mengingat tidak mudah untuk menjalin hubungan baru, sementara kebanyakan juga gengsi untuk kembali bersama pasangan lama.
Merujuk pada data jumlah duda dan janda, yang menikah lagi kebanyakan adalah duda. Karena itu, jumlah janda jauh lebih banyak dibanding duda, baik cerai hidup maupun mati. Pada 2021 janda cerai mati 10,25% dan berstatus cerai hidup 2,58%. Sedangkan duda cerai hidup 2,66% dan cerai mati 1,66% (dataindonesia).
Janda atau duda yang akhirnya hidup sendiri dan tidak menikah lagi, biasanya karena trauma. Suasana kebatinan pun buruk. Terpuruk dalam rasa sedih yang mendalam. Tidak lagi bisa menikmati indahnya hidup berpasangan. Kesepian karena tidak ada pasangan tempat berbagi suka dan duka.
Belum lagi terbebani stigma negatif di masyarakat. Terbebani biaya hidup sendiri, karena jarang ditanggung pihak yang seharusnya menjamin nafkahnya. Bila sudah punya anak, menjadi orang tua tunggal juga tidak mudah. Sulit dalam mendidik dan mengasuhnya.
Sebaliknya, ada juga yang mengambil sisi positif pascacerai dari rumah tangga yang seperti neraka. Misal, perasaan lega karena terbebas dari tekanan pasangan yang toxic. Punya waktu untuk me time dan kembali menjadi diri sendiri. Fokus ibadah dan bebas memutuskan arah hidupnya. Ini terjadi, mungkin karena saat menikah hidup begitu tertekan oleh dominasi pasangan.
Sementara itu, jika memilih menikah dengan pasangan yang baru, tantangannya juga tidak mudah. Pastinya, ia akan mencari pasangan yang dianggap lebih sesuai ekspektasi. Misal yang satu frekuensi dan satu circle. Dengan demikian akan lebih harmonis. Tidak ingin gagal lagi seperti sebelumnya.
Namun, kenyataan mungkin juga lebih sulit, mengingat membangun relasi dengan orang baru lagi. Potensi gagal juga tinggi, karena kembali adaptasi dari nol. Apalagi, jika pasangan baru ini kurang menghargai karena status pasangan sebelumnya yang pernah bercerai.
Maslahat Rujuk
Lantas bagaimana peluangnya jika rujuk? Menikah kembali dengan orang lama, bisa menjadi solusi yang baik, asalkan diduga kuat lebih membawa maslahat dibanding mafsadat. Misal, dulu bercerai karena sama-sama emosi dan belum dewasa dalam menghadapi konflik. Sementara anak-anak pun masih kecil dan butuh kehadiran dan kasih sayang kedua orang tuanya. Alangkah indahnya jika kemudian bersatu kembali dalam keluarga yang utuh.
Memang, pasangan mungkin tidak sesuai ekspektasi. Tapi, kembali ke pernikahan lama bisa menjadi peluang untuk menguatkan kembali hubungan. Adaptasi akan lebih mudah, karena luar dalamnya pasangan sudah sama-sama tahu. Dengan pikiran lebih jernih dan bijak, akan lebih bisa menerima dia apa adanya.
Karena pernah gagal dalam relasi sebelumnya, kali ini tentu akan lebih berhati-hati. Sudah pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga tahu persis apa yang harus diperbaiki. Mudah-mudahan hal itu akan membawa kemaslahatan dan kebahagiaan bagi semua.
Karena itu, bagi pasangan yang sedang dalam konflik pernikahan dan bahkan sudah jatuh talak 1 atau 2 —yang berarti masih terbuka pintu rujuk— beberapa alasan ini bisa menjadi bahan untuk remarry atau kembali ke pernikahan lama.
Misal, dalam hati kecil sebenarnya masih ada rasa sayang. Sementara pengalaman membuktikan, ternyata hidup sendiri sangat berat.
Tundukkan ego, kasihanilah anak-anak yang jadi korban. Rujuklah untuk melanjutkan tujuan pernikahan yang belum sampai, yaitu mewujudkan sakinah, mawadah dan rahmah. Perjuangkan kembali meski tak mudah. Usia sudah tidak lagi muda, apalagi yang akan dicari? Bukankah tidak gampang mencari pengganti yang lebih baik?
Mari merenung. Mengevaluasi jalannya pernikahan sebelumnya. Temukan hikmah terbaik, kira-kira apa maksud Allah menurunkan ujian rumah tangga. Tak lain dan tak bukan, sebenarnya justru untuk mengeratkan lagi relasi suami istri.
Oleh karena itu, segera lepaskan trauma. Maafkanlah diri dan maafkan pasangan atas segala kesalahan. Jadilah pribadi yang pemaaf. Berilah kesempatan kedua bagi diri dan pasangan, karena kalian berhak untuk bahagia. Pasti anak-anak dan keluarga akan mendukung.
Apabila terkendala masalah ekonomi, insyaallah masih bisa diperjuangkan. Percayalah, ketika sepasang suami istri saling rida dan memandang penuh cinta, Allah akan memberkahi. Didatangkanlah rezeki dari berbagai penjuru yang tidak disangka-sangka, karena Allah menyukai hambanya yang saling mencintai karena-Nya.
Budayakan Rujuk
Rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami dan istri dalam ikatan pernikahan, baik saat masih di masa iddah maupun setelah masa iddah habis. Allah mensyariatkan masa iddah, sebagai fase untuk break atau jeda sejenak, dalam rangka evaluasi dan introspeksi diri atas situasi pernikahan.
Jatuhnya talak 1 atau 2, tidak otomatis mencerai-beraikan suami dan istri dalam kebencian. Lalu saling menjauh sejauh-jauhnya, bebas terbang bak burung lepas dari sangkarnya. Tidak. Justru, ada masa iddah untuk merenungkan kembali relasi yang terkoyak, bagaimana supaya bisa utuh kembali. Masa-masa untuk menurunkan ego, mediasi, negosiasi dan berbincang tulus dari hati ke hati.
Masa iddah bukan sekadar untuk memastikan rahim tidak hamil, karena jika itu saja tujuannya, sungguh bisa disegerakan dengan kecanggihan teknologi. Misal USG untuk mengetahui rahim isi atau kosong, sehingga tidak perlu menunggu masa iddah sampai 3 kali suci (jika cerai hidup tanpa kehamilan). Tidak seperti itu.
Masa iddah yang kurang lebih 90 hari itu harusnya cukup untuk memberi kesempatan pasangan menuju rujuk. Waktu ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mediasi dan berdamai. Suami menurunkan ego dan gengsi, bimbing dan rayu istri agar hilang amarahnya. Istri sangat tergantung dari kemauan suami untuk mencintainya sepenuh hati. Demikian Islam menghendaki budaya rujuk.
Yang penting harus diingat, tujuan menikah adalah mewujudkan ketenangan dan ketentraman. Dan semua itu harus diperjuangkan, tidak datang dengan sendirinya. Pertengkaran dan perselisihan hanyalah bagian kecil dari perjuangan itu, agar bonding atau ikatan suami istri kian menguat.
Hanya kondisi ini yang tidak dianjurkan rujuk: pasangan pelaku maksiat berupa dosa besar dan tidak mau tobat; punya riwayat selingkuh berulang kali; mengidap gangguan mental akut yang menyulitkan dalam interaksi; tidak meraih kepuasan dalam hubungan biologis secara permanen; relasi lebih banyak membawa mudharat, tidak ada ketenangan dan ketentraman.
Walhasil, mari budayakan rujuk dengan memperbanyak edukasi tentang pernikahan. Meningkatkan kesadaran suami istri untuk konsultasi jika ada problem pelik dalam rumah tangga pelik yang tidak bisa diselesaikan berdua. Meningkatkan kemampuan mediasi dan negosiasi antara pasangan suami istri yang sudah bercerai raj’i. Menumbuhkan pribadi bersyakhsiyah Islamiyah yang bijak dan pemaaf. Terakhir, hendaknya sistem memfasilitasi dan memudahkan pasangan suami istri yang ingin rujuk kembali.(*)
Ingin artikel Kholda Najiyah lainnya, silakan kunjungi
Website Muslimah Times atau
Ikuti t.me/channelsalehahinstitute